Ia berjalan masuk kedalam, "ayah, tadi ada anak kecil menangis, kucingnya tidak bisa turun dari atas pohon." memasang muka polos. Ayahnya bertanya lagi, "kenapa tangan dan wajahmu memar?" mengalihkan pandangannya.
Dengan lembut ia menjawab, "itu karena, aku terpeleset saat mengambil mangga." mengeluarkan dua buah mangga dari saku jaketnya.
Ibunya menghampirinya, "apakah sakit?" memegang wajahnya yang memar dengan hati-hati.
"istriku, kau…"
"diam!" memberi tatapan dingin.
"kau tidak kasihan padanya, masih untung dia selamat sampai rumah." mencari kotak obat.
Ayahnya hanya bisa mengalah melihat istrinya yang kesal padanya, "baiklah, lain kali jangan diulangi." mengelus rambut Xia.
Dia menganggukkan kepalanya dan berkata, "aku janji." sambil mengangkat tiga jarinya keatas.
"duduk disini, akan ku obati lukamu." ibunya menarik tangannya perlahan.
"bagaimana, apakah masih sakit?" mengoleskan salep di tangannya.
"tidak, sama sekali tidak sakit ibu." menunjukkan ekspresi ceria.
Rere bertanya, "Kak, coba ceritakan apa yang terjadi?" duduk disebelahnya.
Xia menoleh kearahnya, "tadi, ada anak kecil menangis karena kucingnya nyangkut di pohon. Akhirnya aku memanjat pohon untuk menurunkannya."
"lalu? kenapa jadi memetik mangga?" ucap ibunya memotong pembicaraan.
"setelah aku menurunkannya, aku hendak berjalan pulang. Eh, aku lihat ada mangga yang bergelantungan di pinggir jalan. Awalnya melemparinya dengan batu, tapi meleset. Jadi, aku berinisiatif naik ke pohon untuk mengambilnya." ucapnya dengan polos.
Mendengar itu, Ayah menyentuh keningnya, "sungguh putriku yang lugu." gumamnya menghela nafas panjang.
"hanya karena itu? kenapa tidak sekalian membawa pohonnya kemari?!" ucap ibunya dengan ketus.
Xia menurunkan pandangannya perlahan, "apa ibu marah padaku?" menggunakan nada pelan.
"menurutmu?" berjalan kembali ke kamarnya. Xia langsung membuntutinya, "ibu jangan marah." ikut masuk kedalam kamar.
"tadi tidak membiarkanku memarahinya, dan sekarang… malah dia yang marah?" ujar ayahnya.
Melihat tingkah istrinya, ia tersenyum dan berkata, "wanita memang sulit dipahami." menggelengkan kepalanya sambil menghela nafas panjang.
Xia mencari akal untuk meredakan amarah ibunya, "ibu jangan marah." memeluknya dari belakang seraya bersandar di bahunya.
Tiba-tiba sesuatu jatuh ke tangannya, "ibu, kau menangis?" memutar tubuh ibunya perlahan.
Xia melihat lembab hujan disudut gelap mata ibunya, membuat dirinya ikut bersedih, "jangan menangis." menyeka air mata ibunya perlahan.
"ibu, aku tidak akan memanjat pohon lagi jika membuatmu sedih." tak terasa sesuatu ikut jatuh dari matanya.
Ibunya menggelengkan kepalanya, "jangan menangis, aku tidak akan marah." balik menyeka air mata Xia. Keduanya berdamai dan saling berpelukan erat, "jadi, sudah tidak marahan?" ucap ayahnya menyandar di pintu kamar.
Xia menoleh kearahnya, "ayah." ujarnya dengan manja.
"ngomong-ngomong siapa yang mengajarimu memanjat pohon?" Reina berjalan mendekatinya.
Dengan polosnya Xia menjawab, "Kak Juna." sambil memiringkan kepalanya.
"ternyata bocah itu, kalau dia sudah kembali akan kupukul dia. Adik perempuannya malah diajari manjat pohon." ucap ibunya.
"hachu, kenapa tiba-tiba dingin?" gumam Juna memegang punuk lehernya.
KRUYUK… sebuah drum berbunyi dari perut Xia, "ahaha, maafkan aku." ucapnya sambil memegang perutnya.
"kalian mau makan apa, aku yang akan masak." ucap ayah Xia.
"ibu, apakah ayah bisa masak?" menatapnya dengan heran.
Ibunya menoleh kearahnya, "jangan meremehkannya, ibu dulu jatuh hati karena masakannya." tersenyum manis.
"ternyata begitu." ucapnya memalingkan pandangannya.
Disisi lain, Nino diintrogasi oleh ayahnya. Dia tak bicara ataupun mengangkat pandangannya, "katakan, masalah apa lagi yang kau buat." ujar ayahnya menatapnya dengan tajam.
Nino tetap mengacuhkannya sambil memegang sapu tangan ditangannya.
