Memberi Pengertian

Raisa masih tak percaya dengan apa yang diucapkan ayahnya. Ia pergi dari meja makan dengan hati kesal. Ibu menyuruhnya untuk menghabiskan dulu makanannya, tapi Raisa tidak mengguris perintah ibu. Selera makannya hilang seketika. Raisa terus berjalan dengan langkah lebar memasuki kamar.

Dan Brakk!!!

Raisa membanting pintu kamar dengan keras. Ia naik keatas ranjang dan berbaring tengkurap disana. Raisa mulai menangis. Bagaimana bisa ayahnya memutuskan sepihak hal sepenting itu untuk dirinya?

Sementara di meja makan, Ayah dan Ibu bersandar dikursi, mereka menarik napas panjang.

"Ini yang ibu takutkan yah! Raisa tidak akan setuju." Raut wajah ibu terlihat menyesal dengan apa yang baru saja terjadi.

"Ibu tenang saja, tidak perlu terlalu khawatir! Itu reaksi wajar. Raisa hanya merasa syok karena baru pertama kali mendengar hal ini. Tapi ayah yakin ibu pasti bisa memberinya pengertian dan mengajaknya bicara dari hati kehati." Tutur ayah meyakini.

"Yah, apa kita batalkan saja perjodohan ini?" Ibu memberi usul.

"Tidak bisa Bu! Ini bukan hanya sekedar janji masa muda Ayah. Tapi juga karena kebaikan Danu dan keluarganya selama ini." Ayah menjeda perkataannya, lalu menarik nafas perlahan.

"Mereka sudah banyak membantu kehidupan keluarga kita, dengan memberikan kita modal untuk mengembangkan usaha toko yang nyaris tutup. Jika mereka tidak membantu kita, Raisa juga tidak mungkin bisa kuliah." Jelas ayah.

"Mereka hanya meminta Raisa untuk menjadi bagian keluarganya, apakah itu salah? Keluarga Danu itu adalah keluarga baik-baik Bu. Ayah bisa saja menolaknya, tapi ayah tidak enak hati."

"Tapi Raisa tidak mengerti soal ini. Lalu bagaimana jika Raisa tetap menolak yah? Usianya baru menginjak dua puluh tahun. Emosinya juga masih labil. Ibu takut perjodohan ini akan merusak mentalnya." Ibu menggenggam tangan ayah, berusaha menggoyahkan keinginan suaminya.

Pak Rahman menepuk pelan tangan Bu Widia. "Bu, dengarkan ayah baik-baik. Pergaulan jaman sekarang itu sangat bebas. Apalagi untuk anak seusia Raisa. Ayah hanya takut, dia tidak bisa menjaga dirinya. Lalu nanti siapa yang malu? Lagipula tidak ada yang lebih beruntung dari Raisa dengan mendapatkan putranya Danu. Dia sudah memiliki segalanya. Bahkan dia bisa mendirikan perusahaannya sendiri, semua atas kerja kerasnya, terlebih dia masih muda. Ayah juga ingin Raisa mendapatkan yang terbaik Bu! Ayah tidak asal pilihkan suami untuknya!" Pak Rahman mencoba meyakinkan Bu Widia.

Ibu hanya menghela nafas mendengar penjelasan dari Ayah. Sejenak Ibu mencerna kata-kata suaminya, ada benarnya juga semua yang dikatakan oleh suaminya tadi. Itu juga yang dikhawatirkan Ibu, kalau-kalau Raisa akan salah pergaulan.

"Baiklah yah, Ibu akan coba berbicara pada Raisa. Semoga dia mengerti. Tapi jika Raisa kekeh menolak, tolong jangan paksa dia." Pinta Bu Widia.

Ayah mengangguk menyetujui permintaan istrinya. Bu Widia pun bangkit dari duduk dan berniat menghampiri Raisa dikamar.

"Jangan lupa katakan padanya Bu, dia tetap bisa melanjutkan kuliahnya meskipun nanti sudah menikah!" Ujar Ayah. Ibu hanya membalas dengan anggukan.

Ibu mengetuk pintu kamar Raisa. Tanpa menunggu jawaban dari orang didalamnya, ibupun masuk. Ibu melihat Raisa tengah berbaring memunggunginya sambil memeluk guling. Bahu gadis itu terlihat bergetar, seperti sedang menahan tangis. Ibu duduk ditepi ranjang menghadap wajah Raisa, ia mengusap pelan kepala putrinya.

"Sayang, bangunlah ibu ingin bicara!" Ibu merayu Raisa agar bangun dan berbicara padanya. Raisa tak bergeming, ia menarik selimut dan menutup seluruh tubuhnya.

"Pergilah Bu! Aku tidak ingin bicara pada Ibu!" Raisa terus menangis dibawah selimut.

