Bagian 4

...

Dewinta menatap langit. Dia merasa bersalah pada Denisa. Malam ini adalah malam pertemuan untuk perjodohan. Berharap, Denisa bisa menolak, kalau dia pasti tidak bisa, tidak enak sama Mama yang selalu memintanya balas budi.

"Ma, Dewi ngga mau lamaran. Ini bukan zaman Siti Nurbaya, ngga usah jodoh-jodohin." Dewinta mencoba menolak saat pertama kali sang Mama membawa pulang kabar Lamaran. Demi bisnis berjalan sukses, Juwita dan temannya mengorbankan masa kebebasan anak-anak.

"Kan cuma lamaran, belum nikah," kilah Juwita yang tetap kekeh harus lamaran.

"Kalau Dewi udah lamaran pasti disuruh cepat nikah," Dewi hanya menghela napas. Mamanya itu maunya aneh-aneh, tidak bisa di tebak.

"Setelah nikah, kamu masih bisa sekolah kok, Dew. Jangan dipikirkan, entar pusing. Jalani aja." anehnya, bukannya mendukung anaknya untuk maju, Mamanya malah menyuruhnya berhenti alias diam di tempat.

"Mama---"

"Mama udah lahirkan kamu, rawat kamu, jadi sekarang balas budimu."

Huff

Dewinta menghela napas beratnya. Mamanya sangat berambisi dengan kesuksesan tanpa memikirkan perasaan orang lain.

"Denisa, Maaf," ucapnya lesu.

"Nisa, ngapain, Nduk?" Bambang menghampiri anaknya yang duduk di teras sambil melamun. Biasanya, keadaan begitu anaknya lagi memikirkan sesuatu.

"Duduk natap langit, Pak."

"Kenapa langit ditatap, takut roboh?"

Dewinta tersenyum, Bapaknya kayak komedian yang suka melucu. "Bapak kok keluar? Udah malam, dingin, Pak. Nanti bapak sakit."

Bambang tersenyum melihat perhatian anaknya malam ini terasa sangat tulus. Tidak seperti biasanya, anak itu akan mengoda sampai mood tuanya memburuk. 'Masuk gih, Pak, nanti dingin, kasian kulitnya menkerut' atau 'lagi natap langit, Pak siapa tahu ada tempe bacem, lumayan buat lauk sarapan besok' bayolan yang menjengkelkan.

"Kamu lagi mikir apa? Apa cara mengalahkan Si Jay, anak kampung sebelah? Bisa ngga, kalian damai, Jay itu baik."

Dewinta hanya menautkan alis matanya. Jay? Siapa dia? Apanya Nisa?

"Udah. Masuk ayok. Udah malam." Bambang masuk meninggalkan Dewinta yang masih ingin menatap langit. Berharap wajah Pak Azzam muncul.

"Pak Azzam, Dewi kangen," ucapnya lembut.

...

Denisa masih saja tertawa. Setelah motor terparkir di depan gerbang rumah Dewinta, Denisa tidak bisa menahan tawa. Devan turun dengan kaki yang gemeteran belum lagi sesaat kemudian celana jens abu-abunya berubah jadi biru karna basah.

"Astaga! Kayak bocah aja, Lo. Ngompol." Tawanya meledak. Devan yang kesal menoyor kepala Denisa.

"Gara-gara anak setan sialan kayak elo!" Dia yang selalu mengucapkan kalimat baik, baru beberapa jam bersama Denisa, mulutnya sudah mulai berbicara kotor.

"Turun, Lo," sambungnya.

"Iya." Denisa turun dan menyerahkan motor kembali pada yang punya. "Pulang sono. Jangan cuci kaki apalagi mandi. Dadah!" Dia berjalan mundur sambil melambaikan tangan.

Devan melajukan motornya setelah menjulurkan lidahnya.

Sampai di kamar, Denisa membanting dirinya kasar ke kasur. Badannya lelah tapi dia happy. Dia punya teman baru walaupun memakai tameng calon tunangan. Senyumnya memudar kala mengingat Joko dan Reno. "Astaga! Malam ini 'kan kita janjian ...." dia duduk dengan mata yang membulat.

...

Joko dan Reno memutuskan mendatangi rumah Denisa. Gadis itu entah lupa atau sengaja tidak datang ke gardu, markas mereka. Padahal, malam ini mereka akan berpetualang.

"Nisa kok tumben ya, Jok?"

"Tahu. Ketiduran kali."

"Pada biasanya dia yang paling semangat dan ngajak cepat-cepat." Joko menyeimbangkan langkah lebar Reno.

"Dilarang bapake, kayaknya."

"Dia kan biasanya kabur. Apalagi, dari pagi dia sudah siapakan campuran lombok ama garam yang sudah dihaluskan."

