Kendatipun malam masih kurang dari beberapa jam, tapi Dara sudah ketar-ketir menanti saat-saat itu menjelang.
Dara bukanlah orang yang pandai berkilah untuk menyembunyikan sesuatu dari padanya. Oleh karena itu, ia pasrah saja apa yang akan terjadi setelah ini.
Satu hal yang Dara yakini, Chandra mencintainya dan tidak akan mungkin meninggalkannya. Dara akan menjelaskannya bahwa ini terjadi karena sebuah kecelakaan.
“Aku harus yakin. Aku harus tenang. Mas Chandra pasti akan mengerti.”
Dara bersedih, padahal jauh hari lalu—malam ini adalah malam yang paling dia tunggu-tunggu, tetapi kini justru sebaliknya. Demi Tuhan. Dara tidak akan memaafkan orang yang telah memper kosanya! Orang itu harus menerima hukuman darinya setimpal mungkin! Ya, harus?!
Sebetulnya bisa saja Dara melaporkan kejadian ini ke polisi. Namun Dara takut namanya tercemar dan akan menjadi gunjingan banyak orang. Terlebih hal ini terjadi di malam pertamanya. Dia sudah memikirkannya lebih jauh.
Dia yakin banyak pihak yang bekerja sama dengannya lantaran mustahil jika seandainya pada malam itu tidak ada orang yang dapat menghentikan kejahatannya.
Dia menikah di sebuah aula gedung, bukan di hutan! Memang pada saat itu kondisi sudah sepi karena hari sudah sangat larut malam. Namun bukan berarti tidak ada orang satu pun. Dara masih mengingat betul, pada saat itu masih ada satu atau dua orang pekerja yang berseliweran untuk membersihkan sisa-sisa dekorasi dan prasmanan.
Oh ya Tuhan ... betapa bajingannya orang itu?!
“Ra?”
Dara menoleh pada saat mendengar Chandra memanggilnya. Jantungnya semakin berdebar kencang ketika pria itu mendekati. “Ya Tuhan ... apa dia akan meminta haknya malam ini?”
“Ya, ada apa, Mas?” tanya Dara berusaha menunjukkan roman wajah biasa.
“Aku harus pergi, mama memintaku untuk menemani Laras membeli ponsel baru. Ponsel lamanya rusak,” ujarnya. Laras adalah kandung Chandra yang masih berada di bangku SMA.
“Mau pergi sekarang?” tanya Dara.
“Anaknya minta sekarang. Mumpung aku masih libur. Besok aku sudah harus masuk kerja bukan?”
Dara berusaha memaksakan senyum. “Ya, pergilah, Mas.”
“Tidak apa-apa ‘kan aku tinggal?”
“Tentu saja.”
Chandra mengecup bibirnya sekilas sebelum pria itu pergi meninggalkannya. Dara merasa lega meskipun diketahui Chandra tidak akan lama di sana.
***
Vita dan Yudha sudah berbenah untuk kembali ke Jakarta. Beberapa koper sudah diturunkan oleh bellboys. Pun dengan ketiga anaknya yang kini sudah siap untuk turun ke bawah. Hanya ada satu yang tampaknya belum bersiap, yakni Alif. Karena sampai saat ini, dia belum terdengar kabarnya di sebelah.
“Sudah dihubungi, Alifnya Mas?” tanya Vita yang sedang menguncir rambut anak perempuannya.
“Sudah, tapi tidak diangkat,” Yudha menjawab.
“Mungkin dia ketiduran,” kata Vita lagi beranggapan demikian. Kemudian kembali fokus dengan Mauza, “Diam dong, Nak ... kalau begini mamanya susah menguncirnya.”
“Tidak mau ikat-ikat!” seru Mauza tidak nyaman dengan ikatan kencang di kepalanya hingga mencabut dan melemparkannya lagi ke lantai. Sehingga membuat Vita hampir hilang kesabaran.
“Rambut Moza ‘kan panjang. Kalau tidak diikat nanti bisa gerah. Gatal di muka, Sayang.”
“Umal mau ikat juga, Ma,” ucap Umar membuat kekesalan Vita meredam.
“Lihat anakmu, Mas. Yang rambutnya pendek justru minta di kuncir. Yang rambutnya panjang malah menolak. Aneh tidak? Apa mungkin nyawa mereka tertukar?” ujarnya tak kuasa menahan senyum bahagia memiliki anak-anak seperti mereka. Meskipun lelah karena mengasuh tiga orang anak kecil sekaligus, tetapi dia senantiasa tetap dalam keadaan senang. Ada—saja tingkah-tingkah lucunya yang membuatnya tergelak tawa.
Yudha hanya tersenyum, lalu meraih tubuh ketiga anak-anaknya. “Ini dua-duanya anak soleh, ini cantiknya Papa juga anak solehah. Tapi anak soleh harus nurut sama mama, ya? Oke?”
Ketiganya lantas menjawab secara bersamaan. Papa Yudha ada sosok yang paling mereka takuti setelah Abah Haikal.
Setelah memastikan keadaan kamar yang ditinggalkan dalam keadaan aman; tidak ada barang yang tersisa, kelimanya keluar dari dalam kamar tersebut.
“Tapi sepertinya kita harus mengetuk pintu kamar Alif dulu,” ujar Yudha saat akan meninggalkan koridor. “Mungkin benar apa katamu, Alif ketiduran.”
Namun setelah beberapa kali pintu kamar Alif diketuk, Alif tak kunjung membukakannya. Oleh karena itu, Yudha meminta istrinya untuk turun terlebih dahulu bersama kedua anak kembarnya terkecuali Rayyan. Sebab Vita sudah terlalu repot membawa Umar dan Mauza.
