Hari senin tiba dengan sangat cepat. Padahal, Rania masih belum mau menjadi sekretaris Khanif yang terkenal dingin itu. Memikirnya, membuat dirinya menghela nafas panjang nan berat. Kini, ia telah berdiri tepat didepan pintu ruangan Khanif.
Sesuai tradisi sekretaris yang pernah menjabat, ia harus pergi menyapa atasan langsungnya itu. Ia pun berlalu dari tempat duduknya. Sampainya didepan pintu ruangan Khanif, ia menatap lekat knop pintu seraya menarik nafas panjang untuk kesekian kalinya. Setelahnya, ia mengetuk pintu megah yang ada didepannya.
Saat Rania menunggu suara seruan masuk, tiba-tiba ia kembali teringat bagaimana hal yang dihindarinya kembali terjadi padanya kemarin siang.
"Ehem ... kalau boleh tau, siapa kandidat pertama yang akan menjadi sekretaris pak Khanif, bu?"
"Tentu saja kamu, Lisa dan Farah akan bergantian di minggu berikutnya."
"Syukurlah bukan aku yang pertama."
Karena suara Rahayu yang kecil dan dirinya yang tidak terlalu fokus, Rania malah tersenyum karena berpikiran kalau dirinya bukalah calon kandidat pertama yang terpilih untuk menjadi sekretaris Khanif.
Rahayu yang begitu memperhatikan ekspresi Rania, menjadi heran dengan respon Rania kepadanya. Tapi tanpa menunggu lama, Rahayu menyodorkan tangannya hendak menjabat tangan Rania sebagai tanda penyerahan tugas.
"Terima kasih, bu."
Dengan senang hati Rania menyambut uluran tangan Rahayu dengan senyuman yang mengambang.
"Mulai lusa kamu sudah bisa mencoba menjadi sekretaris pak Khanif yang pertama."
"Hah!" Rania heran, "bu, bukannya Lisa yang pertama ya?"
"Kamu ngomong apa sih Rania? Atau jangan-jangan kamu tidak fokus atas apa yang barusan saya katakan tadi?"
Rania menggeleng seperti tidak mengerti maksud dari Rahayu yang kini ikut menatapnya heran.
"Saya tadi bilang, kamu yang pertama menjadi calon kandidat yang menjadi sekretaris sementara untuk pak Khanif selama seminggu kedepan."
Rania tersentak kaget saat dirinya mendengar suara dari dalam ruangan yang mengatakan kalau dirinya boleh masuk. Rania lalu memutar knop pintu dengan perlahan dan melangkahkan kakinya masuk ke dalam satu-satunya ruangan yang ada di lantai duapuluh satu itu. Ia menunduk sebentar, sebelum kembali melangkahkan kaki mendekati pria yang akan ia layani sebagai seorang sekertaris selama seminggu kedepan.
"Pagi pak," sapanya.
"Pagi." Khanif menjawab tanpa melihat Rania. "Apa jadwalku seminggu kedepan?" tanya Khanif langsung.
Tentu saja Rania tidak terkejut karena sebelumnya, ia sudah mengetahui apa arti dari pekerjaannya. Ia lalu berdehem kecil sebelum membacakan jadwal Khanif selama seminggu kedepan.
"Hari ini, bapak ada jadwal pertemuan dengan klien di grand clary pada jam sepuluh pagi ini. Setelahnya bapak free untuk urusan luar kantor sampai hari rabu."
"Selanjutnya."
"Hari kamis, bapak berangkat ke kota M untuk meninjau pembangunan vila disana."
Khanif mengangguk. "Kalau begitu, mulai hari ini, persiapkan semua kebutuhan perjalanan saya dan kamu."
"Hah?" Kontan Rania terkejut.
Ia tidak menyangka akan ikut dengan Khanif dalam perjalanan bisnis. Ia mengira karena dirinya hanya sebagai uji coba sekretaris saja, ia tidak akan ikut kemana pun atasannya ini pergi. Terlebih lagi pergi menuju luar pulau. Namun lagi-lagi dugaannya salah. Ia bahkan dengan tidak sadar membuka bibirnya - melongo tidak percaya.
"Kenapa?" tanya Khanif memicingkan matanya melihat Rania.
"Pak, sepertinya saya hanya mengawasi dari sini saja."
"Loh, bukannya kamu sekertaris saya sekarang? Jangan bilang kamu hanya menganggap ini sebagai uji coba saja! Meski begitu keadaan sebenarnya, harusnya kamu tidak harus menganggap demikian."
Lagi dan lagi, Rania tidak dapat berkata apa-apa selain hanya mengangguk patuh pada Khanif, lelaki yang tidak ingin dibantah sedikitpun dari cerita-cerita teman ruangannya.
"Baik pak. Kalau begitu saya permisi." Rania pun berlalu dari hadapan Khanif. Namun saat Rania hendak memegang knop pintu, tangannya hanya mengambang saat mendengar suara Khanif kambali.
"Tunggu."
Rania lantas berbalik, melihat tepat di mata laki-laki itu. Bisakah dirinya menghilang saja sekarang atau adakah orang yang bisa membantunya untuk lepas dikeadaan mendebarkan ini? Jujur, Ia bahkan takut mendengar apa yang ingin dikatakan Khanif selanjutnya. Seakan, kata-kata yang akan datang itu akan membuat hari-harinya yang santai akan menjadi berantakan. Dengan sedikit gugup, ia mengiyakan panggilan Khanif padanya barusan, tapi masih mematung ditempat.
"Kemari," panggil Khanif.
Rania kembali mendekat namun tidak sampai menunduk hormat kembali.
"Iya pak."
