“Aku diculik semalam,” sambung Dara lagi di sela isak. “Aku sudah hancur, Ta. Kehormatan aku direnggut paksa oleh binatang. Ya, aku yakin dia binatang karena dia tidak punya otak.”
Vita mengusap-usap punggungnya dan mengulurkan beberapa lembaran tisu. Dia sangat terenyuh sekali melihat sahabatnya yang sedemikian menderita oleh sebab yang tidak dirinya ketahui.
“Kamu ada di gedung pernikahan ‘kan Dar? Kenapa bisa sampai diculik?” tanya Vita kemudian.
Lantas Dara menceritakan awal kejadian kenapa ia bisa diculik. Mulai dari menerima sepucuk surat dari seseorang yang memintanya untuk bertemu di luar gedung, kemudian dibekap oleh orang tak dikenal hingga tak sadarkan diri. Lalu tahu-tahu sudah berada di tempat semula dengan kondisi yang mengenaskan.
“Ya Allah, Dar. Tapi bukannya ini malam pertama kalian? Lantas bagaimana suamimu mengetahui hal ini?”
“Malam ini aku masih selamat. Kita belum melakukan apa-apa karena Mas Chandra mengira aku sedang kelelahan. Tapi kalau untuk malam nanti, aku tidak tahu. Aku benar-benar bingung.”
“Lalu apa yang akan kamu lakukan, Dar. Apa setelah ini kamu masih mau membohonginya?”
“Aku tidak tahu. Aku ... aku takut diceraikan, Ta. Namaku pasti tercemar dan aku akan malu, apalagi keluarga.” Dara semakin tersedu dan semakin mengeratkan pelukan. Kedua wanita itu tidak peduli banyaknya orang yang berlalu lalang yang sesaat memperhatikan mereka.
“Dar, aku mau tanya,” ucap Vita ketik Dara sudah jauh lebih tenang. “Apa kamu punya musuh sebelumnya?”
Dara menggeleng. “Bukan tidak ada, tapi aku tidak tahu,” jawabnya.
“Siapa orang yang kamu curigai? Sebutkan satu-persatu biar aku bantu selidiki.” Vita menawarkan bantuan.
“Apa mertuaku atau bahkan suamiku sendiri bisa melakukan itu, Ta?”
“Kalau dalam kondisi seperti ini, tolong jangan gampang percaya dengan siapa pun selain dirimu sendiri. Berdasarkan pengalaman, orang terdekat adalah orang yang paling berpotensi. Bukan berprasangka buruk, tetapi kita sebagai manusia memang harus mawas diri. Semua bisa jadi pelaku ... dan kamu harus hati-hati,” kata Vita membuat ia mendongakkan kepalanya. Menatapnya dengan lebih serius.
Namun apakah betul mereka tega melakukan semua ini? Apa yang menjadi motifnya? Setahu Dara, mama atau papa mertuanya sangat baik. Meskipun pada awalnya mama Dwi dan adik iparnya sempat tidak menyukainya, tetapi perlahan semua keadaan itu berbalik.
Apa mereka memang menusuknya diam-diam, agar rumah tangga anaknya itu hancur perlahan?
Ah, keruh sekali pikirannya.
“Kalian masih lama ‘kan di sini?” tanya Dara karena ada perasaan tak rela jika sahabatnya itu pergi meninggalkannya lagi. Dara benar-benar sangat membutuhkan Vita sekarang ini dan ingin selalu bersamanya—karena hanya dialah sahabat satu-satunya dan terbaik yang ia miliki.
“Sebelumnya aku minta maaf, Dar. Aku tidak bisa tinggal lebih lama, nanti malam kami sudah harus pulang. Mas Yudha sama Alif banyak sekali pekerjaan. Lagi pula Rayyan harus sekolah. Aku sibuk sekali. Tetapi kapan-kapan aku ke sini lagi, kok. Aku janji.”
Meskipun keberatan, namun Dara tidak kuasa untuk menahan apa lagi melarangnya. Kehidupan mereka sudah berbeda.
“Makasih ya, Ta. Sudah mau mendengarkan ceritaku. Aku sudah jauh lebih lega daripada sebelumnya.”
“Ya, sama-sama, Dar. Terus ceritakan perkembanganmu ke depan.”
Dara mengangguk.
“Kalian hati-hati dijalan,” ucap Dara sebelum akhirnya mereka Vita pergi meninggalkannya.
Dara membayar tagihan minuman yang mereka pesan, lalu keluar dari tempat tersebut.
Tring ....
“Iya, Mas Chan?” Dara mengangkat panggilan dari suaminya sambil berjalan keluar.
“Jangan lama-lama perginya, aku kangen,” ujar suara dari seberang.
“Iya, sebentar aku mau cari taksi pulang, ya.”
“Betah sekali kamu dengannya. Aku jadi cemburu.”
“Cemburu kok sama cewek.”
“Cepat pulang.”
“Iya sebentar ....”
“Ok, aku tunggu di rumah.”
