Devano, begitulah nama si lelaki yang ikut menceburkan diri ke dalam kolam ikan. Intan dan Devano adalah teman lama, pernah satu kelas saat di bangku sekolah menengah. Ini pertama kalinya Intan dan Devano bertemu setelah sekian tahun lamanya. Meski demikian, keduanya tetap bisa saling mengenali dari hanya melihat wajah.
“Kamu gila, Dev!” Intan menggerutu.
“Eit, Bu Guru kok ngomongnya begitu, sih?” Devano melebarkan senyumnya.
Membawa-bawa profesi membuat Intan jadi tidak enak hati. Intan hanya sebal karena Devano ikut menceburkan diri. Intan tidak ingin dikasihani.
“Maaf. Kata-kataku kurang sopan,” ucap Intan pada akhirnya.
“Dimaafkan nggak, ya?” Devano menaik-turunkan kedua alisnya.
“Orang baik itu mudah memaafkan, lho. Sekarang kamu mau nggak jadi orang baik?”
“Nggak mau, deh. Tadi aku jadi orang baik malah dicuekin. Jadi malas mau baik lagi.” Yang dimaksud Devano adalah saat dia mengulurkan tangan pada Intan tapi tidak dipedulikan.
“Terserah kamu saja. Aku pulang dulu. Bye!”
Tanpa banyak basa-basi lagi, Intan bergegas pergi meninggalkan Devano. Langkah kakinya diayun menuju tempat parkir motor. Intan benar-benar ingin segera sampai di rumah dan mengganti pakaiannya yang basah. Namun, niatan itu tidak bisa langsung terlaksana.
Intan merogoh tas ransel mini yang dibawanya, tapi tidak menemukan kunci motornya. Seingat Intan, tadi kunci motor itu sudah dia genggam ketika berjalan menuju arah parkiran, sebelum akhirnya tercebur kolam ikan.
“Duh! Jangan-jangan kunci motornya tercebur juga!” Begitu sadar, Intan spontan panik.
Banyak pertimbangan yang Intan pikirkan. Tidak mungkin juga Intan kembali menceburkan dirinya ke dalam kolam hanya untuk mencari kunci motor yang hilang. Alhasil, Intan memutuskan akan menghubungi Mira di rumah. Intan berharap adiknya itu berkenan menuju rumah makan untuk mengantarkan kunci motor cadangan. Namun, sayang sekali Intan tidak bisa menghubungi Mira karena ponselnya mati. Memang, ransel mini yang Intan gunakan juga basah hingga ke bagian dalam. Padahal, di sanalah tempat Intan menyimpan ponselnya.
“Ini namanya jatuh tertimpa tangga berkali-kali.”
Lantaran tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan, Intan memutuskan kembali menemui Devano. Sempat ada sedikit perasaan gengsi saat Intan kembali, tapi mau bagaimana lagi. Saat ini Intan benar-benar butuh bantuan.
Usai celingukan ke sana-sini, akhirnya Intan menemukan Devano di salah satu meja makan di area outdoor. Intan menduga, Devano sengaja memilih tempat outdoor karena pakaiannya yang basah.
“Dev, aku butuh bantuan.” Intan tidak basa-basi.
“Duduklah dulu!”
Meski kurang nyaman duduk di sana akibat pakaiannya yang basah, tapi Intan menurut saja.
“Sepertinya kunci motorku tercebur kolam, Dev.”
“Benarkah? Kalau begitu biar aku ambilkan!”
“Eh, tunggu!”
Intan gesit memegangi lengan Devano demi mencegah langkahnya. Sejauh ini, Devano telah bersikap tanpa mempertimbangkan konsekuensinya. Sebelumnya Devano ikut menceburkan diri ke dalam kolam demi menemani Intan agar tidak basah sendirian. Sekarang, Devano tanpa pikir panjang hendak menceburkan diri lagi ke dalam kolam demi membantu Intan mencari kunci motornya yang hilang.
“Sabar dulu, Dev! Kamu mau ke mana, sih?” Intan melepas lengan Devano sambil menggerutu.
“Lah, katamu tadi kunci motornya tercebur kolam juga. Ya sini, mau aku ambilkan.”
“Kamu mau basah-basahan lagi sama ikan?”
“Apa salahnya? Itu hanya basah, Tan. Nanti juga kering sendiri.”
Spontan Intan memejamkan kedua matanya sembari menarik nafas perlahan. Intan gemas dengan sikap Devano.
“Dev, aku cuma mau pinjam ponselmu untuk menghubungi adikku. Ada kunci cadangan di rumahku. Mira akan kuminta ke sini mengantarkan kunci cadangannya.” Intan menjelaskan dengan tenang.
