Hari telah sore saat mereka pulang dari pertemuan bisnis. Selama perjalanan pulang, diantara mereka tidak ada yang membuka percakapan walaupun percakapan untuk basa-basi saja. Bayangkan waktu selama setengah jam itu tidak ada percakapan membuat Rania bosannya minta ampun. Apalagi didalam mobil itu hanya ada dirinya dan Khanif.
Untung saja Rania merasa waktu cepat berlalu saat itu. Hingga dirinya tidak terlalu memikirkannya setelah mereka sampai di tempat parkiran mobil di kantor.
"Rania," panggil Khanif pelan setelah mereka berada didepan lift khususnya.
Rania menoleh disamping dan menjawab panggilan Khanif yang hampir tidak terdengar di telinganya.
"Iya pak."
"Mulai saat ini, kamu bisa menggunakan lift khusus ini untuk ke lantai duapuluh satu. 1122 adalah
Kode perintahnya."
"Baik pak."
Mereka pun sama-sama masuk kedalam lift kaca itu. Dari dalam sana, mereka bisa melihat segala macam aktifitas dari lantai terendah hingga menuju lantai tertinggi. Rania merasa heran saat setiap karyawan yang melihatnya berada disatu lift yang sama dengan Khanif seperti melihatnya dengan pandangan tidak percaya. Jujur, ia tidak tau apa maksud dari mereka memandangnya dengan pandangan seperti itu. Ia juga tidak ingin bertanya pada Khanif untuk saat ini.
Namun Khanif yang memang memiliki kepekaan yang tinggi, langsung saja berkata, "jangan heran mereka memandangmu seperti itu karena kamu termaksud orang yang beruntung bisa menggunakan lift khusus ini."
Rania menganggukan kepalanya tanda percaya. Pasalnya, ia hanya pernah melihat kalau selain dari orang tua Khanif dan Rendi sahabat Khanif, tidak ada lagi yang pernah memakai lift kaca ini. Bahkan sekretaris sebelumnya, belum pernah menggunakan lift ini selama dirinya berkerja di kantor Khanif.
Tidak tunggu lama disana, akhirnya mereka telah sampai di lantai yang terkesan sepi itu. Khanif pun melangkah lebih awal menuju ruangannya. Belum juga Khanif memutar knop pintu, ia kembali berbalik ke arah Rania yang sudah hampir duduk di kursi kerjanya.
"Rania," panggil Khanif.
"Iya pak."
"Segera datang ke ruangan saya, setelah kamu menyimpan tasmu," ujar Khanif sebelum menghilang dari balik pintu.
Rania mendesah, ia mengira Khanif akan memberikannya waktu jeda walau sedikit untuk beristirahat. Ternyata dugaannya salah. Rania pun menaruh tasnya dan bergegas masuk ke dalam ruangan Khanif tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.
"Pak," panggil Rania saat melihat Khanif yang tengah memandang keluar dari balik kaca ruangannya.
Khanif berbalik dan menyuruh Rania duduk. Ia membuka lacinya, lalu memberikan Rania sebuah flashdisk.
"Isi flashdisk ini adalah rencana kerja perusahaan selama setahun yang akan datang. Lihat isinya dan pelajari, setelah itu buat kontrak kerja sama dengan klien tadi. Hari ini sudah harus selesai."
"Pak, apa tidak sebaiknya saya mempelajarinya dulu," ujar Rania.
"Bukannya kamu sudah mencatat tadi, hal-hal penting apa yang dibutuhkan dalam kontraknya? Saya kira kamu cukup mampu menyelesaikannya dalam waktu singkat." Khanif melihat Rania dengan pandangan tidak ingin dibantah. "Saya tunggu hari ini juga," lanjutnya kemudian mengakhiri pembicaraan mereka.