Belum sempat panggilan ditutup, tubuhnya menabrak seseorang hingga membuat ponselnya terlepas.
“Ya ampun, kamu itu kalau jalan pakai mata, dong! Lihat tuh ponsel aku jatuh. Pokoknya aku minta ganti sepuluh kali lipat, kalau tidak aku laporkan kamu ke polisi!” gerutu Dara seraya mengambil ponselnya di lantai.
“Aku akan menggantinya,” jawab orang itu. Dara sontak mendongak pada saat ia mengenali suaranya.
“A-Alif?” ucapnya dengan mulut menganga. Kenapa ada dia di sini?
“Jangan dibiasakan. Kamu yang salah tapi orang lain yang kamu maki-maki,” ucapnya sambil mengulurkan tangan. Membantunya untuk berdiri, “Come on.”
Dara masih menganga. Menurut sudut pandangnya sendiri, bukankah dia yang sengaja menabraknya?
Dara berdiri, “Hei, kau yang menabrakku, hello!”
“Mau kuperlihatkan CCTV-nya?”
“Pasti aku yang benar.”
“Kamu yang salah, kamu sibuk menelepon tadi, jangan lupakan itu.”
“Tidak, kau yang salah!” Dara tidak mau kalah.
“I dont care,” kata Alif tidak peduli.
“Kamu memang selalu begitu, tidak peka.”
Mata Alif langsung menajam mendengar kata tidak peka. Kemudian tanpa dikehendaki tangan itu bergerak dengan sendirinya menarik tangan Dara dan mencengkeram lengannya kuat-kuat sehingga Dara tersentak. “Bukankah kau yang selama ini tidak peka?!” ujarnya dengan nada meninggi serupa orang yang hampir habis kesabaran.
“Kok jadi kamu yang marah?” tanya Dara tidak habis pikir. “Oke, oke ...” Dara menghela napasnya agar dirinya senantiasa berada dalam keadaan tenang. “Aku salah, aku minta maaf,” ucapnya mengalah untuk menghentikan persoalan ini agar tak menjadi perdebatan berkelanjutan.
Namun pada saat Alif melepaskan cekalannya, Dara kembali menggerutu, “Dasar pemarah.”
Alif seketika tersadar bahwa tindakannya ini sangatlah berlebihan. “Sorry, aku—”
“Ya, sudah, aku paham,” sela Dara berusaha untuk mengerti. “Mungkin kamu sedang dalam masalah, jadi cepat emosi,” ujarnya beranggapan.
“Permisi, aku mau pulang, kalian hati-hati kalau malam ini jadi balik ke Jakarta. Oh, ya. Salam buat Umi Ros sama Abah.”
Tapi Alif tak menanggapinya dan malah justru bertanya hal lain, “Dengan siapa kamu datang?”
“Sendiri.”
“Aku antar kamu pulang,” kata Alif yang kemudian diprotes oleh Dara.
“No, Alif! Aku bisa pulang sendiri. Aku bukan anak kecil yang suka di antar ke mana pun pergi. Jarak rumahku dekat dengan Hotel ini, jadi kau tidak perlu repot.”
Kendatipun Dara mengomel, namun perempuan itu tetap mengikutinya sampai di tempat parkir. Ini memang aneh, tetapi kenyataan itulah yang terjadi.
“Masuk,” titah Alif membuka pintu mobilnya. “Mumpung aku sedang berbaik hati padamu.”
“Tapi aku bilang tadi tidak usah, aku bisa pulang sendiri, aku bisa pesan taksi atau minta tolong ke security untuk mencarika—”
“Masuk!” tegas Alif tidak ingin dibantah, sehingga membungkam mulut cerewet yang ada di hadapannya.
Dara tidak terkejut atau kaget dengan perlakuan semacam ini karena dia sudah begitu mengenalnya—bahkan jauh sebelum dia mengenal Chandra. Pria ini memang perhatian, walau demikian cara dia menunjukkannya.
Namun ada sesuatu yang tidak nyaman ketika pintu mobil ditutup. Dia seperti tidak asing dengan harum maskulin di mobil ini yang lantas membuat Dara menjadi curiga.
“Alif, apa bau parfum ini berasal dari tubuhmu?” tanyanya tanpa basa-basi. Tatapannya menyelidik menunggu jawaban yang akan Alif katakan.
“Kenapa, kamu suka dengan aroma tubuhku?” jawab Alif menyeringai. “Katakan saja bahwa kau ingin mencium tubuhku dengan jarak lebih dekat.” Dengan tidak tahu diri, dia mendekatkan tubuhnya.
Dara memutar bola matanya malas. Belum sampai ke mana-mana pertanyaannya, tetapi dia sudah dibuat enek duluan oleh pria di sampingnya itu. “Dasar menyebalkan.”
***
To be continued.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
Hariyani Puji
ceritanya bagus
2024-12-24
0
Putri Cikal
wah apa alif adik iparnyah
2023-01-26
0
Lela Lela
jangan ,, alif yg udah memperkosa dara .
2023-01-25
0