"jika kau tidak menjawab, aku akan mengambil semua fasilitas yang kuberikan padamu." mencoba menggertaknya. Tapi dia sama sekali tidak menghiraukannya, karena sudah kehilangan kesabaran, ayahnya merampas sapu tangan itu dari tangannya, "aku sedang bicara denganmu!" bentaknya dengan dingin.
Nino spontan mendongak kearahnya, "ayah! kembalikan itu!" meloncat dan merebut sapu tangan itu kembali.
"ayah boleh mengambil apapun. Tapi, jangan sentuh sapu tangan ini." memberinya tatapan dingin seraya berjalan menuju kamarnya.
BRAK…
Nino membanting pintu dengan keras, "aku tidak akan membiarkan siapapun mengambilnya." bersandar di pintu sambil menggenggam erat sapu tangan itu.
Dia heran melihat perilaku aneh putranya itu, "Zhang, cari tahu apa yang dilakukan tuan muda saat perjamuan tadi." ujarnya berbicara melalui telepon dengan asistennya. "baik, Presdir Jing." sahutnya nada berat yang keluar dari panggilan itu.
Ayah Nino bersandar di sofa sambil menatap langit-langit, "apalagi yang dia perbuat." menghela nafas panjang.
Beberapa saat kemudian, datanglah asistennya dengan membawa seorang wanita bersamanya, "Presdir Jing, saya membawa wanita yang berada di perjamuan tadi." ucapnya melapor.
Presdir Jing menutup bukunya dan berkata, "katakan" mendongak kearahnya.
.......
.......
"begitu tuan…" setelah menjelaskan semuanya.
Ayah Nino berdiri, "terimakasih informasinya."
"kalau begitu, saya permisi dulu." ucap wanita itu memberi hormat.
"antar nona ini." ujar Presdir Jing menoleh kearah Zhang.
"terimakasih, tuan." ujar wanita itu sembari berjalan keluar.
TAP…TAP…TAP…
Presdir Jing menghampiri Nino dikamarnya, "Nino?" membuka pintu kamar dengan hati-hati.
"dia tertidur?" berjalan mendekat. Melihat putranya yang tertidur sambil menggenggam erat sapu tangan itu, ia berpikir, "kebetulan yang aneh sekali." mengelus rambut putranya dengan lembut.
"dia sangat membenci sesuatu yang berhubungan dengan wanita. Tapi hari ini, memohon demi menyelamatkan seorang wanita." batinnya seraya mematikan lampu kamarnya.
"dan yang lebih heran lagi, wanita itu adalah LX. Bos mafia yang kejam bisa bersikap lunak padanya? aku jadi penasaran dengan sosoknya." batinnya sambil berjalan keluar dan menutup kembali pintunya.
Keesokan harinya
Xia beserta keluarganya bersiap untuk kembali ke kota. Ditengah perjalanan, tiba-tiba mobil yang mereka kendarai mogok di tengah jalan.
"sudah kubilang, ganti saja mobilnya." ucap ibu Xia. Ayah Xia membuka pintu mobil dan berkata, "jangan bilang begitu, begini-begini banyak kenangannya." ujarnya sembari mendorong mobil.
"biar kubantu, ayah." Xia turun dari mobil.
"aku juga akan membantu, paman"
"aku akan membantumu juga, suamiku" ikut beranjak turun dari mobil.
Ayah Xia menegakkan tubuhnya, "jika semua turun, siapa yang akan menyetir?" menunjuk kearah dalam mobil.
Sontak semuanya kembali masuk kedalam, "jika kalian semua naik, siapa yang akan membantuku mendorong?" ucap ayahnya menyentuh keningnya.
"oh iya, lupa." ucap Xia sembari keluar dari mobil.
TIN… terdengar suara klakson mobil dari belakang, "kalian sedang apa?" ujar seorang pria menurunkan kaca mobilnya.
Xia menoleh kearahnya, "Kak Juna" ucapnya dengan wajah sumringah.
Semuanya berpindah kedalam mobil Juna, "aiyo, apakah kuda merah ayah ngambek lagi?" ujarnya sembari menyetir mobilnya.
"diam! fokuslah menyetir." ucap ayahnya dengan ketus.
"pff" semua orang tertawa dibuatnya.
"sudah kubilang diganti saja, tapi dia tidak mau mengerti." ujar ibu Xia tak kuasa menahan tawa.
"kalian berhenti mengejek ayahku." ujar Xia dengan muka cemberut.
"Xia, memang yang paling baik." ucapnya yang terharu.
Dia tersenyum dan berkata, "mending langsung dijual saja." sembari bersandar di pundak ibunya.
"ibu sama anak sama saja, Reina kau jangan terjerumus oleh mereka." ucapnya menoleh kebelakang.
"paman tenang saja, aku tidak akan terjerumus…"
ayah Xia tersenyum menatapnya.
"melainkan langsung bergabung." melanjutkan kalimatnya sembari mengulurkan tangannya kearah Xia.
"itu baru Reina." ucap Xia menjabat tangannya.
Ayah Xia memalingkan wajahnya, "apapun yang terjadi, aku tidak akan menjualnya." ucapnya dengan ketus.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments