New Cha(os)pter

              Suara alarm berdentang cukup kencang di segala penjuru kamar kecil Marry. Ia masih terlelap di antara bantal, menganga dan sedikit mendengkur. Sesaat ia mengernyit dalam lelapnya dan mendesah panjang. ia terduduk dnegan mata masih terlelap. Ia menyipitkan mata, melirik ke arah ponsel yang tergeletak di meja sebelah ranjangnya. Ia mematikan alarm ponsel yang memekakkan telinga tersebut denagn sedikit bergumam tidak jelas. Tak lama, ia melihat jam yang tertera di sana. Jam 8 pagi.

              “Hmm... ,” ia mendesah, terdiam dalam lamunan sejenak lalu memasang wajah panik, “Sial! Telaaatt!”

              Ia bergegas bangun dari ranjang dan berhambur keluar menuju kamar mandi. Terdengar suara gemericik air singkat sebelum kemudian pintu terbuka. Marry membongkar lemari pakaian dengan masih menggosok gigi. Ia mengambil celana hitam dan sebuah kemeja warna biru langit dan melemparnya ke arah ranjang. ia memasukkan ponsel, charger, notes, bolpoin sekardus kecil, dompet dan sebuah name tag dengan potret dirinya memakai jas putih dokter. Ia kembali berlari ke kamar mandi dan tak lama keluar dengan rambut terikat. Ia memakai pakaian yang sudah ia pilih dan memakai sedikit make up dan di akhiri semprotan parfum ke seluruh jengkal tubuhnya. Sedikit terbatuk tapi ia tidak berdiam. Ia menarik tas, mengambil jas putih yang tergantung di delakang pintu, dan memakai sepatu sneakers hitamnya seraya berlari ke luar meninggalkan rumahnya. Sesekali ia melirik jam tangannya dan merapalkan sumpah serampah karena dia sudah bisa dipastikan akan terlambat.

 

-oOo-

 

              Pukul 9 lebih 5 menit, ia terbungkuk di depan pintu masuk lobby sebuah rumah sakit sambil ternegah. Keringat membasahi sekujur tubuh, bercampur dengan aroma parfum yang asal ia semprot. Ia cukup merasakan perut kosongnya berdenyut nyeri. Dia belum sarapan dan belum menyesap kafein favoiritnya. Dia melirik sekeliling dan bergegas menuju lift yang nyaris tertutup.

              “Maaf, permisi... ,” ujarnya sambil merangsek memasuki lift yang setengah penuh. Ia menuju ke arah dinding lift, menyandarkan diri sambil mengatur napas.

              Ia merogoh ponsel di dalam tas dan menemukan 17  panggilan tidak terjawab dari Acha. 20 pesan whatsapp dari Acha yang terus menanyakan keberadaannya. Dia juga melirik 3 pesan penyemangat dari Zara. Ada puluhan pesan di grup ‘Hell’ . Ia sedikit mulai rileks dan memilih untuk membalas pesan dari Zara sembari mengetik kata ‘Gue telat’.

              Pintu lift terbuka dan ia segera memakai jas putih yang terselip di tasnya lalu memasukkan ponsel ke dalam saku jas. Ia sedikit berjalan cepat menuju ruangan yang berada di ujung. Perlahan ia membuka pintu dan melihat beberapa orang berjas putih tengah duduk di meja bundar dan ada beberapa orang duduk berjejer di depan ruangan.

              Suara decit pintu yang cukup nyaring membuat semua mata tertuju ke arah Marry yang membatu dalam ketegangan. Ia terdiam sejenak, menelisik ekspresi setiap orang di sana. Ia melihat ke arah seorang gadis dengan rambut cepol yang tengah menepuk jidatnya, Acha. Lalu, Marry melihat ke arah depan ruangan. Ada sekitar 6 orang dengan jas putih namun dengan usia yang lebih tua. Mereka adalah para bos di Rumah sakit tersebut. Oke, ini cukup memalukan. Lagipula, kenapa pintu ini harus berdecit nyaring begitu?

"Maaf, saya terlambat... ," lirihnya dengan kepala tertunduk.

              Yah, hari pertama Marry magang dan dia terlambat. Dan lagi,  sebuah nyanyian dari lagu korea kesayangannya berbunyi memenuhi ruangan tersebut. Marry merasa familiar dengan suara musik itu. Seperti suara... panggilan ponselnya? Bergegas, Marry merogoh ponselnya dan meneukan Zara sedang meneleponnya.

