About Martin

 

              “Bumil, pasien di bed 3 sudah direkam jantung?” tanya Martin. Oke, terbiasa menyebut julukan Martin membuat beberapa orang lupa namanya. Dokter Ravendra Dwi.

              Marry hanya memutar bola matanya sebal lalu menoleh ke arah Ravendra dengan senyum lebar seraya menyodorkan secarik kertas berisi hasil rekam jantung pasien yang dimaksud Ravendra. Marry menatap cukup intens seolah mengatakan ‘berhenti memanggilku bumil’. Tapi Ravendra yang menerima kertas Marry hanya meliriknya sekilas. Dia benar-benar tidak peduli. Ditambah dengan ekspresinya yang jutek. Serius. Dia tidak takut terlihat tua, apa?

              “Bumil memang mudah emosi."

              “Ahhh... terimakasih atas perhatiannya, dokter,” ujar Marry setengah menggertak gigi, menahan emosi. Ughh! Menyebalkan!

              Sunyi sejenak. Marry melihat Ravendra sibuk menelisik kertas di tangannya dengan serius. Sungguh, apakah Ravendra serius menganggapnya hamil? Ekspresi wajahnya selalu serius termasuk saat memanggilnya bumil. Jadi, apakah Ravendra sungguh menganggapnya hamil? Ah, Marry sudah gila. Dia masih belum bisa menyelamatkan reputasinya. Dan, dia masih mogok bicara dengan Zara.

              “Ulangi.”

              “Ha?” Marry menoleh ke arah Ravendra.

              “ECGmu salah. Ulangi.”

              Marry menerima kembali kertas dari Ravendra. Dia menelisik hasil kerjanya dan merasa tidak ada yang salah. Dia mengernyit kecil dan memilih untuk mengambil alat ECG lagi dan menuju bed 3 untuk kembali melakukan rekam jantung sesuai perintah Martin, upss... Ravendra.

              Beberapa saat kemudian, Marry membereskan perlengkapannya, berpamitan ramah pada pasien dan menuju ke tempat Ravendra untuk menyerahkan hasil kerjanya. Lagi. ravendra membaca sekilas hasil kerjanya lalu melemparnya ke meja.

              “Ulangi.”

              Marry mengernyit kecil. Dia menatap kertas yang dilempar Ravendra. Menurutnya tidak ada yang salah. Ravendra juga tidak menjelaskan apapun yang salah dan hanya memerintahnya untuk mengulangi. Marry menggigit kecil jarinya dan kembali menuju pasien bed 3. Kali ini, pasien bed 3 merasa tidak nyaman karena harus diperiksa ulang.

              “Kenapa sih, dok? Ada masalah dengan saya?” tanya pasien tersebut.

              Marry tersenyum manis dan ramah, “Maaf, Pak... tapi saya hanya ingin memastikan lebih detail.”

              Sreeek. Kelambu dibuka dan terlihat Ravendra muncul. Ia menggeser Marry sedikit kasar dan menggantikan posisi Marry untuk memeriksa pasien tersebut. semua alat terpasang rapi dan siap untuk periksa. Tapi Ravendra melepas alat penjapit dari kaki dan tangan pasien, merubah posisinya. Marry mengernyit kecil lalu melihat petunjuk di alat rekam jantung. Ternyata ada petunjuk terlewat. Marry  mengira alat rekam jantungnya sama dengan yang biasa dia pelajari.

              “Maaf, dok.”

              “Minggir!” sergah Ravendra.

              “Tapi—.”

              “Saya bilang, minggir!” ucap Ravendra sambil melempar tatapan tajam pada Marry.

              Marry mencengkeram ujung jas putihnya dan perlahan menyingkir dari tempat itu. tak lupa, ia masih melempar senyum ramah pada pasien agar tidak cemas. Marry menutup kembali kelambu yang menutupi bed pasien. Sekilas ia mendengar Ravendra meminta maaf dan kembali menjelaskan prosedur tindakan yang akan ia lakukan pada pasien dnegan ramah, jauh berbeda dengan nada yang ia gunakan saat berbicara dnegannya.

              Gadis itu menunggu di luar selama beberapa saat dan kemudian melihat Ravendra selesai melakukan tindakan. Ia melengos melewati Marry begitu saja dan kembali ke meja kerja. Ia mengetik dan melaporkan detail kondisi dan hasil pemeriksaan pasien ke dalam komputer saat Marry menyeret kursi dan duduk di sebelah Ravendra.

              “Maaf dok, saya kira alatnya sama dengan yang biasa saya pakai praktek.”

              “Saya tidak peduli.”

              “Tapi—.”

              “Saya bilang, tidak peduli. Selain buta, kamu juga tuli?”

              “Ha? Oh... nggak dok. Maaf.”

              Ravendra mendengus kecil dan mengabaikan Marry yang masih tertunduk di kursinya. Marry tidak tahu harus bagaimana. Jika dia kembali berbicara, Ravendra akan mengomelinya. Jika dia pergi, Marry tetap akan masuk dalam masalah besar. Jadi, dia memutuskan untuk tetap di kursinya sambil melirik komputer Ravendra. Jika dilihat dari hasil rekam jantung, pasien sepertinya harus dirawat karena iramanya tidak normal.

              Marry terdiam sejenak lalu ingat jika pasien sempat bercerita tentang keluhannya beberapa hari terakhir.

              “Dokter... pasien tadi bilang kalau tiga hari yang lalu dia sempat nyeri dada kiri hingga tembus punggung belakang saat di kamar mandi. Dan dia sempat terjatuh juga. Tadi saya lihat di kakinya ada lebam dan bengkak.”