"Kamu bilang saya free hari rabu dan pada hari kamis saya harus berangkat ke M. Bagaimana dengan ini, perjalanan saya kesana dipercepat jadi hari rabu. Namun, hanya kamu dan saya yang tau kalau perjalanan ini dipercepat. Kamu ngerti kan?" Khanif kembali memicingkan matanya membuat Rania mengangguk mengiyakan.
"Satu lagi, karena keberangkatan kita dipercepat, saya mau kamu memesan terlebih dahulu kendaraan dan tempat menginap yang juga hanya diketahui oleh kamu dan saya."
"Iya pak."
"Baiklah, kamu boleh pergi. Selamat menjalani hari baru."
Deg, Rania seperti merasakan detakan jantungnya barusan menguat. Entah mengapa kata-kata Khanif barusan seperti memperngaruhi hatinya. Tidak ingin bertambah bingung, secepatnya ia berlalu dari ruangan berdominasi warna putih gading dengan interior modern itu.
Dibalik pintu ruangan Khanif, Rania bersandar dengan tangan berjulur ke dada. Ia memegang dadanya yang masih berdegup kencang. "Huff, kenapa ini?"
Ia sendiri tidak tau apa yang terjadi dengan dirinya. Padahal Khanif hanya memberinya selamat dalam menjalani hari baru. Sebegitu berpengaruhnya kah, kata-kata Khanif? Rania seketika menggelengkan kepalanya, mencoba menepis anggapan yang hinggap di kepalanya. Ia pun berlalu dari pintu masuk ruangan Khanif menuju meja kerjanya sendiri.
Disana, dimeja yang baru tempatinya pagi ini, ia mulai mengerjakan tugas yang telah diberikan padanya barusan. Ia pun mulai mengetik kata kunci, yaitu nama sebuah kota yang ia sebutkan tadi di hadapan Khanif. Melihat layar komputer yang masih melakukan pencarian, ia mengambil note kecil untuk mencatat keperluan mereka saat sedang berada disana.
Akhirnya apa yang telah di carinya terbuka juga. Ia pun meng-klik salah satu artikel dan mulai membacanya. Lalu setelah mendapatkan apa yang tengah dicarinya, ia mulai menorehkan tulisan tangannya di note yang tadi diambilnya. Ia bergantian mencatat saat sudah membaca satu artikel ke artikel lainnya.
Tidak lupa pula, ia melakukan pencarian di youtube untuk membandingkan apa yang telah dibacanya tadi dan apa yang sekarang ia lihat. Ia mengangguk-anggukan kepalanya tatkala apa yang dibacanya sama persis dengan apa yang sedang dilihatnya saat ini. Saat semua pencariannya selesai, ia membereskan meja kerjanya dan kembali menuju ruangan Khanif.
Sekali lagi - sampainya Rania disana, ia mengetuk pintu bercat putih itu. Namun seberapa kali dirinya mengetuk pintu, tidak ada juga jawaban dari dalam ruangan. Dengan takut-takut, Rania mulai memutar knop pintu dan memasukkan sedikit kepalanya untuk melihat apa yang terjadi didalam.
Ia tentu tahu hal yang ia lakukan adalah hal yang salah, tapi mau bagaimana lagi, ia sudah beberapa kali mengetuk pintu ini, tapi tidak ada juga tanda-tanda seruan masuk ataupun pintu yang terbuka.
Sesaat dirinya telah didalam ruangan Khanif dengan berdiri dibalik pintu, ia melihat ke kanan dan ke kiri mencari keberadaan Khanif. Tapi, seusaha apapun itu, ia tidak mendapati keberadaan Khanif dimana pun. Hingga, ia memberanikan diri masuk kedalam.
Saat dirinya sudah berada didepan meja Khanif, ia terperanjat kaget saat seseorang menepuk pundaknya dari belakang. Pelan namun pasti, ia berbalik hendak melihatnya. Matanya dan mata orang yang tengah dicarinya beradu pandang, seketika ia menundukkan pandangannya.
Ia begitu terkejut saat melihat Khanif menatap tajam ke arahnya. Seperti ingin memakannya saja. Apalagi dengan penampilan yang baru pertama kali ia lihat - baju koko dan tak lupa pula peci yang masih berada di kepala Khanif.
"Maaf pak, saya sudah mengetuk beberapa kali tapi tidak ada jawaban. Jadi saya masuk saja ke sini."
Khanif diam melihat gadis didepannya takut. Ia pun berdehem mencoba mencairkan suasana.
"Kamu kira saya monster apa, sampai gemetaran begitu."
"Hah!"
"Duduk," perintahnya. "Apa yang membuatmu jadi tidak sabaran?" tanya Khanif melanjutkan setelah Rania telah duduk.
"Ini pak, saya ingin memberikan catatan ini kepada bapak," ujarnya seraya memberikan note yang tadi dipakainya mencatat.
Khanif mengangguk. Tangannya terulur untuk mengambil note ditangan Rania.
"Terima kasih."
"Sudah tugas saya pak."
"Oh iya, kalau jam begini saya tidak menyahut, berarti saya sedang sholat dhuha. Kamu mengerti?"
"Iya pak."
"Satu lagi, kamu siap-siap lah kita akan segera berangkat.
"Iya pak."
"Baiklah, kamu boleh pergi."
Setelah mengangguk, Rania berlalu dari ruangan Khanif secepat yang ia bisa karena tentu saja Khanif hendak mengganti pakaiannya kembali karena mereka akan pergi menemui teman bisnis yang telah melakukan janji temu.
To be continued.
Halo, jangan lupa like dan komen, ya!
By Siska C
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 201 Episodes
Comments
Dewi Fajar
sip
2024-04-26
0
Helni Lewan
lanjut thor
2024-04-25
0
fifid dwi ariani
trus berkarya
2023-06-05
0