“Kamu merepotkan adikmu, Tan. Tunggulah sebentar. Setelah ini aku bantu. Di sebelah gedung itu ada tukang kunci. Aku kenal baik dengannya. Dia pasti bisa membantumu.”
“Aku maunya pinjam ponselmu, Dev. Apa kamu tidak mau meminjamkan ponselmu?”
“Ya. Aku tidak mau meminjamkan, karena aku akan menolongmu dengan cara lain. Tunggulah sebentar. Aku habiskan dulu makan siangku.” Devano melebarkan senyuman hingga membuat Intan terdiam.
Intan mencoba memahami keadaan. Sejauh ini Intan melihat sikap Devano yang santai menyikapi situasi yang terjadi. Intan mencoba belajar padanya. Kali ini Intan bersikap tenang dan menurut saja. Lagipula, Intan tidak sedang ada agenda lain lagi beberapa hari ini. Kebetulan juga, sekolah tempat Intan mengajar sedang masa liburan.
Untuk beberapa saat, Intan hanya diam sambil sesekali melihat Devano menyantap menu lalapan tahu tempe. Begitu lahap, dan mimik wajah Devano menyiratkan ketenangan. Seperti tidak ada beban.
“Kamu mau makan siang juga, Tan?”
Intan menggeleng. “Tadi sudah.”
“Oya, kamu kenapa di sini sendirian?” Devano membuka obrolan.
“Tidak apa-apa. Sedang ingin menikmati waktu sendiri saja. Kalau kamu, Dev?”
“Kalau aku sedang istirahat makan siang. Coba lihat gedung yang di sana itu.”
Intan mengikuti arah telunjuk Devano. Tampak sebuah gedung besar berlantai tiga yang halaman parkirnya selalu penuh dengan kendaraan para pelanggan. Intan tahu betul gedung apa itu. Gedung percetakan yang cukup terkenal di kota itu.
“Kamu kerja di sana, Dev?”
“Iya.”
“Di bagian apa?”
“Di sana … aku tukang bersih-bersih.” Devano menjawab sambil melebarkan senyumnya.
Dahi Intan mengerut, kemudian manggut-manggut.
“Kalau begitu, aku benar-benar mengganggu waktu istirahatmu, Dev. Bagaimana kalau nanti kamu ditegur atasanmu?”
“Santai, Tan. Tidak akan.”
Seorang lelaki tiba-tiba mendekati meja Intan dan Devano. Pakaian yang digunakan sama persis dengan pakaian yang tersembunyi di balik hoodie hitam yang dipakai Devano. Satu hal yang membuat Intan jadi bertanya-tanya, si lelaki yang baru tiba itu menyebut Devano dengan sebutan Pak Bos. Tanpa banyak pikir lagi, Intan langsung memecah rasa penasarannya.
“Mas, maaf saya mau tanya. Pak Devano ini kerja di gedung yang di sana itu, ya?”
“Benar, Mbak. Pak Devano ini kep- ….” Laki-laki yang berseragam sama seperti Devano itu seketika menghentikan penjelasannya setelah menerima kode mata.
“Sepertinya saya datang di waktu yang tidak tepat. Baiklah. Selamat menikmati waktu makan siang berdua.” Laki-laki tadi mendekat ke telinga Devano, lantas berbisik. “Kamu ditunggu teman-teman untuk voting. Pukul dua nanti ada rapat dengan Pak Bos Besar.”
Devano membalas bisikan temannya itu dengan anggukan singkat. Sementara Intan, dia terus memperhatikan dan tetap bertahan dengan rasa penasaran.
“Dev, kamu sedang berbohong, ya?” tanya Intan begitu laki-laki tadi pamit pergi.
“Nggak, kok.”
“Kamu benar kerja di gedung itu?”
Devano mengangguk santai sebagai jawabannya.
“Di bagian apa? Kenapa lelaki tadi memanggilmu dengan sebutan Pak?”
Devano tidak langsung menjawab. Dengan santainya dia meneguk minuman, lantas kembali fokus pada Intan.
“Intan, apa kamu mulai penasaran denganku?”
Pertanyaan Devano sukses membungkam Intan. Atas pertanyaan itu, Intan hanya menggeleng pelan kemudian meminta Devano untuk melanjutkan makan siangnya.
Sejenak, Devano senyum-senyum melihat perubahan sikap Intan yang tampak diam sambil sesekali mengerucutkan bibir sebagai isyarat sebal.
“Selain mengajar, setahuku kamu juga menulis buku, ya Tan?” Devano masih tetap membuka obrolan.
