...
Ketukan menggila membuat Denisa mengeliat kemudian membuka mata. Seketika bola mata itu membulat, setelah melihat sinar matahari menembus celah jendela kaca.
"What!" Dia langsung bangun. "Gue terlambat!" Serunya. Bukannya cepat beranjak ke kamar mandi, dia malah kembali berbaring. "Kasur sialan! Nyaman banget. Bikin gue kesiangan. Huff! Lanjut bobo aja kali, ya?"
Tok-Tok!
"Dewi, kalau dalam hitungan tiga kamu belum buka pintu, Mama dobrak pintu kamar kamu," ucap Juwita yang marah besar, membuat mata Denisa yang mau menutup menjadi terbuka semakin lebar.
"Satu,"
"Dua, tiga!" Hitung Denisa sendiri. Dia pun segera beranjak menuju kamar mandi. Mendengar suara gemericik air. Juwita bernapas lega. Anaknya sudah bangun dan akan segera pergi ke sekolah. Devan sedari tadi sudah menunggu di teras rumah.
"Siap!" Denisa berdiri. Dia sudah rapi dengan baju seragam sekolah Dewinta, tas sudah melekat di punggung, tali sepatu aman, dia pun memutuskan keluar dari kamar yang nyaman.
Saat dia mau duduk untuk makan, Juwita menarik tangannya, memberikan kotak bekal dan mendorongnya keluar. Denisa menautkan alis matanya. Mamanya menyuruhnya sekolah atau mengusir? Masa mau makan malah di suruh bawa bekal? Ini SMA, bukan anak TK. Aneh.
"Ma, mau makan dulu. Laper." Denisa mengelus perutnya yang rata.
"Itu bekal, makan di jalan. Kasihan Devan udah nunggu kamu dari tadi. Sana berangkat. Udah mau terlambat," ucapnya Juwita.
Denisa menatap Devan yang menampakkan wajah cemberut. Mungkin, masih jengkel akibat semalam.
Denisa menghela napas. Okelah, ini sudah siang dan dia bakalan sarapan di jalan. "Ayo," ajaknya.
Devan mengangguk. Dia pun berdiri. Mereka berjalan beriringan.
"Tunggu," Juwita menghentikan langkah. Dia menatap dari atas sampai bawah, kenapa penampilan anaknya kali ini berbeda. Mana perhiasan mahalnya? Kenapa rambut dibiarkan terurai?
"Kenapa, Ma? Katanya suruh cepat berangkat,"ucap Denisa.
"Kenapa kamu berdandan seperti ini? Mana gaya mahal kita, Dew?"
Denisa melihat dandanannya, memang sederhana, tapi tetap cantik. Dia menoleh pada Devan yang menatapnya tidak berminat.
"Perhiasan, kenapa ngga dipakek?" tanya Juwita.
"Itu, Ma. Itu ... katanya Devan mau belikan perhiasan, makannya Dewi ngga pakek."
Mata Devan membulat. Kenapa calon tunangannya ini menyusahkannya sepagi ini? Membuat mood menjadi buruk.
"Apa benar, Nak Devan?"
Denisa langsung menempel pada Devan, merangkul pinggangnya, bukan untuk pamer kemesraan, tapi mencubit pinggang Devan untuk mengiyakan.
"Oh! Ah! Iya, Tante." Devan tersenyum paksa. Tangannya segera memukul tangan Denisa yang nakal. Bisa-bisanya dia dianiaya.
"Oh, ya sudah. Kalian hati-hati,"
Devan dan Denisa pun berangkat sekolah mengunakan mobil milik Devan.
...
Dewinta berjalan pelan ke arah sekolah. Dia merasa sangat malas. Biasanya, membuatnya semangat sekolah adalah Pak Azzam, tapi kini ....
"Woe," Joko menepuk pundak Dewinta. Gadis itu terlonjak kaget. Biasanya, Denisa langsung meninju lengan Joko, tapi Dewinta malah mengelus dadanya sendiri.
"Ko, jangan suka ngagetin. Untung aku ngga punya riwayat penyakit jantung," ucapnya lembut.
Joko menyengir, memamerkan gigi rapinya yang putih. Pria pendek dengan rambut gondrong berantakan itu mengaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Maap," ucapnya.
Dewinta mengangguk. Mereka jalan berdua tanpa ada kata. Sampai, Reno datang dan mengagetkan Dewinta lagi.
"Pagi, Nisa!" Serunya.
Dewinta menggosok telinganya yang pengang. Dia menatap Reno kemudian berkata, "Reno, lain kali jangan gitu, ah! Untung aku ngga punya riwayat tuli dadakan."
Reno menghentikan langkah, begitu juga joko. Mereka bertatapan. Bingung dengan perubahan Denisa.
"Gue tadi juga diceramahin. Entah, tu anak kenak setan baik di mana?" Keluh Joko.
Reno mengangguk. Pada biasanya, Denisa akan menoyor kepalanya sebagai balasan teriakannya, kini ....
"Yuk, ah! Entar kita cari cara buat ngeluarin setan baik. Denisa ngga asik kalau kayak gitu," ucap Reno yang kembali melangkah. Joko mengangguk, kemudian menyusul.
...
Denisa melihat keluar jendela. Banyak bangunan tinggi dan megah yang mereka lewati. Dulu, hanya mimpi melihat bangunan ibu kota, sekarang dengan mata kepalanya, menyaksikan keindahan ibu kota walaupun banyak polusi udara.
"Kenapa bilang gue mau belikan elo perhiasan?"
Denisa menoleh. Dia menyengir, memamerkan gigi ginsung di bagian kiri. "Ngga ada alasan lain. Gue ngga suka dandan menor."
Devan mengangguk. "Jadi alasan itu ngga beneran, kan? Aku ngga harus belikan kamu perhiasan, kan?"
