Sesampainya di rumah—lebih tepatnya rumah baru mereka berdua yang Chandra siapkan sebelum menikah, Dara langsung membersihkan diri. Dia tidak peduli siapa pun lagi karena sedang merasakan nyeri sendirian. Kabut tebal menyelimuti hatinya juga masa depan rumah tangga ini. Akankah Chandra masih mau menerimanya dalam keadaan kotor?
Menanggalkan pakaiannya, Dara kembali terisak. Dari pantulan cermin ia melihat banyaknya bekas cumbuan di sekitar dadanya, perutnya, hingga kaki bagian dalam.
“Kelakuan bejat siapa ini?”
Dara pun heran. Dalam keadaan demikian, dia berpikir, kenapa lelaki itu tidak membunuhnya saja sekalian?
Untuk apa dia dipertahankan hidup dalam keadaan kotor dan hina?
Pintu diketuk disusul dengan suara panggilan dari Chandra. “Dara ... Dara!”
“I-iya, sebentar,” jawab Dara agak tergagap. Sebab dia sedang melamun.
“Kamu tidak apa-apa? Mandinya jangan terlalu lama.”
Dara segera menyudahi kegiatannya. Dia telah siap dengan apa pun yang terjadi ke depan. Namun dia tidak akan membiarkan setan pengecut itu berkeliaran secara bebas di luar sana.
“Aku berjanji akan mencari mu! Demi Tuhan aku akan mencari mu! Aku akan menghancurkan mu lebih dari kamu menghancurkan ku!” gumam Dara seraya mengepalkan tangannya kuat-kuat penuh amarah dan kebencian.
KLEK.
Dara keluar dengan sudah memakai pakaian lengkap. Dres rumahan berwarna salem dengan ukuran panjang selutut. Kebaya pernikahannya dia tanggalkan dan dimasukkannya ke dalam kantong plastik berwarna hitam. Dia menandai harum parfum lain yang menempel pada kebaya itu. Kelak akan dia cari siapa pemiliknya. Dara yakin hanya orang terdekatlah yang mampu berkhianat. Ya, pasti. Tidak ada orang lain yang lebih mengenali dirinya selain orang dekat. Batinnya begitu yakin.
“Kamu berbicara dengan siapa?” tanya Chandra begitu ia membuka pintu. Ternyata pria itu menungguinya tak jauh dari kamar mandi.
“Tidak berbicara dengan siapa pun,” Dara menjawab.
Chandra mendekatinya. Pria itu sudah terlihat segar dan sudah memakai piyama tidurnya. “Aku terlalu lama menunggumu, jadi aku mandi di kamar bawah.”
Dara mengangguk. Dia merasakan tangan kekar itu merangkul pinggangnya dan membawanya ke tempat tidur. “Kita duduk di sana,” bisik nya lembut.
Dara bertambah gugup pada saat Chandra memperlakukan demikian. Apalagi saat menyingkirkan helaian rambutnya ke sela-sela telinga dan mulai mencium pipinya. Apa dia akan meminta haknya malam ini?
Ya Tuhan ... ini benar-benar celaka.
“Ceritakan apa yang terjadi padamu tadi. Kenapa kamu pergi?” tanya Chandra dengan sangat hati-hati. “Kami mencari mu ke mana-mana. Bahkan aku sampai meminta bantuan orang lain untuk mencari mu. Beruntung tadi aku kembali ke sana. Karena aku yakin kamu masih di sekitar gedung tempat pernikahan kita.”
Dara menunduk. Tenggorokannya tercekat. Sekuat raga dia menahan air matanya agar tak jatuh ke pangkuan. “Aku ... aku bertemu teman,” jawab Dara tergagap. Dia ingin terus terang, tetapi takut Candra murka. Dia sangat takut sekali bila suami yang baru satu hari dinikahinya itu langsung menceraikannya.
“Teman siapa?” tanya Chandra lagi. “Kalau hanya bertemu teman, kenapa harus selama itu. Kau membuatku sangat khawatir.”
Lama Dara berpikir sehingga Chandra kembali berujar, “Vita?”
“I-iya, Vita,” jawab Dara terpaksa mengambinghitamkan temannya. “Soalnya, dia datang dari jauh. Besok sudah harus pulang. Jadi aku terpaksa menemuinya lebih lama,” imbuhnya lagi. Berharap kebohongan ini dapat menyelamatkannya sementara.
Namun kemudian Chandra tersenyum sehingga membuat Dara menjadi sedikit lebih lega. Karena berarti pria ini mempercayai ucapannya barusan. “Ya sudah kalau begitu. Kita langsung tidur saja malam ini. Aku tahu kamu pasti capek sampai sakit begini. Obatnya di atas meja. Kamu minum, ya.”
Dara mengangguk. Dia merasa sangat terbebani melihat ketulusan pria ini. ‘Ya Tuhan ... bagaimana jika dia mengetahui kebenarannya?’
Malam itu, Dara tidur dalam keadaan sangat rapuh. Pun pada saat keesokan harinya, hatinya senantiasa dalam keadaan rawan. Entah kepada siapa dia harus menceritakan keluh kesahnya. Keluarga bukanlah orang yang tepat karena justru akan menghancurkannya kemudian.