"Raisa, kau sudah besar. Apa begini caramu menyelesaikan sebuah masalah?"

Raisa melihat sekilas wajah sang ibu dari balik selimut. Lalu ia segera bangun dan menyingkirkan selimut yang dipakainya dengan kasar, membuat Ibu terkejut.

"Bu! Kenapa ibu dan ayah melakukan ini padaku?! Aku belum ingin menikah bu! Aku masih ingin belajar! Aku bahkan belum lulus kuliah, kenapa aku harus menikah?!" Raisa melayangkan protes ditengah tangisannya yang menggema.

Bu Widia menarik lembut tangan Raisa. Ia membawa tubuh putri semata wayangnya kedalam dekapannya.

"Ibu mengerti sayang jika kau marah. Maafkan ibu, tapi semua keputusan ini ada alasannya. " Ibu menenangkan Raisa dengan mengusap bahunya.

"Apa alasannya Bu sehingga aku harus dijodohkan? Apalagi dengan lelaki yang tidak ku kenal. Aku pasti akan menikah tapi nanti dengan pilihanku sendiri Bu!" Tangis Raisa terdengar pilu. Ia meminta penjelasan sekaligus menegaskan bahwa ia tidak mau dijodohkan.

Ibu kembali memeluk putrinya dengan erat, sembari mengusap pelan punggungnya. Membiarkan Raisa menangis dalam pelukannya. Kepala Raisa menopang pada bahu sang ibu.

"Nak, dengarkan ibu baik-baik. Usia ayah dan ibu semakin bertambah. Ayah dan ibu ingin melihatmu bahagia. Jodoh yang dipilihkan ayahmu bukanlah lelaki sembarangan. Ia adalah lelaki dewasa, baik, sabar dan juga mapan. Keluarga kita pun sangat mengenal baik keluarganya. Karena Ayah adalah teman masa muda Tuan Danu. Selain karena janji masa muda Ayahmu dan Tuan Danu, keluarga Tuan Danu pun sudah banyak membantu keluarga kita. Kau bahkan bisa kuliah karena bantuan Tuan Danu, sayang!" Ibu mencoba memberi pengertian.

Raisa melerai pelukan Bu Widia. Ia menatap ibunya lekat-lekat. "Lalu, apakah sebagai balasan kebaikan Tuan Danu, aku harus menerima perjodohan ini dan menikah dengan anaknya? Begitu Bu? Apakah aku harus membayarnya dengan diriku?!" Tanya Raisa lirih.

Ibu menggeleng. Kedua tangannya menangkup wajah Raisa. "Tidak, bukan nak. Jangan salah paham! Percayalah pada Ibu, Ibu dan Ayah tidak akan menjerumuskanmu, kami akan selalu memberikan yang terbaik untukmu!"

Kepala Raisa tertunduk. Organ tubuhnya seakan berhenti bereaksi. Buliran bening dari sudut matanya masih setia mengalir.

Dijodohkan?

Tidak pernah sekalipun Raisa bermimpi untuk menikah muda apalagi di jodohkan seperti ini. Membayangkannya saja ia tidak mau. Tujuan hidupnya hanya belajar dengan giat untuk meraih gelar sarjana agar bisa sukses diusia muda, itulah yang Raisa impikan. Bukan mengurus sebuah keluarga diusianya yang masih belia.

Ibu mengusap kedua pipi Raisa yang dibanjiri airmata. Ia mengerti apa yang dipikirkan putrinya. Ibu mengecup kening Raisa berkali-kali. Meninggalkan kenyamanan disana.

"Ibu.." Raisa mendongakan wajahnya.

"Iya sayang."

"Apakah lelaki itu benar-benar baik?"

"Ya sayang, Ibu sangat yakin dia lelaki baik. Ibu pernah bertemu dengannya. Dia lelaki tampan, baik dan sopan." Ucap ibu tersenyum seraya mengelus pipi sang putri.

Raisa berpikir sejenak.

"Baiklah bu, aku akan menerima perjodohan ini demi membalas kebaikan Tuan Danu kepada keluarga kita." Tutur Raisa dengan wajah tertunduk.

"Sayang jangan sedih seperti ini! Kau bisa menilainya nanti saat kalian bertemu. Dia tidak buruk nak!" Ibu meyakinkan Raisa.

Raisa hanya terdiam. Ibu kembali memeluknya erat. Sedangkan diluar kamar, sedari tadi Ayah memperhatikan kedua wanita kesayangannya dengan tatapan haru.

.

.

.

Bersambung...

Terpopuler

Comments

Mayrima Najma

Mayrima Najma

tentu Raisa tidak setuju dijodohkan..

2022-03-12

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!