Ilalang Yang Terluka.
oleh : Roosy.
*Aku Ilalang, hidup satu lahan bersama Bunga Mawar. Kita bersaudara, tapi dalam hidup kita seakan berantonim. Dia cantik dan menarik, tentu semua orang tahu bunga mawar. Dia menjadi pusat perhatian, dicintai, dikagumi dan dibanggakan oleh seluruh netra yang memandang. Tidak denganku, tentu ilalang itu terabaikan. Siapa yang sudi memandang Ilalang jika bunga mawar tumbuh di tengah-tengahnya. Semua netra akan memandang keindahannya. Dia memang cantik berbeda dengan diriku yang jelek.
Apakah aku iri? aku menjawab tidak. Mana mungkin aku iri dengan Saudaraku. Aku bersyukur dengan diriku meskipun keadilan itu tak aku ketahui seperti apa?
Ia, adil itu apa? apakah ketika mawar memakan Roti dan aku memakan Kerupuk. Roti dan Kerupuk berawal dari hari itu. Ia, aku ingat dengan jelas.
"Ilalang, kamu jaga rumah ya? Ibu dan Adik kamu Bunga Mawar hendak ke Warung."
Akupun mengangguk tanda mengerti. Aku melihat kepergian Ibu dan Mawar yang terlihat bahagia.
"Kapan mengajakku untuk ikut bersama engkau, Ibu?" Tanya itu ada dalam benakku namun sulit ku utarakan. Sepertinya Bibir terasa kelu tak bersahabat dengan benakku. Terpaksa memilih diam karena aku yakin akan jawaban yaitu tidak boleh.
Aku diam menikmati kesendirian. Ketika bosan di dalam rumah maka ku hampiri Pohon Kesambik yang menjadi tempat ternyamanku.
Do you know Kesambik?
Kesambik, nama buah hutan yang mirip dengan buah Kelengkeng. Mungkin saja satu keluarga, Kelengkeng hidup terkenal, digandrungi oleh semua orang dari kalangan manapun. Nah, berbeda dengan Kesambik. Kesambik hidup di pedesaan dan Hutan berantara. Tentunya di kenal oleh orang yang hidup di pedesaan saja.
Buahnya, hampir sama dengan Kelengkeng berkulit Cokelat, kuning dan berwarna Hijau. Bentuknya bulat dan ada juga yang sedikit Lonjong. Rasa tak semanis Kelengkeng, Kesambik ada berasa manis, asem dan pahit. Mungkin tergantung jenisnya sehingga rasanya berbeda-beda.
Kembali ke diriku.
Aku menunggu kepulangan Ibu dan Mawar di atas Pohon Kesambik. Memandang rimbunnya daun dan menikmati buahnya. Buah ini yang melegakan kelaparanku.
Beberapa jam menunggu, akhirnya yang aku tunggu pulang jua. Aku berlari, menyambut harapanku siang ini.
"Kak, tadi aku makan Roti enak banget. Di dalamnya ada cokelat terus aku juga minum Es buah. Pokoknya enak dan seger banget."
Aku mendengarkannya begitu bahagia bercerita. Mataku berbinar-binar dan air liurku tak sabaran untuk meminta.
"Ini Kerupuk untuk Kakak."
Aku menerima satu bungkus Kerupuk berukuran kecil seharga 25 rupiah. Aku tersenyum dengan memeluk erat kerupuk itu. Aku berjalan ke arah dapur mengambil segelas air putih. Aku kembali lalu duduk di pojokan.
Aku melihat wajah Mawar tersenyum merekah dan tentu saja terlihat sangat cantik dan wajah Ibu yang Sumringah. Akupun senang melihatnya.
Aku menikmati Kerupuk dengan ku jadikan ia Roti berisi cokelat dan air putih seolah Es buah. Seperti itu ku anggap dan itu berasal dari imajinasiku. Bukankah itu adil bukan?.
Suara berisik saat aku mengunyahnya tidak bisa mengelabui kenyataan. Aku tersadar, ini benar-benar Kerupuk bukan Roti. Tetap saja Kerupuk itu aku nikmati meskipun aku merindukan bagaimana rasa Roti berisi cokelat. Aku merasa, dalam mimpipun aku tak berhak.