Joko mengangguk. Tidak biasanya Denisa kayak gini.

Setelah sampai rumah Denisa, terlihat pintu tertutup rapat. Mereka pun memutuskan langsung ke jendela kamar sang ketua geng.

Tok-Tok!

"Nisa."

Dewinta yang baru saja akan memejamkan mata, membuka matanya lebar-lebar dengan jantung berdebar. Jendela diketuk, apa pencuri? Tapi kenapa pencuri itu bersuara, memanggil, apa bukannya malah membahayakan dirinya?

"Nisa," panggilan Joko membuat Dewinta perlahan mendekati jendela. Membuka dan membulatkan mata melihat dua pria berada di hadapannya.

"Elo lupa?" Pertanyaan Reno membuat alis mata Dewinta bertaut. Lupa? Apa yang dia lupakan?

"Ayo, keburu malam." Ajak Joko sambil menarik tangan Dewinta, tapi langsung ditepis.

"Mau ke mana? Ini sudah malam. Aku ngantuk." Kilah Dewinta. Ada rasa takut menyelimuti. Dua pria itu memaksanya pergi, mau dibawa ke mana dia?

"Elo lupa beneran?" Reno kembali bertanya.

"Kasih tahu aja 'lah, Ren. Dia lupa kayaknya," ucap Joko.

"Malam ini kita mau berpetualang."

"Ke mana?"

"Kebun Pak Toto."

"Ngapain?" Dewinta mengigit bibir bawahnya. Dia semakin takut. Dua orang ini teman Denisa, apa adiknya itu suka melakukan hal-hal aneh sama mereka di kebun tiap malam? Pikiran kotor pun menghinggapi.

Joko dan Reno menepuk jidatnya. Denisa kenapa jadi lupa begini? Apa dia kena amnesia?

"Hari ini kepala elo kepentok di mana?"

"Hah?" Dewinta makin tidak ngerti.

Melihat Reno yang akan kembali bicara, Joko mencegahnya. Mengisyaratkan biar dia saja yang menjelaskan.

"Ok. Mungkin elo lupa. Gue ingatin, ya. Malam ini kita udah janjian ke kebun Pak Toto buat nyuri jangungnya."

Seketika mata Dewinta membulat.

...

"Ambil yang banyak, Ren, Nis, biar kita puas makan jagung bakar malam ini." Joko bersemangat mencabut tiap pohon jagung. Cara mencuri mereka, sekalian membersihkan.

"Ngga papa kah ini?" Dewinta yang mau tidak mau harus ikut. Desakan Reno dan Joko tidak bisa di tolak. Ini adalah kasus pencurian pertamanya dan cukup membuatnya ketakutan.

Melihat cara mencuri mereka, Dewinta baru tahu kenapa pohon mangga di rumah Lisa di tebang, pasti karna di curi sekalian sama daunnya.

"Ngga papa. Kita 'kan udah bilang," ucap Reno tanpa merasa bersalah. Dewinta menghela napas. Bilang yang mereka maksud adalah laporan pada angin.

Setelah puas membersihkan kebun orang, Mereka bertiga langsung menuju markas. Membuat api, kupas jangung, bakar dan makan dengan mencocolkan ke sambel ala kadarnya buatan Denisa.

"Uh! Wenak tenan!" Reno berseru sembari menikmati.

"Bener. Eh, Nis, elo ngga makan?"

Dewinta mengeleng. Dia belum pernah makan hasil haram. Dia takut dosa.

"Biasanya elo yang paling lahap." Reno menautkan alis matanya.

"Takut dosa."

Suasana hening. Reni dan Joko saling tatap, kemudian tertawa terbahak-bahak.

"Elo udah insyaf?" tanya Reno.

"Biasanya elo yang paling banyak makan. Ini memang haram, seperti kamu bilang, membuat pelajaran buat orang pelit itu di perlukan. Lagian, sisa jagung bakalan di bagikan sama yang lain kan? Seperti biasanya.

"Ngga gitu juga harusnya. Melawan orang pelit ngga harus dengan mencuri, buat kepelitan mereka semangat buat kita. Kita harus bisa punya jagung sendiri, setelah berhasil, jangan ikuti kepelitan orang itu, bukan kayak gini. Dosa kok di bagi rame-rame." Ucapan itu membuat Reno dan Joko kicep. Gadis di depannya kenapa sekarang berhati malaikat bukan iblis kayak dulu?

...

Terpopuler

Comments

Sept September

Sept September

jempollll

2020-09-08

0

APRILIANIANO

APRILIANIANO

Boomlike untukmu kakak❤

2020-09-02

1

Dafiyya mujahid

Dafiyya mujahid

ahahaha...makin seru aja smpai ketawa sendiri

2020-09-02

1

lihat semua
Episodes
Episodes

Updated 88 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!