Menikah adalah impian semua orang. Apalagi jika kita menikah dengan seseorang yang kita cintai, pasti kita akan merasa sangat bahagia.
Semua orang pasti menginginkan pernikahan. Tidak ada orang yang bisa hidup individu, mereka saling membutuhkan satu sama lain.
Tapi tidak dengan Nadia, perempuan cantik yang sekarang sedang mengenakan kebaya putih tulang, berdiri sendu di pinggir kaca kamarnya.
Cahaya matahari menerobos masuk kedalam kamarnya, Make up tipis menghiasai wajah cantiknya.
Tes...
Air mata Nadia menetes tanpa izin, dia membasahi kedua pipinya yang sudah di penuhi oleh make up.
"Nadia sayang, Maaf aku baru datang. Soalnya aku harus membantu untuk mendekor sedikit pinggir rumah kamu yang berantakan tadi." Suara cempreng itu berasal dari pintu masuk kamarnya.
Nadia hanya diam, dia tersenyum kepada Melody yang baru datang ke kamarnya.
"Kamu nangis? Ada apa?" Tanya Melody, khawatir.
"Aku takut, Aku takut jika nanti Rehan bertingkah kasar setelah berhasil menikahi ku." Isak Nadia, menunduk.
Melody tersenyum tipis, wajar saja jika ketakutan itu menghantui Nadia. Pasalnya bahwa Nadia dan Rehan hanya saling mengenal secara singkat. Tapi Melody yakin, Pengusaha muda itu tidak akan menyakiti perasaan sahabatnya.
"Aku paham akan ketakutan mu, tapi tenanglah Nad, semua akan baik-baik saja." Melody memeluk sahabatnya, dia akan selalu menjadi orang terdepan untuk menerima semua keluh dan kesal Nadia nanti.
***
"Kenapa Mama terlihat gedutan? Pasti gara-gara papa." Eva menyalahkan suaminya atas badannya yang sedikit melebar.
"Kenapa papa yang salah?" Bram tidak habis fikir dengan istrinya, dia selalu sibuk dengan pekerjaannya, berangkat pagi pulang malam, lalu ketika badan istrinya melebar, kenapa dia yang di salahkan?
"Ya, iyalah papa yang salah. Papa selalu bawa martabak manis ketika pulang kerja, jadi mama gendutan sekarang." Lagi-lagi Bram mendengus. Bukankah Eva sendiri yang meminta dirinya untuk membawakan Martabak manis ketika pulang kerja? Lalu kenapa sekarang dia malah marah-marah tidak jelas kepadanya.
"Pa, Ma, Ayo...." Seru Rehan. Lelaki itu sudah rapi dengan jas yang berwarna senada dengan kebaya yang Nadia pakai.
Rehan sampai tidak bisa tidur semalaman karena menghafalkan Ijab kabul. Baginya pernikahan itu Sakral, dia tidak mau ada kesalahan di setiap pengucapannya nanti.
Semalam saat dirinya baru ingin memejamkan mata, Wajah Nadia terlintas di pikirannya. Hal itu membuat Rehan tidak sabar untuk memilikinya.
"Ayo, Kamu harus satu mobil dengan kita." Spontan Rehan langsung menggelengkan kepalanya. Dia malas mendengarkan perdebatan tidak berfaedah antara kedua orang tuanya.
"Gak, Aku bawa mobil sendiri." Tolak Rehan, cepat.
"Kalau kamu pakai mobil sendiri, yang ada kamu bukan sampai di pelaminan, Eh malah sampai ke kuburan." Timpal Bram, sambil menatap wajah tampan putranya.
"Benar kata papa kamu Rey, kamu pasti sekarang ini sedang gugup. Kamu gak akan fokus menyetir, lebih baik kamu bareng mama dan papa." Saran Eva.
"Gak, ya gak." Kesal Rehan.
"Biarkan Rehan bawa mobil sendiri mbak, keburu siang, ayo kita berangkat." Sepupu Eva menepuk pundak Eva.
"Tuh Ma, dengerin." Rehan berjalan menuju mobil putih yang terparkir rapi didepan rumahnya sambil bersiul.
"Ishhh, Anak itu." Geram Eva.
***
Nadia dan Rehan duduk berdampingan. Rehan menjaba tangan Aldi dengan gugup. Sekarang jantungnya berdetak cepat seperti orang sedang melakukan maraton.
"Baik, Saya nikahkan dan saya kawinkan, Saudara Rehan Mahendra bin Bram Mahendra, Kepada putri saya, Nadia Zaen binti Aldi Zaen, dengan mas kawin seperangkat alat sholat serta berlian 10 karat di bayar tunai."
"Saya terima nikah dan kawinnya Nadia Zaen binti Aldi Zaen dengan seperangkat alat sholat serta berlian 10 karat, tunai." Rehan melepas tautan tangan antara tangannya dan Aldi. Bibirnya mengembang dikala kalimat ijab kabul yang dia baca tidak ada yang salah.