Hari-hari aku lewati. Aku tidak lagi memikirkan perbedaan yang aku rasakan. Aku yang pendiam dan penyendiri cukup mampu menghibur diri. Pohon Kesambik tempat aku bersembunyi menumpahkan air mata dan tempatku berbagi mimpi. Aku kuat tapi aku juga cengeng. Aku menyayangi Ibu, karena itulah aku tak protes apapun yang diberikan olehnya. Aku tak meminta bukan karena tak ingin. Hanya saja aku menyadari diriku yang tak pantas untuk itu.
Kini aku berpisah dengan Ibu. Aku melanjutkan perjuanganku menggapai mimpi. Aku ingin Ibu melihatku dan menganggap keberadaanku. Maka akan aku perjuangkan angan itu.
Nyatanya itu sulit, setelah menempuh beberapa tahun perjuangan. Semua itu tidak menjadikan Ibu lantas melirikku.
"Mawar, di Sekolah dia Rangking Lima besar. Saya bangga mempunyai anak secerdas Mawar."
Aku mendengar Ibu memuji Mawar di hadapan Para tetangga. Beliau begitu semangat menceritakan segala prestasi Bunga Mawar kebanggaannya, kedekatan dengan para Guru dan juga pergaulannya. Hampir semua yang ditemui wajib mendengarkan cerita tentang Mawar. Hanya nama Mawar yang sudi diucapkan. Sedangkan Aku, Ilalang yang terabaikan dan terlupakan.
Aku memang tidak cerdas hanya bertengger pada sepuluh besar tidak lima besar. Namun tidakkah engkau berbaik hati hanya sekedar mengingat keberadaanku.
"Ibu, perjuanganku tidak mudah. Aku stress hampir saja gila. Ketika aku dan teman-teman satu kelas terancam tidak lulus karena nilai kita dibawah standar. Kami semua berjuang sekuat tenaga untuk memperbaiki nilai itu. Pun begitu dengan diriku yang hampir tak ada waktu untuk bermain menikmati masa remajaku."
Kalimat panjang itu hanya berada dibenakku. Tidak mungkin akan aku utarakan kepada Ibu. Aku kembali melarikan diri. Pohon Kesambik adalah tujuanku. Aku menangis dalam diam. Rasa terluka itu semakin hari semakin menyiksaku.
"Aku juga anak engkau Ibu."
Ku seka air mata. Dasar air mata tak faham. Aku sebenarnya tak ingin menangis. Namun aku ingin menertawakan dan mengejek hatiku yang terluka. Apa daya, pada akhirnya aku menangis juga. Ia, aku menangis. Aku menangis, aku tidak mampu memendungnya.
Lihatlah aku cengeng, kan?
Hahahahaha
Aku menertawakan diriku yang cengeng. Apa aku sudah gila? mengapa aku tertawa padahal air mata ini mengalir dengan deras.
Hai kamu jangan menangis tapi tertawalah, karena saat ini aku ingin gila.
hahahahaha
Bukankah menjadi gila itu menyenangkan.
Hahahahaha
Toh juga Ibu tidak akan peduli, seberapa gilanya aku dengan luka ini.
dan menangis pun tak akan membuat Ibu iba. Ibu pasti akan mengatakan "dasar cengeng"
Jadi menggilalah dengan cara tertawa agar hati ini senang dan Ibu pun akan senang.
"Ibu, aku tidak layak mendapatkan pujian darimu seperti engkau tidak sudi memberikanku Sepotong Roti sisa. Apa salahku?"
Hal itu baru aku ketahui dari Mawar kesayangan Ibu. Dia dengan bangga menceritakan kepada teman-temannya.
"Kalian tahu, Ibu sangat menyayangiku. Ibu selalu mengajak ke Warung dan tidak pernah mengajak Kak Ilalang. Disana aku makan sepuasnya dan apapun yang aku minta di berikannya. Waktu itu aku memakan sebuah Roti yang sangat lezat. Karena terlalu kenyang maka aku tidak menghabiskannya."
"Lalu, aku bertanya sama Ibu. Bolehkah aku memberikan Roti sisa ini untuk Kak Ilalang?"
