Hari berikutnya takdir kembali mempertemukan Eun Mi dan Seung Min. Sore itu langit berwarna jingga. Semilir angin menerpa rambut Eun Mi. Ia sedang menikmati senja di rooftop gedung, ditemani secangkir americano hangat.
Seung Min menuju lantai teratas gedung untuk merokok. Begitu membuka pintu, ia melihat siluet gadis yang membuatnya sedikit terobsesi akhir-akhir ini.
Mendengar pintu berderit, Eun Mi menoleh. Ia melihat Seung Min berdiri di sana. Sontak gadis itu bangkit dan membungkukkan badan. Seung Min melangkah mendekati Eun Mi, kemudian ia duduk di bangku yang sama dengannya.
Eun Mi duduk di tempat semula, walaupun sedikit canggung. Suasana terasa sunyi, tak ada satu pun dari mereka yang angkat bicara. Hanya terdengar tiupan lembut angin dingin ketika menerpa kulit keduanya. Seung Min memutuskan untuk membakar lintingan tembakau. Mencium aroma rokok, Eun Mi menoleh. Ia tak menyangka jika Seung Min adalah perokok.
"Anu ... Presdir, apa Anda pecandu rokok?"
Seung Min hanya diam tidak menanggapi. Ia menghisap lintingan tembakau di tangannya dengan santai. Merasa tidak digubris, Eun Mi menghela nafas. Sebuah kalimat meluncur dari bibir mungilnya dan membuat sang presdir menoleh.
"Rokok dan kopi itu rasanya pahit bagi mereka yang tidak tahu cara menikmatinya," ucap Eun Mi.
Seung min menoleh, menatap gadis yang duduk di sampingnya yang mulai tersenyum. Eun Mi melemparkan pandangan ke langit yang mulai berwarna jingga.
"Presdir, tahu? Banyak orang di luar sana yang masih menilai sesuatu dari penampilan luarnya saja," kata Eun Mi.
"Tidak juga. Aku bukan orang yang seperti itu."
Seung Min ikut menatap langit sore.
"Benarkah? Kalau begitu ... menurut Presdir, Aku ini orang seperti apa?" Eun Mi bertopang dagu sambil menatap Seung Min.
"Cih, Kita saja tidak saling mengenal, bagaimana bisa Aku menilaimu orang seperti apa?" Seung Min mengangkat bahu.
Eun Mi mendengar penuturan lelaki dingin di sampingnya itu. Setelah berhasil meredakan tawa, ia kembali meminta Seung Min untuk menilainya.
"Kalau begitu nilai Aku dari penampilan luarku." Eun Mi duduk tegak dan menatap serius Seung Min.
Seung Min meneliti penampilan Eun Mi dengan saksama. Ia melihat wajah imutnya, kemudian memalingkan wajah. Lelaki itu kembali menghisap rokoknya dan mulai berbicara.
"Lugu, ceria, terkadang terlihat bodoh, dan ...." Seung Min tidak meneruskan lagi kalimatnya, karena tawa Eun Mi pecah.
"Hahaha, poin pertama adalah yang paling salah. Asal Presdir tahu, Aku bukan gadis selugu itu." Eun Mi tertawa sampai bahunya bergetar.
"Benarkah?" tanya Seung Min, dahinya berkerut menanti jawaban gadis itu.
"Aku ini perokok berat," ucap Eun Mi.
Seung Min tersenyum datar sambil menggelengkan kepala. Namun, seketika matanya melotot saat Eun Mi merogoh saku mantelnya, dan mengeluarkan sebungkus rokok lengkap dengan korek api. Rokok yang baru dihisapnya separuh jatuh ke lantai.
Eun Mi tersenyum simpul. Ia mengeluarkan sebatang rokok lalu menyalakannya. Gadis itu kemudian menghisap rokok dan meniupkannya ke udara.
"Dalam sehari Aku bisa menghabiskan dua bungkus rokok." Eun Mi tersenyum datar, diikuti mata Seung Min yang melebar.