"Bagaimana para saksi? Sah?" Aldi melihat para saksi yang menghadiri pernikahan Rehan dan putrinya, bergantian.
"Sah." Jawab para saksi, lantang.
"Alhamdulillah." Penghulu, Aldi, Bram, dan semuanya mengucapkan Alhamdulillah. Akhirnya mereka berdua Sah menjadi suami istri.
Rehan memasangkan cincin di jari manis Nadia, begitupun dengan Nadia. Mereka saling bertukar cincin. Tidak hanya itu, Nadia mencium telapak tangan kanan Rehan, begitupun dengan Rehan, dia mencium kening Nadia lama.
"Sekarang kalian sudah Sah menjadi suami istri. Pesan saya, semoga kalian berdua akan terus bersama sampai maut yang memisahkan." Pesan penghulu yang duduk di samping Aldi.
"Amin." Jawab Nadia dan Rehan, kompak.
Eva meneteskan air matanya. Sedangkan Meli sedang berpesta kembang api di dalam hatinya. Sebentar lagi perusahaan suaminya akan kembali melejit.
"Tuntun aku menjadi menantu yang baik, Ma." Nadia memeluk Eva, erat.
"Pasti itu nak, semoga kamu dan Rehan selalu bahagia. Dan satu...." Eva Tersenyum geli.
"Usahalah yang keras malam ini bersama Rehan, mama menginginkan cucu secepatnya." Nadia Tersenyum malu-malu mendengar perkataan Eva.
Sedangkan Rehan sedang mencium telapak tangan Aldi.
"Papa titip Nadia sama kamu nak. Jangan marahi dia ketika dia salah, tapi nasehati dia, dan bimbing dia agar menjadi lebih baik." Rehan mengangguk, Aldi menepuk punggungnya ketika dia memeluk papa mertuanya.
***
Sekarang Nadia sedang tidur di kamarnya, tentunya dengan Rehan. Keduanya sama-sama terdiam. Mereka sedang beristirahat untuk menghadiri resepsi nanti malam di hotel milik Keluarga Mahendra.
Deg...
Rehan memegang kaki putih Nadia. Nadia tidak lagi menggunakan kebayanya, dia sekarang sedang menggunakan baju tidur bergambar panda.
"Apa yang kamu lakukan?" Nadia hendak menarik kakinya, tapi Rehan menahannya.
Bibir Rehan tersenyum kepada Nadia. Perempuan itu terlihat semakin cantik setelah Sah menjadi istrinya.
"Kamu pasti capek, biar aku memijat kaki mu." Perlakuan manis Rehan semakin menamparnya. Di dalam hatinya, sebenarnya dia ingin menangis. Rehan sangat baik kepadanya, namun dia masih belum mencintainya.
"Kamu juga capek. Sebaiknya kita tidur, biar nanti malam kita tidak mengantuk ketika di resepsi pernikahan kita." Saran Nadia. Dia memejamkan matanya perlahan. Namun...
Tangan kekar memeluknya, membawa tubuhnya kedalam dekapan hangatnya. Ada tangan yang mengusap rambutnya, membelai setiap wajahnya.
Bau parfum Rehan menyeruak masuk kedalam hidupnya.
"Tidurlah sayang." Rehan mencium kening Nadia, singkat. Kemudia Nafas teratur mulai terdengar. Sekarang gantian Nadia yang membuka matanya, dia menatap setiap inci wajah Rehan. Perfeck, Nyaris sempurna.
Mata indah saat terpejam, Bibir sexsy, hidung mancung, serta rahang tegas yang bisa membius perempuan manapun.
"Oh Shitt...!!" Nadia mengumpat pelan. Rehan sedang bertelanjang dada sekarang. Nadia menghela nafas kasar, Rehan sedang menguji imannya. Roti sobek Rehan, membuat Nadia kalang kabut.
"Kenapa tubuh ku menjadi panas?" Gumam Nadia. Dia tidak bodoh untuk mengartikan ini semua. Dia tergoda dengan roti sobek milik Rehan.
Rehan menarik tubuhnya agar mendekat kepadanya, lelaki itu tertidur dengan pulas.
"Oh tidak, dinding pertahanan ku bisa runtuh sekarang." Nadia meruntuki dirinya sendiri. Bisa-bisanya dia tergoda dengan tubuh Rehan.
"Ayolah Nad, Kamu harus sadar, kamu menikah dengannya hanya karena perjodohan, bukan cinta. Kamu tidak berhak menginginkan dirinya. Setelah dia bosan kepada mu, Paling kamu akan di buang olehnya." Nadia mencoba menyadarkan dirinya. Tidak seharusnya dia menginginkan Rehan sekarang ini. Karena Rehan dan dirinya menikah bukan karena dasar cinta, tapi karena perjodohan konyol.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
charis@ŕŕa
knp kok gk up lg thor???
2020-09-25
0
Rani Maharani
Bagus asal jgn digantung ceritanya
2020-06-27
1
aya
sajauh ini ceritanya bagus... lanjuttt
2020-05-22
2