Rania lalu keluar dari ruangan Khanif tanpa mengatakan apapun. Tentu saja, apa yang ingin dikatakannya lagi, kalau kata-katanya yang belum terucap sudah di blokir duluan oleh atasannya itu. Rania sampai tak habis berpikir, ternyata ini salah satu sifat Khanif yang baru diketahuinya - tidak ingin mendengar alasan apapun.
Sesampainya Rania dimeja kerjanya, Rania tanpa sadar memijit pelipisnya yang kini terasa sakit. Ia lalu mencolok flashdisk dan mulai mencari bahan apa yang ia butuhkan untuk membuat kontrak kerja sama seperti keinginan Khanif.
Beberapa jam telah berlalu, ia bersyukur karena dapat menyelesaikan pekerjaannya tepat waktu sebelum jam pulang kerja berakhir. Jadi saat ini, ia kembali berdiri didepan ruangan Khanif untuk memberikan dokumen kerja sama mereka dengan pihak perushaan lain yang tadi mereka temui bersama.
"Ini dokumen yang bapak minta."
"Taruh saja disitu," ujar Khanif tanpa melihat Rania.
"Kalau begitu saya permisi pak."
"Hem, kamu bisa pulang sekarang."
"Terima kasih."
Sebuah senyuman terbit diwajah Rania setelah ia keluar dari ruangan Khanif. Inilah yang ia anggap 'usaha tidak akan menghianati hasil' Lihat, tadi dirinya sangat sibuk sampai ia tidak pernah menyentuh ponselnya walau sedetik pun dan sekarang ia bahkan leluasa mengecek notif ponselnya sambil berjalan ke arah lift kaca.
Dengan semangat yang menggebu, ia menekan angka satu dan dua sebanyak dua kali yang membuat lift impian semua karyawan terbuka lebar untuknya. Ia pun melangkahkan kakinya masuk ke dalam lift yang akan membawanya ke lantai satu perusahaan.
Saat dirinya baru saja keluar dari lift, semua mata memandang padanya. Seakan dirinya adalah selebritis yang baru kelihatan setelah sekian lama menghilang. Dalam pandangan itu, Rania bisa menebak pandangan apa saja yang diberikan padanya. Ada pandangan penuh kekaguman, apa pandangan tidak menyangka dan bahkan pandangan iri pun tidak luput dari penglihatan beberapa teman kerja wanita padanya. Rania tidak memusingkan hal tersebut karena dirinya ingin cepat segera sampai dirumahnya.
Jarak antara kantor dan rumah tidaklah terlalu memakan waktu yang lama, sehingga Rania bisa sampai dirumahnya dengan cepat.
Sesampainya Rania dirumahnya, Rania bergegas masuk ke dalam kamar untuk membersihkan diri. Baru setelahnya, ia merebahkan diri ditempat tidurnya yang empuk.
Jujur saja, ia sudah lelah sekali setelah mereka pulang dari pertemuan teman bisnis. Rania mendesah panjang tatkala mengingat kerjaannya dihari pertama. Bagaimana tidak, setelah mereka pulang dari pertemuan bisnis, Khanif menyuruhnya untuk membuat kontrak kerja antara dua perusahan sesampainya mereka di kantor. Padahal, kontrak kerja itu akan ditanda tangani dua minggu kemudian.
Ya, Rania tau memang hal itu adalah tugasnya. Namun, apakah hal tersebut tidak bisa ditunda walau barang sehari saja? Untung saja fisik Rania sangatlah baik. Kalau tidak, entahlah apa yang akan terjadi padanya dengan pekerjaan yang lumayan menguras tenaga dan pikiran itu.
Saat Rania baru saja mau memejamkan matanya, ponsel yang ia letakkan di meja kecil samping tempat tidurnya berdering. Mau tidak mau Rania beringsut dan mengambil ponselnya itu.
"Huft, pak Khanif mau apa lagi sih," ujarnya setelah melihat nama yang tertera di layar ponselnya.
Ia pun menggeser layar yang berwarna hijau ke arah kanan, lalu menempelkan ponselnya ditelinga. "Iya, pak."