              Ravendra menoleh ke arah Marry. Awalnya dia terlihat kesal dan melempar attapan dingin. Tapi, setelah mendengar penjelasan Marry, Ravendra segera menuju ke bed 3 kembali. Tapi, belum lama dia membuka kelambu dan berteriak, “Code blue!”

 

-oOo-

 

              Marry terdiam di depan meja kerja ruangan milik Ravendra. Setelah kejadian di IGD siang tadi, Ravendra berhasil menyelamatkan nyawa pasien tadi. saat ini, pasien sedang dirawat di ICU dan cukup stabil. Ravendra mengehela napas panjang dan melempar tatapan tajam pada Marry.

              “Kamu melakukan 3 kesalahan fatal terhadap pasien tadi.”

              “Iya, dok... maaf.”

              “Kamu pikir, dengan maaf kamu bisa menyelesaikan masalah. Menjadi dokter adalah pilihan pribadi masing-masing. Saya punya alasan, kamu juga. Apapun alasannya, kita punya dasar kode etik dan SOP,” jelas Ravendra.

              Marry hanya terdiam. Jujur saja, apapun yang dia katakan, tidak akan mengubah apapun. Benar, kata maaf hanya jadi tameng untuk sesal sesaat. Karena dia memang salah. Ah, benar-benar sial. Sejak dua hari magangnya, Marry sudah dapat masalah bertubi-tubi. Dia tidak menunjukkan kemajuan apapun.

              “Kamu bisa berhenti mulai sekarang,” jelas Ravendra.

              Marry mendongak terkejut. Dia menatap Ravendra cukup serius, “Maaf? Maksudnya?”

              “Saya tidak mau menerima orang yang tidak serius dengan tanggung jawabnya.”

              “Tunggu, tidak serius?” tanya Marry.

              “Sejak awal, saya sudah tidak ada keinginan untuk berpositif thinking sama kamu. Kamu terlambat, kamu tidak mau memahami sekeliling dan kamu kurang cepat tanggap. Sudah lebih dari cukup untuk membuktikan kualitas kamu.”

              Marry terhenyak sejenak. Oke, dia memang banyak melakukan kesalahan. Tapi, tunggu, dia masih punya sisi positif. Dia cukup detail tentabg kondisi pasien. Walau agak terlambat. Tapi, apa ini pantas? Kita tidak hidup dalam drama yang membuat seorang dokter sebagai dewa penyelamat. Dan, Marry yakin kualitas dirinya tidak seburuk itu. hanya saja, saat ini orang di depannya bukan orang mudah untuk didebat.

              “Bengong? Keluar sana.”

              “Tu-tunggu... maaf, tapi sepertinya kita salah paham. Dokter, saya tidak seburuk itu. jadi, tolong beri saya kesempatan... ,” jelas Marry.

              “Sejak awal kamu sudah ditempatkan di IGD adalah kesempatan kedua dari saya. Karena sejak kamu terlambat dan membuat heboh di aula, saya sudah mencoret nama kamu.”

              Ravendra berdiri dari kursinya dan hendak pergi begitu saja karena tidak ingin berdebat dengan Marry. Marry tertawa getir lalu memutuskan untuk menghadang ravendra tepat sebelum membuka pintu. Ravendra menatap Marry dengan dingin sementara Marry mencoba melempar senyum tulus.

              “Kalau begitu beri saya kesempatan ketiga.”

              “Kamu lagi bernegosiasi dengan saya?”

              “Why not?” sela Marry, “Maksud saya... semua bisa dibicarakan baik-baik. Saya baru dua hari di sini. Baru dua hari anda menilai saya. Dan, anda menganggap saya sebagai sampah? No no no... ini gak adil. Setidaknya semingu melihat kinerja saya, baru anda menilai secara bijak.”

              “Oke. seminggu. Jika kamu tidak ada kemajuan. Pergi dari sana.”

              “Ha?” Marry terkejut dengan reaksi Ravendra. Harusnya dia mengajukan waktu sebulan alih-alih seminggu. “Sebulan?” tanya Marry.

              Ravendra mendengus dan melotot pada Marry yang hanya tertawa kecil.

              “Oke. seminggu... ,” desah Marry.

              Ravendra kembali mendorong Marry dan membuatnya terdorong ke sampping. Hanya saja, Marry belum siap dengan dorongan itu dan malah nyaris terbentur tembok. Tapi, Ravendra dengan sigap menahan lengan Marry agar tidak terbentur.  Tarikan tangan Ravendra membuat Marry terhuyung dan justru berbalik mendorong Ravendra hingga jatuh terduduk di depan Marry.

              Marry membekap mulutnya dengan panik dan hendak membantu Ravendra bangun tapi pintu ruangan Ravendra terbuka. Dan seorang perawat terlihat berdiri di ambang pintu, menyaksikan kejadian mereka berdua. Dan, Marry mengenal perawat itu. Suster Sandy, biang gosip IGD.

              “Oh, kemana dokter Ravendra? Sepertinya dia pergi. Oke,” ujar Sandy sambil menggedik bahu lalu menutup pintu ruangan Ravendra seolah tidak terjadi apa-apa.

              Marry menoleh pada Ravendra denagn tatapan cemas.

              “Kira-kira... bakal ada berita apa, ya?” tanya Marry.

              “Apa itu yang terpenting?” tanya Ravendra tegas.

              Marry! Apa yang terjadi dengan hidupmu, oh?

 

-oOo-

Terpopuler

Comments

CumaAku

CumaAku

cerita yg beda.. tapi baguuusss

2022-03-29

0

bunda f2

bunda f2

mampir, nyicil jejak dulu

2022-03-23

0

D᭕𝖛𝖎𖥡²¹࿐N⃟ʲᵃᵃ࿐

D᭕𝖛𝖎𖥡²¹࿐N⃟ʲᵃᵃ࿐

menarik.. like sambil baca

2022-03-06

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!