Acha hanya tertawa tanpa henti sejak Marry menyelesaikan detail ceritanya. Sudah sesuai dugaan jika suster Sandy sang bing gosip menyebarkan rumor tentang apa yang terjadi di ruangan Ravendra. Marry hanya merebahkan tubuhnya di atas ranjang dengan sambil mengerang kesal. Bisa-bisanya ada rumor jika Ravendra adalah mantan pacar Marry. Dan parahnya, Ravendra digambarkan sedang memohon untuk kembali balikan dengan Marry karena posisi Ravendra saat itu tengah duduk terjongkok di depan Marry.
“Ah, gila... maksud gue... ngapain gue jadi mantan si Martin? Gak ada cowok yang lebih oke apa? Masa gue ama om-om?”
“Eh, biar kata om-om... tapi si Martin ini sebenernya tipikal cowok hot lhooo... ,” sahut Acha.
Marry terdiam karena iya setuju juga dengan ucapan Acha. Jujur saja, penampilan Ravendra jauh dari doktrin dokter yang udah om-om botak. Dia justru terlihat manly dan memiliki aura kuat. Jika diibaratkan dalam novel, dia sudah layaknya CEO keren yang tajir. Beda nasib aja sih, dia jadi dokter keji berlabel Martin. Jika diingat juga, Marry sempat berada di jarak yang cukup dekat dengan Ravendra sebelum tragedi jatuh itu. Cukup dekat hingga Marry bisa mencium aroma vanilla dari tubuh Ravendra. Aroma yang manis dan menenangkan.
“Eh, terus gimana soal tujuh hari itu? Maksud gue, standar penilaian apa yang bakal Martin pakai untuk menguji lo?” tanya Acha seraya mengunyah keripik kentang.
Marry bergedik, “Entahlah... .”
“BTW, kapan si Zara balik dari Jepang?”
Marry mendesis, ia sudah beberapa waktu tidak berkomunikasi secara efektif dengan Zara. Ayolah, Zara jadi salah satu dari sumber masalahnya sekarang. Bisa-bisanya dia menyebut Marry sedang hamil. Dia sudah terlalu gila karena jadwal modelingnya. Hmmm....
“Lo masih marahan ama Zara?” tanya Acha lagi
“May be... .”
Acha memutar bola matanya asal. “Dasar bocah!”
Bugh! Sebuah lembaran bantal empuk, sukses mendarat di wajah Acha. Serangan balik! Siapa yang kau sebut bocah, huh?
"Eh, gue denger dari Zara.. lo pernah punya pacar dan nyaris kawin, ya?"
Marry hampir melempar ponselnya ke arah wajah Acha saat mendengar kalimat menjijikkannya, "Kawin? Lo kata gue kucing oren?" omel Marry. "Dan, yah... gue pernah punya pacar. emang ada orang suci yang gak pernah pacaran sampe umur 27 tahun macam gue?"
Acha terkekeh kecil, "Santai... bos... gue cuma penasaran. soalnya, lo gak pernah cerita sih soal percintaan lo."
Marry terdiam sejenak. Ya, dia tidak pernah cerita dan tidak ada keinginan untuk cerita. Menceritakannya, berarti mengulik luka lama. Untuk apa? Untuk nostalgia dengan sesuatu yang disebut 'gila'? Big No! Dia sudah cukup lelah dengan masalahnya, tidak perlu menabur garam di atas luka lama.
"Kenapa? Ada sesuatu yang seru nih... ."
"Lo pasti tau khan ama yang disebut, batasan?"
Acha berdecak kecil, "Segini aja nih, persahabatan kita?" tanya Acha.
Marry mendengus kesal, "Jangan pake tameng kata persahabatan. Tetap ada batasan. Ada garis tak kasat mata untuk menentukan, mana yang harus dan tidak harus diceritakan."
Acha menghela napas panjang, "Oke, gue hargai. Toh, dari cara lo bersembunyi di balik garis tak kasat mata itu, cukup ngebuktiin kalau itu bukan sesuatu yang indah."
Marry tersenyum tipis, "Tidak ada kisah cinta yang tidak indah. Hanya saja, akhir dari kisah itu yang bisa menentukan standar estetikanya." Marry menerawang kecil mengingat sekilas sejarah kisahnya, "Dan buat gue, dia tidak indah. Tapi, tidak buruk juga. Hanya masih enggan buat dibuka."
"Haduuh... cukup, miskah! Gue udah pusing ama hasil-hasil laboratorium pasien... gak usah ditambahin ama kisah lo yang nggak penting-penting amat. Udah, gue gak penasaran." Acha menggeleng-geleng gerah sambil menghentakkan tubuhnya ke atas ranjang.
"Sialan! Lo yang maksa nanya, lo yang emosi!"