“Om! Om buka!” Rayyan membantu papanya mengetuk pintu.
“Sepertinya Omnya tidur, Nak.”
Rayyan hanya menatap papanya sekilas, kemudian kembali mengetuk pintu itu.
“Pak, Pak!” panggil Yudha pada salah seorang bellboys yang tengah melintas.
“Iya, Pak? Ada yang bisa dibantu?” tanya pria berusia sangat matang tersebut.
“Tolong bantu bukakan kamar ini, Pak. Di dalam ada adik saya. Mungkin orangnya ketiduran jadi dia tidak kunjung membukakan kami pintu.”
“Ini adik Bapak? Benar atau tidak nomor kamarnya?” tanya beliau memastikan.
“Sepertinya tidak, Pak. Kebetulan kami memesan kamar ini lewat satu akun aplikasi.”
“Baik kalau begitu saya bantu, ya.”
“Terima kasih, Pak,” ucap Rayyan ketika selembar kartu dimasukkan ke dalam akses dan pintu berhasil terbuka.
“Sama-sama, Dek.”
Dan benar adanya, pada saat Yudha dan Rayyan masuk, Alif masih tidur menelungkup dengan hanya memakai celana pendek saja. “Ya Tuhan, Alif! Bangun, Lif! Kita mau balik.”
“Om! Om! Ayo kita pulang, Om.” Rayyan berujar sambil mengguncang tubuh omnya. “Ayo, Om. Bangun kita mau pulang.”
Tidak lama kemudian, kelopak mata Alif terlihat bergerak-gerak. “Hei, siapa yang mengizinkan kalian masuk?” tanyanya dengan mata setengah terbuka.
“Ada tadi malaikat tanpa sayap,” jawab Yudha asal. “Tidurmu benar-benar seperti bang kai. Cepat mandi, kami sudah siap, Vita sama anak-anakku yang lain juga sudah ada di bawah.”
“Kenapa kau tidak membangunkanku semenjak tadi?” tanya Alif tak habis pikir.
“Jangan bilang aku tidak membangunkanmu. Lihat ponselmu, sudah berapa kali aku menelepon!” Yudha menahan kesal.
“Ini apa, Om?” tanya Rayyan. Anak itu memegang kotak kecil di atas nakas berupa alat pengaman.
Dan celakanya, tanpa mereka duga, Rayyan justru telah membuka salah satunya dan membuat Alif sontak membelalak.
“Ini balon mainan?” tanya anak polos itu lagi.
Lantas dengan gerakan cepat, Alif merebutnya untuk berusaha menyembunyikan. Tetapi sepertinya apa yang dia lakukan percuma. Tidak ada gunanya. Yudha sudah terlanjur melihatnya secara jelas.
Rayyan berlari ke dekapan papanya karena takut dengan ekspresi omnya yang hampir marah.
“Sini, Nak. Itu bukan balon mainan. Itu punya Om,” ucap Yudha menenangkan. “Jangan ambil-ambil sembarangan lagi, ya. Kalau mau minta sesuatu harus izin dulu.”
"Iya, Pa?"
Alif yang sudah kepalang malu itu segera beranjak dari tempat tidurnya, berniat masuk ke kamar mandi. Namun belum sampai dia melangkah, Yudha justru melayangkan pertanyaan yang tidak mungkin bisa dia jawab.
“Untuk apa itu, Lif?” tanya Yudha dengan nada dingin.
“Itu bukan urusanmu!” jawab Alif terdengar acuh.
“Itu bukan urusanku kalau kau sudah menikah. Masalahnya kau masih sendiri. Hanya orang bodoh saja yang tidak curiga melihat benda itu di kamar seorang lelaki yang masih lajang.”
“Jangan campuri urusanku! Semua orang punya masalah!” tegas alif lagi dan langsung menuju ke kamar mandi. Menutup pintunya dengan keras.
Yudha menahan napasnya. Menahan rasa kesal. Dia mengangkat tubuh anaknya yang ketakutan karena perseteruan mereka barusan. “Kita susul Mama, ya?”
Lagi-lagi Rayyan mengangguk. Kali ini dia lebih banyak diam akibat peristiwa menegangkan tadi.
Yudha merasa bersalah, tidak seharusnya Rayyan melihat semua ini. ‘Seharusnya aku biarkan saja tadi ia turun dengan adik-adiknya.’
Entah kenapa, sudah semenjak beberapa bulan terakhir, sikap adiknya tersebut berubah. Sebelumnya Alif Noran memang terkenal agak nakal, dan semua orang mengetahui itu. Tetapi tidak separah ini. Yudha merasa Alif sudah semakin jauh dari garis lurus.
Sekarang satu rahasia besar adiknya terungkap dan menjadi ganjalan terbesar di hati Yudha. Sejauh itukah adiknya terjerumus ke dalam dosa? Siapa wanita yang telah Alif nodai?
Yudha tidak habis pikir, padahal Alif tidak pergi sendiri, tetapi bersama mereka. Apa yang dilakukannya terbilang sangat berani. Kelak risiko apa yang akan Alif tanggung?
Yudha tidak akan pernah bisa mengorek lebih jauh lantaran dia tahu, Alif tidak semudah itu membuka mulutnya. Namun apa yang dilihatnya hari ini, cukup untuk membuka matanya suatu saat nanti.
***
To be continued.
Vote mana Vote?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
Lela Lela
Buaya alif tuh
2023-01-25
0
Lili Adelia
kebanyakan berbelit2
2022-07-29
0
NAZERA ZIAN
ceritanya bagus thor...
2022-05-27
0