“Benar.”
“Punya penggemar, dong.”
“Lumayan.”
“Wow. Pasti banyak sekali lelaki yang mengejarmu, ya.”
Semula Intan hendak menjawab dengan singkat seperti sebelumnya. Namun, perkataan Devano yang terakhir mempengaruhi suasana hatinya. Ada perasaan sedih, karena yang terjadi tidaklah demikian. Akan tetapi, Intan memilih untuk tidak mengungkapkan.
“Kenapa diam, Tan?”
“Ehem. Dev, apa kamu mulai penasaran denganku?” Senyum Intan melebar. Dia puas bisa membalas perkataan Devano.
Seketika itu Devano angkat tangan. Benar-benar mengangkat kedua tangannya sebagai penegas bahwa dia tidak lagi ingin melanjutkan perkataan.
Pakaian Intan dan Devano mulai mengering dengan sendirinya. Cuaca siang itu memang sedang terik-teriknya. Meski demikian, rasa tidak nyaman tetap ada karena baju yang digunakan belum kering sepenuhnya.
Urusan motor yang kehilangan kuncinya, Devano dan kenalannya telah berhasil membantu Intan. Tidak butuh waktu lama karena yang menangani adalah orang yang tepat. Intan girang karena dia bisa segera pulang.
“Dev, terima kasih untuk bantuannya, ya.”
“Maaf, Tan. Yang barusan itu … tidak gratis.”
Intan melongo. Sebal, geregetan, dan segala macam hal sudah hendak dia lontarkan. Namun, tidak jadi karena tiba-tiba Devano menunjukkan sebuah video yang membuat Intan penasaran.
Video berdurasi dua menit itu memperlihatkan pemandangan danau yang menyejukkan pandangan. Pepohonan rimbun dan ayunan kokoh juga tampak dalam rekaman video. Sungguh damai, dan tepat sekali dijadikan salah satu tempat liburan.
“Tempat apa ini?”
“Tan, kamu sedang liburan, bukan?” Devano tidak menjawab pertanyaan Intan, justru mengajukan pertanyaan.
“Ya. Aku sedang liburan.”
“Kalau begitu, besok ikutlah denganku.”
“Ha? Maksudmu ke tempat di video itu?”
“Iya. Dan, harus mau.”
“Wah. Ini pemaksaan namanya, Dev. Aku tidak mau.”
Devano melebarkan senyumnya, lantas dengan santainya dia mendekat dan berbisik di telinga Intan.
“Kalau begitu, kamu masih berhutang padaku.”
“Oke-oke.Hanya ke tempat itu saja, kan? Siapa saja yang ikut bersama kita?” Intan akhirnya mengiyakan.
“Kita berdua saja.”
“Apa?”
Intan merasa dijebak. Pikirannya sudah penuh prasangka usai Devano berkata hanya berdua saja ke tempat yang besok akan dikunjungi mereka.
"Tidak mau!"
“Apa kamu mau rombongan?"
“Iya. Lebih baik begitu daripada berdua saja.”
“Baiklah. Besok aku sewakan bus biar kita berangkatnya satu kelurahan. Kebetulan aku kenal baik dengan lurah di sini.”
“Cukup! Tidak perlu! Besok kita berangkat. Tunggu aku di tempat ini pukul tujuh pagi.”
Bergegas Intan memutar kunci motor, lantas dengan gesit mulai melajukan motornya.
“Sampai jumpa besok. Hati-hati di jalan!”
Dengan jelas Intan dapat mendengar teriakan Devano sebelum akhirnya motor Intan benar-benar telah melaju kencang. Sepanjang perjalanan, Intan sempat menyesal karena telah mengiyakan.
“Seingatku, Devano dulu anak yang baik.”
Intan melambungkan ingatan menuju momen bertahun-tahun silam, saat dirinya satu kelas dengan Devano di bangku sekolah menengah. Sempat ada senyuman, meski akhirnya berujung sebal saat ingatan Intan kembali pada kejadian di tepian kolam ikan.
“Mungkin Devano hanya butuh teman untuk liburan. Baiklah, tidak ada salahnya aku pergi. Sekalian menghibur diri dari kejadian hari ini dan … dari Sandhi. Hm. Siapa tahu juga di sana bisa ketemu jodoh.” Kali ini Intan senyum-senyum sendiri.
Untuk apa Devano mengajak Intan? Apa yang akan terjadi di sana. Nantikan lanjutan ceritanya!
Bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
Arthi Yuniar
Devano ini pasti seorang bos bukan tukang bersih2, semoga Devano orang baik ya dan bisa menjadi jodoh Intan😇😇
2021-12-31
0