              Marry mendengus dan berusaha mematikkan ponselnya tapi justru tidak sengaja menekan tanda loud speaker. Dengan sangat jelas, suara Zara di ujung saluran tengah memekik panik.

              “LO HAMIL?”

              “Ha?” Marry melotot dan melihat sekelilingnya yang tampak lebih mengerikan dari sebelumnya. Apa-apaan ini?!

 

-oOo-

 

              “Bunuh gue, cha... .”

              “Dengan senang hati,” ujar Acha sambil menepuk pundak Marry yang terduduk lemas di sebelahnya.

              Marry hanya bisa tertunduk sambil sesekali memukul kepalanya. Saat ini, ia sudah duduk di antara 15 orang termasuk dirinya dan Acha. Mereka sedang berada di ruang tunggu aula, menunggu informasi pembagian ruangan tempat ia magang. Mereka akan magang di RS tersebut selama tiga bulan. artinya, Marry harus berhadapan dengan rasa malunya sampai tiga bulan ke depan. Padahal, ia sudah berangan akan menjadi pemagang terbaik agar bisa jadi salah satu jajaran dokter di RS itu. tapi, harapannya musnah bersama dengan teriakan Zara di telepon tadi pagi. Kini, semua memandangnya sebagai ‘Bumil’.

              Meski sudah menjelaskan dan juga meminta maaf akan keterlambatannya, sepertinya dia akan menghadapi neraka yang jauh lebih mengerikan selama magang.

              “Bego gue,” ujarnya gemas.

              “Lagian, lo udah gue ingetin sejak semalam. Jangan sampe telat. Eh, malah hamil.”

              “Anjir lo... ,” omel Marry seraya menoyor kepala Acha dengan gemas.

              “Dulu, lo punya julukan ‘jenius’, ‘prety’... siapa sangka sekarang lo punya julukan... bumil.”

              “F*ck.”

              Marry menatap ponselnya. Ia masih membuka percakapan whatsapp dengan Zara dan tidak ada habisnya memaki gadis sialan itu. Bisa-bisanya dia teriak dengan polosnya untuk menanyakan kehamilannya. Kurang ajar memang sahabatnya itu. Dia terlalu polos atau terlalu bodoh, sih? Arrggghhh!

              “Lihat aja lo, Zar... begitu lo balik dari Jepang, mampus lo!” omelnya.

              Marry kembali meringis di pundah Acha yang makin terkekeh melihat kelakuannya. Acha menggosok kecil ujung kepala Marry dan sibuk mengecek ponselnya lagi. Acha adalah salah satu sahabatnya sejak masuk fakultas kedokteran. Dia cukup baik dan ramah. Mereka cocok dari segala segi terutama tentang ‘fangirling’. Ya... mereka sama-sama penggemar Kpop dan Kdrama.

              Sementara Zara adalah sahabat Marry sejak SMA. Dulu, Marry dan Zara bersahabat sejak MOS. Juga dengan Sean. Marry terdiam. Beberapa kalinya, untuk sesaat dia selalu teringat dengan Sean. Mantan pacar yang ia tolak lamarannya. Sean yang sudah lama menghilang dari hidup Marry.

Sejak kejadian saat itu, ia menghilang tanpa jejak. Mungkin, Marry cukup kejam menolaknya. Sean tidak bisa ditemukan dimanapun dan tidak bisa dihubungi. Membuat Marry merasa semakin bersalah. Tapi, sesungguhnya, Sean yang lebih kejam karena menghilang begitu saja. Dari semua tragedi itu, hanya tersisa Zara yang selalu di sisinya. Meski, sekarang gadis cantik itu sibuk karena dia sudah menjadi model yang cukup terkenal. Saat ini, dia di Jepang untuk menghadiri pergelaran fashion. Siapa sangka, gadis yang dulu tomboy, sekarang menjadi model yang ternama.

              “Oi, bilangin Zara... jangan lupa oleh-oleh buat gue,” ujar Acha.

              “Bilang aja sendiri. Gue mau mogok bicara dengannya.”

              “Hah! Childish.”

              “Bodo.”

              “Eh, kira-kira kita bakal dapat bagian apa? IGD? ICU? Ruang Operasi? Rawat Jalan? Gue harap sih, rawat jalan. Karena gak terlalu ribet.”

              “Gue Cuma mau nyelametin reputasi gue. Gak peduli dimanapun, asal gue bisa nyelametin reputasi dan status gue. Gue bakal buktinya kinerja gue!"

              “Yakin? Awas aja kalo lo masuk IGD. Bisa mampus!”

