"Maafkan kami, Rani."
Rani tersenyum kecut ketika permintaan itu terucap dari ibu atasannya ketika mengantarnya ke mobil untuk pulang.
Untuk apa ibu Lintang meminta maaf jika ia tetap tidak bisa menolak keinginan mereka untuk menikah dengan Raja.
Ia hanya ingin pendapatnya didengar!
Ia ingin mereka peduli dengan perasaannya!
Ia ingin dihargai disini!
Tapi Rani merasa semua hal yang mungkin bisa ia lakukan akan sia-sia. Tak akan merubah apa pun.
Karena orang sepertinya tidak akan pernah mampu melawan Rasya Shandika dan keluarganya.
"Kami hanya ingin Raja menikah dengan gadis yang tepat." imbuh ibu Lintang. "Dan ibu rasa kamulah orangnya. Karena kamu yang tahu betul seperti apa Raja sejak kecil."
Ingin sekali Rani mendengus. Justru karena Rani mengenal Raja begitu dalam, ia tidak ingin menjadi pendamping hidup Raja.
"Banyak wanita baik diluar sana selain Rani, bu." ujarnya lirih. Menunduk dan memilin ujung rok yang ia kenakan.
"Tapi kenapa harus Rani yang bahkan hanya seorang anak yang berasal dari panti asuhan? Bukannya itu justru akan membuat malu keluarga ibu? kak Raja juga pasti malu bu, punya istri yatim piatu yang tidak jelas asal usulnya."
Tangannya digenggam secara perlahan oleh ibu Lintang. Tangan tua yang begitu terasa kehangatannya.
"Meskipun Raja terlihat dingin dan menyebalkan, tapi sebenarnya dia baik kok. Jadi dia tidak mungkin berpikir seperti itu."
Tak ingin menjawab atau pun mendebat, Rani lebih memilih pamit karena mobil yang akan mengantarnya juga sudah siap.
Tentu saja bukan Raja yang mengantar. Pria itu tidak pernah mau direpotkan dengan mengantarnya pulang setiap kali ia berkunjung. Lagi pula Rani juga tidak mengharapkan hal seperti itu akan terjadi.
Sebelum memasuki mobil, Rani mendongak. Tepat ke arah balkon kamar Raja. Pria itu berdiri disana. Menatapnya dengan kedua tangan yang dimasukkan kedalam saku celana. Entah apa arti sorot matanya yang selalu terlihat tajam disetiap situasi itu.
Benarkah ia akan menikah dengan pria yang selalu ia goda itu?
Sekali lagi Rani pamit kepada ibu Lintang sebelum benar-benar masuk kedalam mobil dan pergi meninggalkan rumah megah itu yang ia harap, ia tak akan benar-benar menjadi salah satu penghuninya suatu hari nanti.
Dalam perjalanan, Rani merenung. Kesalahan apa yang sudah ia perbuat dimasa lalu hingga kehidupannya begitu menyedihkan seperti ini?
Dibuang di panti asuhan. Tak mengenal orang tua sejak lahir. Dan kini harus menikah dengan Raja dalam hitungan minggu.
Apakah ia orang yang begitu berdosa sebelumnya?
Apakah ia tidak bisa memiliki kehidupan normal?
Setidaknya jika ia tidak bisa hidup normal dengan orang tua yang menemani kehidupannya. Ia masih bisa hidup normal dengan memilih sendiri dengan siapa ia akan menghabiskan hidup.
Tapi kenapa semua justru tak ada satu pun yang sesuai dengan apa yang ia harapkan.
"Sudah sampai non." suara sopir membuat Rani kembali dari lamunannya.
"Ooh iya. Terimakasih, pak." ucapnya sebelum turun dan masuk kedalam panti yang sudah gelap.
Ibu panti dan adik-adiknya pasti sudah terlelap di jam selarut ini. Setidaknya ia bersyukur karena tak perlu menampilkan raut wajahnya yang tak seceria biasa didepan mereka seperti saat ini. Karena pasti ibu dan adik-adiknya akan khawatir.
"Baru pulang, Nak?"
Rani menghela napas ketika tengah kembali mengunci pintu ketika mendengar suara ibu panti.
"Kok ibu belum tidur?" tanyanya balik dengan senyum yang ia buat ceria.
"Nungguin kamu. Tumben mainnya sampai malam seperti ini?"