"Ya lo, pake baca puisi segala, udah kayak sinetron aja. Udah... intinya, kalo lo siap buat cerita, gue siap jadi pendengar buat lo."
Marry menggaruk rambutnya dengan gelisah, "Lo butuh duit,ya?"
"F\*ck!" cerocos Acha yang sukses mengundang gelak tawa Marry. Setidaknya, bagi Marry ini cukup membuatnya mengubur rasa sedih yang sesaat menyeruak, membuat dadanya sesak.
Tidak Marry pungkiri, ia merindukannya. Sean.
... -oOo-...
Marry sedang terdiam, ia mendapat shift malam. Lagi. Oke, sejak dia ia melakukan perjanjian dengan Ravendra, jadwal shiftnya berubah drastis. Dia kebanyakan jaga siang atau malam karena Ravendra juga kebanyakan jaga di jam sore atau malam. Bahkan meski rumor mereka berkembang pesat seantero RS –dimana dalam hal ini membuat Marry ingin mengirimkan sesajen lengkap kepada suster Sandy— toh, Ravendra sama sekali tidak menggubrisnya. Dia masih saja bertekad untuk ‘menekan’ dirinya secara fisik dan mental. Dasar malaikat maut berhati setan!
Ting.
Pintu lift terbuka saat Marry sedang menguap selebar-lebqrnya. Sejak siang dia tidak tidur karena ‘sibuk’ marathon drama korea . Yah, dia hanya berharap semoga malam ini berlalu dengan tenang. Tapi, sepertinya, harapan hanyalah tinggal harapan. Bagaimana bisa saat ekspresi mengantuknya disaksikan langsung oleh Ravendra yang sudah berada dalam lift yang terbuka. Seketika Marry membekap mulutnya. Ia menunduk kecil sebagai salam hormatnya meski Ravendra meliriknya saja, tidak.
Hening sejenak. Ravendra menatap Marry tajam.
“Mau diam sampe kiamat?” tanya Ravendra.
“Huh?” Marry tersadar, ia masih berdiri bengong di luar lift. Dia tidak mungkin sudi masuk ke dalam sana. Satu ruang bersama Ravendra dalam tempat sekecil lift? Tolong, Big No!
“Silahkan duluan, dok... kunci mobil saya ketinggalan di tempat absen,” pamit Marry.
Pintu lift perlahan tertutup dengan Ravendra yang terus melempar tatapan tajam ke arah Marry yang berusaha tegar dengan senyuman kakunya.
Pintu nyaris tertutup sempurna dan Marry nyaris mengerang lega saat Pintu lift kembali terbuka. Ravendra menekan tombol lift, menahan agar pintu tidak tertutup.
Marry bisa merasakan hawa dingin menyertakan bersama dengan hela napas berat yang terlihat dari Ravendra. Sepertinya shift malamnya akan semakin panjang.
“Masuk.”
Singkat, jelas, padat dan dingin. Suara berat Ravendra sukses mengintimidasi Marry hingga ke sum- sum tulangnya. Gadis itu hanya bisa mengangguk dengan berat. Ia menelan ludah dengan kaku seraya menyeret kakinya memasuki lift.
Seketika ruang persegi yang sempit itu serasa semakin engap. Marry meringkuk di pojok lift sambil terdiam, menunggu hingga pintu lift tertutup sempurna. Lagi, aroma vanilla dari tubuh Ravendra tercium cukup pekat. Tipis namun manis. Yah, salah satu hal baik yang ada pada Ravendra adalah aroma vanilla yang khas. Sangat kontras dengan sikap dinginnya.
Tap!
Lagi-lagi, pintu lift batal tertutup sempurna. Serius, lift ini bisa kolaps jika diperlakukan semena-mena seperti ini terus. Marry yang berdiri berlawanan dengan Ravendra, mendongak ke arah pintu lift yang kembali terbuka. Seseorang muncul dengan napas sedikit terengah dan tangan kekar menahan pintu lift.
“Maaf, saya mau numpang liftnya,”ujar sosok itu.
Seketika Marry terdekat saat sosok itu berdiri sempurna lalu hendak melangkah masuk ke dalam lift. Hanya saja, langkahnya tertahan seiring dengan tatapannya yang beradu dengan Marry. Bola matanya melebar terkejut.
Tit tit tit. Suara pintu lift yang tertahan terlalu lama hadir di antara hening yang kaku.
Marry menurunkan pandangannya ke jas putih yang digunakan orang tersebut. Lengkap dengan nama yang terakhir jelas di sana.
Dr Arsean Sasongko, sp.B.
... -oOo-...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
Yuni Triana
aku mampir lagi Thor
2022-04-11
0
CumaAku
Wuhuuuu.. mantan balikkk
2022-03-29
0
ZaaraItsMe
Baguusssssss.. udah aku list favorit kak
2022-03-29
0