Saat itu Ibu bilang, "Buang saja jika kamu tidak bisa menghabiskannya. Jangan berikan apa-apa untuk Ilalang."
Air mata itu tumpah seketika aku mendengarkan cerita itu. Aku tidak kuasa menahan air mata. Rasa sakit itu mencekikku. Aku terluka, sangat sakit dan perih.
Aku masuk ke dalam kamar dan menangis dalam diam agar tak terdengar oleh mereka yang sedang asyik bercanda.
Mengingat itu aku semakin terluka. Aku tak tahu hal itu dan aku baru tahu ketika sudah beberapa tahun berlalu.
Ibu, bukankah aku juga anak kandung engkau. Mengapa Sepotong Roti sisa pun tidak pantas kau berikan, lantas bagaimana yang lainnya? apakah engkau tidak sudi memberikannya? Ah ternyata tanah itu lebih beruntung dari pada aku. Tanah mendapatkan Roti sisa yang dibuang. Sedangkan aku mendapatkan cerita tentang Roti sisa yang tak boleh dinikmati oleh mulut kecilku.
Aku lapar tapi memilih untuk kenyang.
Aku rapuh tapi memilih untuk tegar.
Aku lemah tapi memilih untuk kuat.
Nyatanya tubuh mungilku tidak mampu memikul rasa kecewa.
Terluka!
hahahaha
Aku menertawakan air mata yang tumpah dari kedua mataku. Aku mengejek ketidak berdayaanku.
Hey kamu, sadarlah! tak pantas kamu mendapatkan pujian dan kasih sayang dari siapapun. Kamu tidak seberharga Bunga Mawar, maka terimalah nasipku.
Kau benar!
Aku tidak membenci Ibu, aku sangat menyayangi engkau Ibu. Apapun yang Ibu lakukan, aku mempercayainya sebagai bentuk kasih sayang Ibu kepadaku.
Bersambung*.
***
Seorang Gadis tengah asyik menceritakan kisah yang sedang ditulisnya. Dia membaca ulang untuk memastikan tidak adanya Typo dalam tulisan itu. Setelah yakin, dia mengirim Naskah itu pada flatform kepenulisan online.
Dialah Gadis sebatang kara berusia 25 tahun. Gadis itu memilih menepi karena Insecure dengan hidupnya. Ia meninggalkan itu semua tatkala impiannya itu sudah berada di genggaman.
Siapa sangka Lelaki bernama Lalu Rizqy Anggara telah menghancurkan masa depan seorang Gadis. Dia dengan tega merampas impian dari Gadis polos itu.
Gadis itu, pernah secara diam-diam mencintai. Rasa itu tak terungkap dan malu mengungkapkannya. Dia sangat mengagumi Rekan kerjanya itu. Namun apa yang terjadi? Lelaki itu dengan tega berpura-pura memberikan perhatiannya. Setelah mendapatkan apa yang diinginkan. Dia lantas mencampakkan Gadis itu dengan rasa bangga karena telah berhasil mengambil sesuatu yang berharga darinya.
"Aku memenangkan taruhan."
Kalimat Itu selalu tergiang-giang dalam pendengaran Gadis itu. Dia sangat kecewa dan sakit hati. Tentu saja Gadis itu sangat terluka. Rasa terluka itu menjadikan dirinya kehilangan kepercayaan diri. Dan trauma itu membuatnya tak percaya dengan adanya cinta tulus dari seorang Lelaki. Semenjak itu dia berusaha untuk menjaga jarak dengan kaum Adam jika itu berhubungan dengan hati.
Kejadian itu membuatnya malu, rasa malu itu menyebabkan dia kembali ke Desa dan memilih untuk tinggal di sana. Saat ini dia menggantungkan hidup sebagai Petani dengan mengelola sawah peninggalan orang tuanya.
Gadis Petani itu adalah Habibah Rosy.
Namun siapa sangka jika dia adalah lulusan terbaik dari Perguruan tinggi Swasta bergengsi di Daerah ini. Gadis bernama Habibah Rosy itu bergelar Sarjana Ekonomi dan sekarang memilih mengabdikan diri sebagai Guru pada Madrasah Tsanawiyah.
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 212 Episodes
Comments