              Marry mengernyit kening ke arah Acha, “Maksudnya?”

              “Lo belum tahu IGD sini. Terkenal ada ‘Martin’.”

              “Martin?”

              “Iya, lo tahu ada karakter malaikat maut yang cukup terkenal di internet. Namanya Martin. Tapi, Martin di sini bukan Martin yang lucu. Tapi, Martin yang menyeramkan. Artinya dia dapat julukan malaikat maut yang menyeramkan. Pokoknya dia lumayan kejam."

              “Hah? Gimana gimana?”

              “Uggghh... makanya, kalau punya grup whatsapp jangan Cuma jadi koran doang yang gak dihayati. Kalau ada info penting terlewat, lo yang rugi.”

              “Cuman 5 persen doang info pentingnya. Sisanya? Useless...” sahut Marry sembari memutar bola matanya malas.

              Marry melepas ikat rambutnya lalu kembali menata rambutnya yang sedikit berantakan. Oke, suasana hatinya sudah cukup membaik sekarang. Dia hanya perlu melalui 3 bulan magang untuk jadi karyawan. Dan, semua selesai.

              “Jadi, Martin di IGD ini... dia malaikat maut? Why?” tanya Marry.

              “Karena dia killer. Dia cekatan, pandai, hebat dan tanggap pada pasien. Tapi, dia kejam mengerikan terhadap kita.”

              “So?”

              “Kebanyakan pemagang, mundur kurang dari satu bulan karena stress berhadapan sama dia. Jadi, dia dapat julukan itu, deh... .”

              “Oh.”

              “Oh doang? Kita lihat saja, lo bakal bisa setenang ini kah jika dapat tempat magang di IGD?”

"Bodo amat. Gue yakin, gue bisa melalui ini semua. Dimanapun gue berada. Gue... bakal jadi karyawan di sini!"

 

-oOo-

 

              “Hah!”

              Marry dan Acha berdiri berdampingan bersama empat orang lainnya di antara lautan pasien yang tergeletak di atas bed. Saat ini, mereka ada di tengah ruangan Instalasi Gawat Darurat. Pusat keriuhan dan keramaian selama 24 jam. Mereka di sana. Di IGD. Marry seperti sedang terkena karma. Walau dia tidak peduli dengan 'Martin'. Tapi, sebenarnya di IGD cukup merepotkan. Garda terdepan yang harus siaga. Artinya, tenaga dan waktu serta pikirannya akan banyak terkuras di sana.

              Marry terlihat cukup tenang tapi tidak dengan beberapa rekan yang lain. Mereka tampak lebih tegang dengan ekspresi takut. Mereka terlihat sangat tidak nyaman dan gelisah. Entah kenapa, ketakutan mereka ada di satu masalah. Martin. Oke, Marry sekarang cukup penasaran seperti apa si Martin ini.

              “Hanya ada 2 aturan main di sini,” ujar seseorang yang tiba-tiba muncul dari belakang mereka. Seorang pria berusia sekitar 35 tahunan dengan wajah yang cukup tampan. Dia berkulit sawo matang, tinggi sekitar 170cm, rambut pendek dan rapi.

              Laki-laki itu terlihat cukup tampan dan manly. Jujur, dia seperti idola dalam drama-drama. Hanya saja, dia terlihat kurang ramah dan sedikit jutek. Dia berkacak pinggang menatap ke arah para pemagang termasuk Marry.

              “Ralat. Ada 3 aturan main di sini,” ujarnya. “Satu. Kalian hanya mengikuti kata-kataku. Dua apapun yang terjadi ingat aturan nomor satu.”

              “Hhh,” desah Marry perlahan sambil menahan tawa mendengar aturan konyol itu. Seketika, laki-laki itu menatap judes ke arah Marry yang kemudian berpura-pura tertunduk.

              “Ketiga. Dilarang terlambat. Meskipun dia sedang hamil.”

              Sial. Gerutu Marry. Si Martin ini terlihat menyindirnya dengan gaya. Untuk sesaat, Marry meyakini satu hal. Laki-laki ini, menyebalkan!

 

-oOo-

Terpopuler

Comments

Dayu Fabi

Dayu Fabi

penggunaan tanda baca yang cukup bagus, keren banget

2023-06-02

0

UpTo Channel

UpTo Channel

masih ngakak klo sampe kata 'bumil'

2022-04-09

1

ZaaraItsMe

ZaaraItsMe

Huahahahaha... Bumil

2022-03-29

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!