"Ta-tapi kenapa sama sekali tidak ada bau tembakau yang menempel di tubuhmu?"
Seung Min tergagap.
"Aku juga tidak tahu penyebabnya, bahkan orang-orang bilang aromaku seperti persik," ungkap Eun Mi.
"Nah, betul!" Seung Min mengacungkan telunjuknya di depan wajah.
"Jadi kapan Presdir menyadarinya?" tanya Eun Mi sambil tersenyum lebar
"Kemarin, saat menolongmu mengambil brosur sialan itu!" Seung Min memalingkan wajahnya.
Perasaan Seung Min memburuk mengingat kejadian kemarin. Seketika ia bangkit lalu meninggalkan Eun Mi. Sebelum meraih gagang pintu, gadis itu menghampirinya.
"Presdir, mau menolongku? Atau mau berjuang bersama untuk berhenti merokok?" tanya Eun Mi.
Langkah Seung Min berhenti. Badannya berbalik lalu memandang wajah Eun Mi yang terlihat begitu serius. Ia merogoh saku jasnya, kemudian menyodorkan kartu nama kepada Eun Mi.
"Hubungi Aku segera, setelah itu Kita bicarakan lagi."
.
.
.
Beberapa hari setelahnya, Eun Mi memberanikan diri untuk mengirim pesan kepada Seung Min.
Selamat siang, Presdir, sore ini bisa bertemu di Trough Cafe?
Setelah lumayan lama menunggu sebuah panggilan dari Seung Min masuk.
" Ya, halo, Presdir," sapa Eun Mi.
"Nanti jam empat sore bisa bertemu? Aku hanya ada waktu tiga puluh menit. Jadi, usahakan datang tepat waktu." Suara Seung Min menyapa pendengaran Eun Mi melalui ponsel.
"Baik, Presdir. Saya akan ...." Ucapan Eun Mi menggantung di udara, karena sambungan telepon sudah terputus.
"Orang sibuk memang beda ya!" gerutu Eun Mi sambil memaki ponsel yang ia pegang.
Eun Mi datang sepuluh menit lebih cepat dari jam yang ditetapkan. Ia memilih kafe itu karena suka dengan keunikan penyajian latte-nya. Pemilik serta barista di kafe ini akan mengkreasikan minuman yang disebut dengan Cream Art.
Mereka menggunakan kopi yang diseduh dengan teknik Dutch Cofee sebagai kanvas dan dihiasi dengan krim manis halus. Sang barista menggambar latte art langsung dengan tangannya. Mulai dari gambar bunga sakura yang sederhana, hingga lukisan Starry Night karya Van Gogh yang sangat rumit dan terkenal.
Setelah lima menit menunggu, akhirnya Seung Min datang. Hari ini ia mengenakan kemeja lengan panjang berwarna biru muda yang dilipat sampai siku. Kemeja itu dipadukan dengan celana slimfit katun berwarna biru tua. Karismanya begitu menyilaukan mata. Tanpa sadar Eun Mi telah jatuh dalam pesona seorang Park Seung Min.
Eun Mi berdiri lalu melambaikan tangannya. Melihat sosok yang ia cari melambaikan tangan, Seung Min mendekat. Tanpa diberi aba-aba ia mendudukkan bokongnya ke atas kursi yang berseberangan dengan Eun Mi.
"Baiklah, langsung saja. Aku tidak suka basa-basi. Poin pertama yang mesti kuluruskan. Aku perokok tapi bukan pecandu." Seung Min mencondongkan badannya ke arah Eun Mi.
"Lalu kenapa Presdir menanggapi permintaan Saya? tanya Eun Mi sambil memiringkan kepala.
"I-itu karena ... setelah dipikir-pikir membantumu akan menjadi sebuah ladang perbuatan baik untukku." Tangan Seung Min kini berada di atas dada bidangnya.
"O ...," ucap Eun Mi sambil terus mengangguk.