"Rania, segera datang ke rumah saya!"
Rania melongo saat mendengar Khanif berbicara dengan nada perintah seperti itu. Ia heran bin pusing saat tau jam tidurnya masih harus terganggu dengan deringan ponsel yang barusan terdengar. Dengan waktu yang sudah lewat jam kantor, ia masih harus mengikuti kemauan dari atasan langsung-nya selama seminggu? Apakah atasannya waras?
"Bapak waras ya? Pak, ini sudah bukan jam kerja saya lagi. Bapak menganggu waktu tidur saya, tau!"
Rania hendak mengatakan hal itu pada Khanif agar Khanif mengerti perasaanya yang ingin segera beristirahat. Tapi, semua hanya khayalan saat dirinya bergegas berganti pakaian untuk pergi ke rumah Khanif.
Biarlah ia menderita selama seminggu ini karena ia meyakinkan dirinya kalau ia tidak akan diterima sebagai pengganti sekretaris yang telah mengundurkan diri itu. Memikirkannya saja membuat Rania tersenyum senang.
Ia lalu menyambar kunci mobil papanya yang tergantung digantungkan dekat tv.
"Ma, Rania pakai mobil sebentar, ya."
"Mau kemana sayang," tanya Mama Dahlia.
"Rania mau kerumah atasan Rania, ma."
Mama mengangguk. "Hati-hati dijalan dan jangan pulang kemalaman."
"Iya ma." Rania pun pergi ke rumah Khanif dengan mengendarai mobil papanya.
Diperjalanan, tiba-tiba mobil yang dikendarainya mogok di jalanan. Untung saja ia segera meminggirkannya sebelum mobil itu benar-benar tidak bisa melaju lagi.
Rania takut. Ia sendirian dijalan yang mulai sepi ini. Ia lalu mengambil ponselnya hendak menghubungi seseorang yang dapat menolongnya. Saat dirinya ingin mendial nomor sang papa, sebuah panggilan masuk ke dalam ponselnya.
Ia seketika mengangkatnya dan menangis sejadi-jadinya tanpa melihat lebih jauh siapa orang yang telah menelponnya itu.
"Aaa ... tolong saya. Mobil saya mogok di jalanan," kata Rania membuat seseorang diujung sana terlonjak kaget.
"Kamu berada dijalan mana?"
Rania menyeka air matanya. Walau masih sesegukan ia tetap mengatakan tempatnya berada saat ini.
"Jangan keluar dari mobil. Tunggu saya disana."
Perasaan Rania makin gusar saat ia merasa waktu berjalan kian lambat. Bahkan karena ketakutannya, ia menenggelamkan wajahnya di stir mobil menunggu seseorang datang menjemputnya.
Beberapa menit telah berlalu. Ia terlonjak kaget saat tiba-tiba ia mendengar ada sebuah ketukan di kaca mobilnya. Perlahan ia menoleh, mengangkat wajahnya untuk melihat siapakah yang telah membuatnya semakin ketakutan.
"Ini saya, Rania."
Rania seketika tersenyum haru. Ia lalu bergegas keluar dari mobilnya dan tanpa ia duga, ia tertarik ke dalam pelukan orang yang menolongnya.
"Maaf sudah membuatmu ketakutan."
"Kenapa kamu lama sekali datangnya. A ... aku hampir saja mati ketakutan," ujarnya tanpa bersikap sopan lagi.
"Maaf." Tangannya terulur mengusap kepala Rania agar Rania tenang di sisinya.
Rania tersadar, ia mendongak melihat siapa yang telah memeluknya saat ini.
"Hah!"
To be continued.
Hayo ada yang bisa tebak siapa yang menolong Rania?
Tinggalkan jejak - like dan komentarnya, ya!
By Siska C
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 201 Episodes
Comments
fifid dwi ariani
trus semangat
2023-06-05
0
Syifa F
lanjut lagi kak
2022-04-19
2
Syifa F
lanjut lagi
2022-04-15
2