***
“Dara, sudah siang, buatkan suamimu itu minum. Jangan lupakan tugasmu. Kamu sudah jadi seorang istri, jadi layanilah suamimu sebaik-baiknya,” kata Ibu Ratna ketika mendapati putrinya turun ke lantai bawah.
“Iya, Bu.” Dara menuju ke dapur untuk membuatkannya teh manis hangat.
Di sana, Ibunya kembali menanyakan perihal semalam yang belum sempat mendapat jawaban. Orang tua memang biasa lebih cerewet, Dara memakluminya dan menjawabnya dengan jawaban yang sama seperti Dara katakan pada Chandra semalam.
“Mertuamu itu sampai berkali-kali menanyakanmu ke ibu. Sudah ketemu belum? Keadaannya bagaimana? Ketemu di mana? Pergi sama siapa?” bebernya menirukan gaya bicara besannya. “Ya maklumlah kan khawatir, tandanya mereka sayang sekali sama kamu, Nduk. Jadi kamu nanti hubungi beliau, ya.”
Lagi-lagi Dara mengiyakan. Dara yakin benar, dia akan membohongi banyak pihak nantinya.
“Temanmu itu masih di Hotel atau sudah pulang ke kota?”
“Setahu Dara belum, Bu.”
“Loh, katanya ketemu semalam? Tidak tanya mereka mau pulang kapan.”
“Eh, maksud Dara, kalau Vita sama Mas Yudha pulang pasti memberiku kabar dulu, Bu.”
“Oh, begitu?”
Ibu Ratna memang ibu-ibu kampung yang bisa dikatakan kurang berpengetahuan. Namun Dara heran, kenapa dalam keadaan masalah-masalah demikian, Ibunya begitu cerdik mengorek, bahkan dalam keadaan halus sekalipun.
Pada suatu kesempatan—saat semua orang sedang sibuk memasukkan barang-barang berupa furnitur dan elektronik ke dalam rumah barunya, Dara segera menghubungi Vita yang diketahuinya masih berada di Hotel. Dia meminta sedikit waktu untuk bertemu.
Dara meminta izin saat sudah berada di luar lantaran khawatir Chandra akan melarangnya atau membuatkannya pilihan. Dia tidak ingin tawar menawar untuk persoalan ini. Toh dia hanya keluar untuk menemui sahabatnya, bukan untuk berselingkuh dengan lelaki lain.
Sesampainya di Hotel yang Vita tempati, Dara langsung mencari tempat duduk.
Tidak sulit mencari Vita yang selalu lebih menonjol di antara orang lain. Sosok ibu muda cantik itu sedang mendekat ke arahnya dengan segala kerepotannya membawa anak kembar berusia tiga tahunan.
“Dar?” sapa Vita lebih dulu.
“Tante!” panggil anak perempuan yang bernama Mauza. Sedangkan anak laki-lakinya bernama Umar.
“Ta, apa kita bisa bicara berdua saja? Pembicaraan kita tidak patut di dengar oleh anak kecil seperti mereka,” ucap Dara yang sebenarnya cukup berat menyampaikan hal ini.
“Sepenting itukah, Dar?”
“Ya, ini sangat sensitif. Maaf aku pikir kamu akan turun sendiri tadi.”
“Ok, fine Dar. Tidak apa-apa. Sebentar aku telepon Mas Yudha dulu, ya.”
Tak berapa lama telepon tersambung. “Mas, aku lagi sama Dara. Aku mau bicara penting sama dia, cuma berdua. Tolong jagain Mauza sama Umar dulu, ya. Ya, aku tutup teleponnya ya, Mas.”
“Maaf aku mengganggu waktumu ya, Ta,” ucap Dara begitu teleponnya ditutup.
“Tidak apa-apa, Dar. Santai saja. Nanti Mas Yudha jemput mereka, kok.”
Dara mengangguk. Sebentar kemudian, suami Vita keluar dari dalam lift dengan percaya diri walau masih mengenakan piyama tidurnya di siang bolong seperti ini.
Yudha sempat menyapa Dara sesaat sebelum akhirnya dia membawa kedua anaknya ke atas dan meninggalkan mereka berdua.
“Mukamu tegang sekali, Dar. Tenangkan dirimu dulu,” ucap Vita menggenggam tangannya. Dia yakin sahabatnya ini sedang dalam masalah yang besar. Terlihat dari sorot matanya yang ketakutan dan kebingungan.
“Sekarang kamu ceritakan pelan-pelan, ya. Percayakan semuanya denganku.”
Dara menunduk. Beberapa tetes air mata baru saja jatuh dari pelupuknya, kemudian berujar dengan lirih, “Aku diperkosa semalam, Ta. Bukan Mas Chandra, tapi orang lain.”
“Hah?” Vita terkejut. Spontan dia melepaskan genggaman tangannya dan berdiri untuk segera merengkuh tubuh temannya tersebut.
***
TO BE CONTINUED
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
Aurora
kasian dara
2024-06-06
0
Lela Lela
semoga suamimu menerima dara apa adany
2023-01-25
0
Lela Lela
Kasiaaan dara
2023-01-25
0