"Jadi, apa alasanmu ingin berhenti merokok?" tanya Seung Min.
"Karena memang ingin berhenti saja." Eun Mi menatap Seung Min, sembari menyilangkan lengannya.
"Aku butuh alasan yang lebih spesifik. Jadi, Aku bisa memutuskan apakah kamu pantas ditemani berjuang atau tidak," kata Seung Min.
"Ayahku perokok berat. Dari merokok, ia mulai jadi pecandu alkohol. Setelahnya, ia suka berjudi dan sering memukul ibu." Mata Eun Mi menerawang mengingat kembali kejadian masa lalu yang memilukan.
"Lalu kenapa Kamu mengikuti jejaknya?" Seung Min menautkan kedua alisnya.
"Ibuku didiagnosis mengidap kanker paru-paru karena menjadi perokok pasif. Ia meninggal setelah berjuang selama setahun. Tadinya Aku berharap dengan merokok bisa segera menyusulnya." Eun Mi menunduk, bahunya kini merosot.
"Bodoh!" seru Seung Min.
"Aku memang bodoh," ucap Eun Mi sambil tersenyum kecut.
"Dan sekarang, kenapa ingin berhenti? Sudah tidak berniat untuk mati?" Seung Min tersenyum datar.
"Itu ... karena Aku tiba-tiba menemukan harapan untuk tetap hidup. Aku memiliki teman yang sangat menyayangiku," ucap Eun Mi dengan mata berkilat.
"Oke! Mari kita berjuang bersama!" Seung Min kini beranjak dari kursi, diikuti senyum Eun Mi yang mengembang.
Sejak saat itu mereka berdua saling mengingatkan satu sama lain. Keduanya mencoba berbagai cara agar bisa berhenti merokok, bahkan menentukan target kapan harus benar-benar hidup tanpa tembakau.
Demi mencapai target yang ditentukan, mereka sering makan bersama di atap. Biasanya Eun Mi akan membawakan bekal makan siang. Selesai makan, keduanya akan bermain game atau sekedar mengobrol agar tidak merokok.
Setiap pagi mereka akan bertemu untuk joging atau bersepeda di dekat sungai Han. Mereka bertemu hampir setiap waktu. Tanpa mereka sadari, sebuah perasaan asing mulai menyelinap. Orang biasa menyebutnya cinta.
Pagi itu suasana begitu cerah. Eun Mi yang libur, memutuskan bangun lebih pagi dan menyiapkan sarapan. Ia berencana akan sarapan bersama Seung Min setelah bersepeda.
Begitu sampai di tempat biasa bertemu, Eun Mi tidak melihat sosok Seung Min. Rasa kecewa menyelinap di dadanya. Ia merogoh ponsel di kantung celana training-nya, dan menelepon Seung Min untuk bertanya di mana ia berada.
"Halo Seung Min ... Kamu dimana?" tanya Eun Mi.
"Maaf, mulai hari ini Kita tidak perlu bertemu lagi. Kita sudah berhenti merokok," ucap Seung Min melalui sambungan telepon.
Mata Eun Mi mulai mengembun, tapi memang benar apa yang lelaki itu katakan. Perjuangan mereka sudah berakhir. Ia harus kembali terbiasa menjalani hidup tanpa Seung Min.
"Baiklah, terima kasih sudah mau berjuang bersama dan membantuku." Eun Mi langsung mematikan sambungan telepon. Ia sudah tidak sanggup menahan tangis, tak lama kemudian air mata Eun Mi mengalir deras.
"Huaaaaaaaaa... Aku tidak mau seperti ini!"
.
.
.
Bersambung ...
Semoga suka dengan ceritanya🤗🤗🤗
BTW sedang ada revisi untuk penggantian nama tokoh demi pengajuan kontrak. Mohon dukungannya❤️❤️❤️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments
Zey ✨️
👍
2022-01-31
2
Tri Eni Lestari
semangat thor...
namanya kusedikit susah ngingatnya 🙏🙏
2022-01-20
2