"Hari ini Rani mau tidur sama ibu ya?" pintanya mengalihkan pembicaraan. Tak ingin membahas apa yang membuatnya lama dikediaman Shandika. Toh nanti ibu panti akan tahu sendiri ketika keluarga Raja datang melamarnya secara resmi. Tentu saja minus tentang ancaman yang diberikan pak Rasya padanya.
"Tumben?"
Ibu panti yang Rani rangkul pundaknya menoleh bingung.
"Kangen ingin tidur dengan ibu."
Setelah membersihkan diri dan berganti dengan piyama tidur kesayangannya, Rani mengetuk pintu kamar ibu panti yang langsung diberi izin untuk masuk.
Ibu panti menepuk tempat disebelahnya yang sudah lebih dulu berbaring.
"Minggu depan Citra ada yang mengadopsi."
Rani yang sudah akan berbaring membatalkan niatnya dan memilih duduk bersila menghadap ibu panti yang juga beranjak duduk.
"Tadi orangnya sudah kesini, dan mereka akan membawa Citra minggu depan."
Harusnya Rani bahagia setiap ada adik pantinya yang diadopsi. Setidaknya mereka akan memiliki kehidupan yang lebih baik dari pada di panti ini.
Tapi ternyata hatinya tetap merasa berat setiap ada adik panti yang diadopsi. Ikatan batin mereka sudah selayaknya ikatan batin keluarga kandung.
Untuk itu ia tak berani menolak keluarga Shandika demi ibu panti dan adik-adik. Karena Rani menyayangi mereka. Keluarganya.
"Ibu sudah yakin calon adopternya orang yang baik?"
Ibu panti mengangguk. "Mereka orang baik. Masih saudara dengan bu RT kita. Seperti peraturan panti, kita bisa mengunjungi Citra untuk mengecek keadaannya. Dan kita bisa membawa dia pulang jika memang Citra tidak diperlakukan dengan baik disana."
Rani mengangguk dan berbaring di pangkuan ibu panti. "Semoga Citra bahagia ya bu?"
Rani membayangkan saat-saat dirinya terpilih untuk di adopsi. Tapi dengan keras kepala dan segala tingkah ia berusaha menggagalkan niat mereka yang ingin mengadopsinya. Hanya untuk menunggu seseorang yang ia sebut 'ibu'. Wanita yang melahirkannya ke dunia. Wanita yang tak sekalipun pernah ia lihat seperti apa rupanya.
"Bu?"
"Hm?" tangan tua itu mengusap kepalanya dengan lembut.
"Ibu Rani kira-kira cantik tidak ya bu?"
"Pasti cantik. Rani saja cantik."
"Kalau ayah Rani?"
"Ayah Rani juga pasti tampan. Karena anak yang cantik terlahir dari ibu dan ayah yang juga rupawan."
Rani mengangguk. Tersenyum sendiri membayangkan seperti apa rupa orang tuanya.
"Kira-kira..." Rani berhenti. Menormalkan suaranya yang mulai bergetar. "Mereka pernah memikirkan Rani tidak bu?"
Ibu panti diam. Tak menjawab apa yang Rani katakan. Mungkin tengah memilah kata yang tepat yang tidak melukai hatinya.
"Saat Rani ulang tahun.." mata Rani rasanya memanas. Dadanya juga sesak setiap ia memikirkan orang tuanya. "Pernah tidak ya bu... Mereka merindukan Rani? atau setidaknya, ingat kalau Rani ada didunia ini."
Ibu panti mengalihkan pandangannya dari Rani. Disudut mata, Rani melihat cahaya berkilau terpantul dari air mata ibu panti.
"Rani kangen, bu... Sekali saja.. Rani ingin bertemu orang tua Rani." hal yang selama ini Rani pendam seorang diri akhirnya terucap bersama air mata yang mengalir.
Dulu ketika kecil, Rani selalu duduk tak jauh dari gerbang panti. Berharap melihat ada orang yang diam-diam mengawasi panti. Berharap orang itu adalah orang tuanya.
Ia selalu berdoa semoga suatu hari nanti mereka akan datang menjemput. Mungkin waktu ia lahir, ekonomi keluarganya tengah tidak stabil. Dan akan menjemputnya setelah lebih baik.
Tapi semakin dewasa Rani hanya berharap semoga kedua orang tuanya dalam keadaan sehat dan bahagia. Agar keputusan mereka meninggalkannya di panti tidak menjadi keputusan yang sia-sia.
*
*
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 115 Episodes
Comments
Rini Ernawati
kasian skali kamu ran....
2022-06-03
1
listia_putu
kasihan rani ya,
2022-04-14
1
sry rahayu
😭😭
2022-04-11
1