PANTAS
Senyum Intan memudar. Hatinya tidak lagi riang. Bahkan, dengan jelas dahinya berkerut mengisyaratkan rasa heran atas ucapan sang kekasih yang baru saja meminta putus hubungan.
“Apa kamu bilang? Break?” Intan meyakinkan dirinya tidak salah dengar.
“Iya. Aku rasa itulah yang terbaik untuk kita.”
“Kenapa?”
Intan tidak butuh basa-basi. Alasan dan penjelasanlah yang saat ini begitu dinanti. Setelah tiga bulan berpacaran tanpa sekalipun ada pertengkaran, rasanya begitu mengherankan jika sang kekasih tiba-tiba meminta putus hubungan.
“Aku tidak pantas untukmu.”
“Tidak pantas? Hanya karena itu?” Tanpa sekalipun memudarkan sorot mata tajam, Intan terus meminta penjelasan.
“Iya. Kamu terlalu baik untukku.”
Tawa pelan Intan tunjukkan tanpa kenal sungkan. Bagi Intan, alasan yang diutarakan sama sekali tidak relevan dengan keadaan selama mereka menjalin hubungan. Selama ini hubungan Intan dan kekasihnya baik-baik saja. Bahkan, kedua orangtua sudah sama-sama tahu, juga berharap Intan dan kekasihnya segera menikah.
“Lucu sekali alasanmu, Mas. Di mana-mana itu orang akan bersyukur jika kekasihnya penuh dengan kebaikan. Kamu justru sebaliknya.”
“Maafkan aku, Intan. Aku tahu kamu sulit menerima keputusan ini. Tapi ….”
“Cukup! Kita putus! Kamulah yang tidak pantas untukku! Pergilah dengan selingkuhanmu!”
Usai Intan berkata demikian, seorang wanita berhidung mancung berjalan mendekat. Senyum manis dia layangkan pada Intan, lantas berdiri di samping lelaki yang kini telah resmi menjadi mantan kekasih Intan. Dugaan Intan benar. Mantan kekasihnya itu telah melakukan pengkhianatan.
Dorr!
Spontan Intan melompat ke atas sofa sambil memegangi dada kirinya. Suara balon meletus benar-benar mengangetkan hingga membuyarkan lamunannya. Namun, keterkejutan itu seketika berubah menjadi kekhawatiran begitu melihat balon-balon lain siap diletuskan.
“Miraaaa! