Jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiri Intan menunjukkan pukul tujuh lewat dua puluh lima menit. Intan sudah sangat terlambat dari waktu temu yang dia buat. Begitu sampai di tempat yang sudah disepakati, ternyata Intan tidak mendapati batang hidung Devano.
“Syukurlah. Devano belum tiba.” Intan mengelus dada sembari mengatur nafas lega.
“Intan, kamu terlambat!” teriak seseorang dari arah seberang jalan.
Itu suara Devano. Tampak menyeberang jalan sambil membawa beberapa kotak makanan. Di samping Devano ada lelaki yang kemarin ditemui di rumah makan, yang memberi julukan ‘Pak’ pada Devano.
Si lelaki yang bersama Devano juga membawa beberapa kotak makanan. Diam-diam Intan menghitung jumlah kotak makanan dengan cekatan. Total ada 15 bungkus kotak makanan berukuran sedang.
“Dev, kamu benar-benar mau ngajak orang se-kelurahan?”
“Ya, nggaklah. Kita pergi berdua saja, Tan.”
“Terus makanan-makanan itu kita bawa juga?”
“Tentu saja. Motorku sudah siap mengangkutnya, tuh!”
Intan mengikuti arah telunjuk Devano. Di balik baliho berukuran besar telah terparkir motor yang di bagian belakangnya telah terpasang wadah yang bisa digunakan untuk tempat menyimpan makanan.
“Dev, aku memang doyan makan. Tapi, jika sebanyak itu perutku tidak akan muat menampungnya.” Intan membantu Devano meletakkan kotak-kotak makanan.
“Oh. Ternyata kamu doyan makan, Tan. Tau gitu aku pesankan lebih banyak untukmu.”
“Ha?”
Intan hendak memprotes Devano, tapi terburu dicegah. Devano menyuruh Intan bersiap dengan motornya. Begitu pula dengan Devano, dia juga bersiap memimpin jalan hingga mereka berdua sampai di tempat tujuan.
Butuh waktu kurang lebih dua puluh menit hingga pemandangan kota yang penuh bangunan tergantikan dengan pemandangan pepohonan teduh dan sawah-sawah yang membentang. Tanpa sadar, senyum Intan mengembang. Cukup lama juga dirinya tidak refreshing seperti saat ini.
Jalanan berganti. Tidak semulus tadi, bahkan aspal jalan tidak terlihat lagi. Telah terganti dengan jalanan tanah berbatuan kerikil yang masih ramah saat dilewati kendaraan. Intan berhati-hati mengendarai motornya. Tidak awas sedikit saja, kemungkinan jatuh pun ada.
Sepuluh menit melaju, kondisi jalan masih sama. Hingga tidak lama kemudian, sampailah Intan di tempat yang sama persis seperti yang dilihat dalam video. Danau berair jernih, juga ayunan kokoh di antara pepohonan teduh. Demi segera bisa menikmati pemandangan itu, Intan bergegas memarkir motornya di samping motor Devano.
“Begitu damai.” Intan bergumam lirih.
Intan mengedarkan pandangan sembari menikmati suguhan alam. Tidak lama kemudian, mendadak saja Intan menajamkan mata agar lebih fokus pada objek yang saat ini menjadi perhatiannya.
“Dev, apa aku salah lihat? Yang di sana itu sepertinya payung warna-warni. Tunggu! Apa itu saung?” tanya Intan pada Devano yang sedari tadi berdiri di sampingnya.
“Benar. Kamu tidak salah lihat, Tan. Danau ini sering dikunjungi orang-orang saat liburan. Seperti saat ini. Tapi ….”
“Tapi, apa?”
“Tapi, wisatanya jauh di seberang sana. Ada jalan lain yang lebih mudah dilewati untuk sampai ke sana.”
Untuk ke sekian kalinya, Intan dibuat terkejut dengan penuturan Devano. Intan tidak habis pikir, kenapa juga Devano memilih jalan berkebalikan untuk sampai di danau yang ternyata berseberangan dengan tempat yang biasa dijadikan liburan.
“Kamu sengaja mengajakku liburan berdua di sini, ya Dev?”
Devano seketika menoleh, kemudian melebarkan senyumnya.
“Aku tidak pernah bilang kalau kita akan liburan.”
Intan berkedip cepat, lantas mengalihkan fokusnya ke arah danau. Jika dipikir ulang, Devano memang tidak pernah menyebut kata liburan.
“Maaf, sepertinya aku telah salah paham. Harusnya aku bertanya lebih banyak tentang ajakanmu kemarin. Bukan terburu mengiyakan karena terdesak rasa sebal,” ungkap Intan tanpa perencanaan.
“Oh. Jadi kemarin kamu sebal.” Devano mengangguk-angguk ringan. “Sepertinya kamu memang perlu liburan, Tan. Agar pikiranmu jauh lebih tenang,” lanjutnya.
Perkataan Devano ada benarnya. Beberapa bulan terakhir ini Intan terlalu sibuk dengan pekerjaan. Pagi hingga siang, Intan akan mengajar murid-muridnya di sekolah. Sore hari digunakan untuk membantu urusan rumah. Sedangkan malam harinya Intan akan begadang untuk membuat bab-bab baru lanjutan dari novel yang sedang digarapnya. Pernah terbersit rencana untuk liburan, tapi baru hari ini terwujud meski pada awalnya Intan merasa terpaksa dengan keadaan.
“Nikmati waktumu, Tan. Aku tinggal sebentar.”
“Mau kemana?”
Devano menunjukkan ponselnya. Kamera ponsel Devano telah siap untuk mengabadikan pemandangan indah di tempat itu.
“Baiklah. Aku tunggu di sini saja.”
Intan memilih diam di tempatnya berdiri sedari tadi. Sesekali langkahnya dibuat mendekat ke air danau, juga ke arah ayunan kokoh. Sama seperti Devano, Intan juga memanfaatkan ponselnya untuk merekam momen pemandangan indah.
“Ponselmu sudah bisa?” tanya Devano setelah lima belas menit meninggalkan Intan.
“Iya. Kemarin langsung kubawa ke tempat reparasi. Em, oya, Dev. Terima kasih telah mengajakku liburan di tempat ini.”
“Sama-sama, Tan. Tapi, aku ingatkan lagi kalau aku tidak sedang mengajakmu liburan. Setelah ini, mungkin aku akan sedikit merepotkanmu.”
“Merepotkan? Maksudnya?”
Belum sempat Devano menjelaskan, mendadak area danau kedatangan anak-anak kecil usia sekolah dasar. Tiga anak lelaki, dan empat anak perempuan. Mereka diantar oleh seorang ibu tua yang berpakaian sangat sederhana. Devano tampak berbicara dengannya, sebelum akhirnya ibu tua tadi pamit meninggalkan anak-anak yang terlihat bahagia.
“Kak Dev, itu siapa?” tanya si anak perempuan yang rambutnya dikepang dua.
Devano memberi isyarat pada Intan untuk mendekat dan memperkenalkan diri. Awalnya Intan masih bingung dengan kedatangan anak-anak kecil yang tiba-tiba. Setelahnya, Intan tidak lagi canggung karena pada dasarnya Intan sudah terbiasa menghadapi anak-anak seusia mereka saat di sekolah.
“Hallo adik-adik. Nama kakak, Intan. Salam kenal, ya.”
“Salam kenal juga, Kak.” Anak-anak kompak menyapa Intan.
“Kak Intan pacarnya Kak Dev, ya?”
Deg!
Intan kaget dengan penuturan tiba-tiba yang disampaikan anak lelaki yang tampak lebih muda dibanding anak-anak lainnya.
Devano gerak cepat menghampiri si anak lelaki yang bertanya, menggendongnya, lantas membisikkan sesuatu yang membuatnya tertawa dengan riangnya. Setelah itu, Devano menurunkannya lagi.
“Adik-adik, hari ini Kak Dev membawa Bu Guru untuk kalian. Kak Intan akan mengajarkan sesuatu yang pastinya akan membuat kalian senang.”
“Hore …. Ada Bu Guru!”
Dari obrolan Devano dengan anak-anak, Intan mulai paham bahwa tujuan ke danau ini memang bukan untuk liburan.
“Dev, kamu penuh dengan kejutan.” Batin Intan sambil mengembangkan senyuman.
Salah satu anak lelaki menggelar tikar yang sengaja dia bawa dari rumahnya. Anak lelaki lainnya membantu Devano mengeluarkan beberapa blocknote lengkap dengan pensil dan penghapusnya. Ya, wadah yang tadinya dibuat untuk membawa kotak makanan, ternyata juga berisi blocknote dan alat tulis untuk media belajar.
“Apa yang harus aku ajarkan pada mereka?” bisik Intan saat membantu Devano menyiapkan tempat belajar.
“Terserah kamu, Tan. Kamu gurunya.” Devano menaik turunkan alisnya.
“Baiklah, tentang luar angkasa saja. Pasti mereka suka.”
“Oh iya, Tan. Ada satu anak yang masih belum bisa membaca. Yang itu.”
Devano menunjuk anak lelaki yang tadi bertanya pada Intan tentang pacar, yang seketika digendong dan dibisiki sesuatu hingga si anak tertawa lebar.
“Dev, boleh aku tahu apa yang kamu bisikkan tadi?”
“Ehem. Apa sekarang kamu mulai penasaran dengan segala hal yang aku lakukan?”
Sungguh pertanyaan yang langsung membuat Intan bungkam, sama seperti ketika Intan bertanya tentang pekerjaan Devano saat di rumah makan.
“Baiklah, aku tidak peduli. Kita mulai saja. Kamu bantu anak-anak saat aku meminta menuliskan sesuatu, ya. Tapi, aku mau cerita banyak hal dulu tentang luar angkasa. Oya, jangan lupa ambil foto mereka juga. Buat amunisiku agar nantinya lebih semangat untuk datang ke tempat ini lagi.”
“Siap.”
Dari sini, yang terlihat paling semangat adalah Intan. Dia mengajar tentang luar angkasa. Planet yang paling besar, yang bisa dihuni, hingga tentang matahari dan indahnya bulan saat malam pun Intan ajarkan dengan gaya mengajar yang menyenangkan. Intan juga sempat menjelaskan tentang ragam profesi sebagai penyemangat anak-anak dalam menggapai cita-citanya.
“Kak Intan, aku ingin jadi guru seperti kakak.” Salah satu anak mengutarakan keinginannya.
“Wah, boleh sekali. Kalau begitu kamu harus belajar yang rajin, ya.”
“Kalau aku ingin jadi seperti Kak Dev yang pintar menggambar. Ayo kita menggambar, Kak. Aku ingin gambar luar angkasa seperti yang diceritakan Kak Intan.”
Si anak lelaki langsung duduk di pangkuan Devano usai berkata demikian. Anak lelaki itulah yang tadinya digendong Devano, yang bertanya tentang pacar, dan yang membuat Intan masih penasaran apa yang dibisikkan Devano hingga si anak tertawa lebar.
Intan memperhatikan Devano yang dengan tenang menyikapi si anak lelaki yang tampak manja padanya. Senyum Intan melebar saat Devano mengeluarkan benda pipih canggih lengkap dengan pen tool yang biasa digunakan untuk menggambar secara digital.
“Desainmu bagus,” ucap Intan yang mengintip gambaran Devano. “Kamu desainer,” imbuh Intan.
“Aku tukang bersih-bersih, Tan.”
Intan mengangguk, lantas duduk di samping Devano yang tengah asik menggambar.
“Iya. Kamu tukang bersih-bersih masalah. Pasti banyak sekali orang yang sudah kamu bantu bersihkan masalahnya, entah itu masalah ide grafis ataupun masalah keadaan seperti saat ini. Hatimu terbuka untuk anak-anak ini, Dev. Kamu baik.”
Devano seketika itu melihat ke arah Intan, tersenyum sebentar, kemudian melanjutkan desain gambarnya. Sementara Intan, dia tidak banyak berkata lagi. Sambil tetap tersenyum, Intan berjalan menghampiri anak-anak yang sedang mencatat hasil belajar hari ini.
“Tan, masihkah kamu ingin tahu apa yang kubisikkan pada anak lelaki yang mengira kau adalah pacarku?” Batin Devano sambil memperhatikan Intan diam-diam.
Mendadak saja keadaan berubah gara-gara teriakan lantang seorang pria.
“Satyaaaa!”
Teriakan lantang seorang pria berbadan gempal membuyarkan ketenangan belajar. Dari arah belakang lelaki, tampak ibu muda tergopoh-gopoh sambil menggendong buah hatinya yang masih bayi. Semua anak langsung berkumpul di belakang Devano. Intan, dia langsung mengambil posisi dan merangkul anak lelaki yang bernama Satya.
“Kamu tidak ada hak! Selama ini aku yang mengurus Satya!”
“Aku ayahnya! Sekarang aku akan membawanya ke luar pulau. Satya akan aku sekolahkan di sana.”
“Aku tidak percaya padamu! Kau tidak pantas jadi ayahnya!”
“Menyingkir kau!”
Dada Intan berdebar menyaksikan adu mulut antara ibu muda dan suaminya yang berbadan gempal.
“Tuan Devano, aku ucapkan terima kasih karena kau dan temanmu telah peduli pada anak-anak di sini. Sekarang, biarkan aku membawa Satya pergi.”
Pria berbadan gempal bertutur sopan pada Devano, membuat Intan jadi bingung ucapan siapa yang harus dia dukung.
“Maaf, Pak. Bisa dibicarakan baik-baik dulu?” Devano mencoba menawar.
“Mas Dev, jangan biarkan dia membawa Satya!” Ibu muda, ibunya Satya itu menyela kata.
“Diam kau, cerewet!”
Pria gempal mendadak mengubah sikap. Dia tidak mempedulikan sekitar dan langsung gesit menarik Satya yang saat itu masih dalam pelukan Intan. Intan yang saat itu mencoba mempertahankan Satya sampai terdorong dan jatuh ke tanah.
“Intan!” Devano panik, refleks akan menghampiri Intan tapi urung karena melihat anak-anak lain yang ketakutan.
Kini, Satya telah dibawa pergi oleh ayahnya, beserta sang ibu yang tampak masih berusaha menyelesaikan masalah. Devano terlebih dulu mengondisikan anak-anak, lantas menghampiri Intan yang sedari tadi masih terdiam.
“Intan, kamu tidak apa-apa?” Devano berjongkok, menyejajarkan posisinya dengan Intan.
Tidak ada sahutan. Devano hanya mendengar isakan lirih. Saat itu juga Devano sadar bahwa Intan sedang menangis. Tanpa pikir panjang lagi, Devano langsung mendekap tubuh Intan dengan erat.
“Tenanglah. Ada aku di sini.”
Apa yang sebenarnya terjadi? Lalu, apa yang dibisikkan Devano pada si anak lelaki hingga membuatnya tertawa selebar tadi? Masih penasaran? Nantikan lanjutan ceritanya! Like + Fav
🌻
Bersambung ….
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
Arthi Yuniar
Ya kan Devano orang baik cocoklah dia sama Intan😊😊
2021-12-31
0