"Ngga. Santai. Uang lo aman. Eh, emang kita satu sekolah?"
"Kamu macam lupa ingatan. Iyalah. Cuma beda kelas. Elo A dan gue C. Elo yang sekarang beda dari yang dulu. Dewinta si modis dan trandy."
Denisa mengangguk. "Entah, setelah gue mimpi di begal, gue takut pakek perhiasan. Entar beneran di begal, ****** gue." Hanya itu alasan yang bisa Dia kasih. Mungkin alasan itu cukup logis, untuk menghindarkannya dari yang namanya pakai emas. Berat.
"Oh. Tapi bagusan gini, kok."
"Nah. Mata elo masih suci berarti."
Sepanjang perjalanan, Denisa dan Devan ngobrol terus, walaupun kadang tidak nyambung. Hingga mobil masuk halaman sekolah dan terparkir apik di sisi kanan sekolah.
Devan turun, setelahnya Denisa. Mereka jalan bersama menuju kelas.
Di lorong, semua mata menatap tajam pada Denisa. Ada juga yang bisik-bisik sambil menunjuknya. Dan paling parah, ada yang berteriak 'pelakor lewat' membuat Denisa menghentikan langkah. Dia tidak tahu maksud teman-teman Dewinta itu apa, tapi dia peka kalau kata-kata itu diarahkan untuknya.
"Udah, Ayo." Devan menarik tangan Denisa. Membuat gadis itu kembali melangkah. "Jangan dengerin," sambungnya.
"Gue ngga tuli."
"Iya. Tapi abaikan."
Denisa memutar bola mata. Mending dia diam atau tarikan ini akan semakin kencang, seperti pengembala menarik sapinya, hanya untuk menjauhkannya dari mata jahat murid lainnya.
"Kamu masuk."
Denisa mengangguk. Dia pun melangkah masuk ke dalam kelas. Sama, murid dalam kelas juga menatapnya tajam. Tapi ada dua orang di bangku barisan ketiga melambaikan tangan.
"Dewi."
Denisa mengangguk. Dia segera menghampiri dan duduk.
"Elo ngga papa, kan?" tanya Meta, gadis berambut keriting gantung.
"Gue laper." Denisa lupa makan karna asik bercerita dan lihat pemandangan. Kini, dia mengeluarkan kotak bekal yang diberikan Mamanya.
Di dalam kotak itu, ada roti bakar selai coklat. Diambilnya satu dan melahapnya pelan.
Meta bertatapan dengan Diah, sahabat Dewinta satunya. Menatap aneh dengan perilaku Dewinta. Gadis modis itu sangat menjaga image, makan harus di tempatnya, kantin, bukan dalam kelas.
Bel masuk berbunyi. Jam pertama adalah matematika, Pak Azzam masuk dengan kharisma yang luar biasa.
Meta dan Diah melirik pada Denisa. Menanti reaksi apa yang akan di lakukan oleh penggemar terbaik guru cuek itu.
"Pagi, Anak-anak?"
"Pagi, Pak."
Pak Azzam menatap pada Denisa yang juga menatapnya. Wajah wanita itu datar, membuat Azzam tersenyum. Bagus kalau muridnya itu tidak berulah. Pelajaran pasti akan sangat menyenangkan.
"Elo kok diam?" bisik Meta.
"Emang gue harus ribut?" Denisa harus sabar, ini awal, dia harus sabar dalam penyamaran.
Bukan itu jawaban yang Meta mau dengar. Biasanya Dewinta bakalan menopang dagu menatap takjub Pak Azzam dari pertama mulai belajar sampai jam guru cuek itu habis.
"Biasanya, elo ... ah lupain." Meta tersenyum kala mendapati sahabatnya tidak terpuruk setelah kejadian memalukan kemarin. Dia malah tenang dan seperti tidak terjadi apa-apa.
Jam pelajaran selesai. Baru kali ini Pak Azzam merasa nyaman mengajar. Dewinta yang biasa memelototi, hari ini banyak menunduk.
"Baik. Besok tugasnya kumpul di meja saya." Setelahnya pak Azzam keluar.
"Dewi, elo mau ikutan ke kantin?" Diah bertanya takut-takut.
"Boleh. Ayo." Denisa berjalan duluan diikuti Meta dan Diah. Langkah mereka menuju Kantin.
Sebelum masuk ruangan Kantin, Denisa bertatapan dulu dengan pak Azzam yang mengambil tempat di pojokan, bersama dengan wanita cantik.
"Kita makan di kelas aja, gimana?" tawar Meta. Mengantisipasi Dewinta ketemu lagi dengan istri pak Azzam. Takutnya, labrakan kedua terjadi.
"Makan di sini lebih enak, lah." Denisa masuk. Dia mengambil tempat di samping pak Azzam, satu-satunya tempat yang kosong.
Keberadaan Denisa membuat istri pak Azzam menoleh, kemudian matanya membulat, tangannya mengepal. Dia mengambil mangkok bakso yang isinya masih banyak di depan suaminya, segera berdiri dan menyiramkan tepat di atas kepala Denisa.
Denisa kaget, tapi berusaha tenang. Dia mendongak, melihat wajah marah yang mulai mengeluarkan kata kasar.
"Jangan dekati suami saya lagi. Pergi kamu! Dasar pelakor!"
Denisa menautkan alis matanya. Dia tidak mengerti apa yang dimaksud wanita itu. Dekati suami? Pelakor? Tuduhan apa itu.
...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
(`⌒´メ) HONEY BEAR ✧ 🦕
Wah kacau si Dewinta😶
2020-11-23
0
Sept September
like
2020-09-08
0
APRILIANIANO
Salam manis dari Help Me Please
2020-09-02
1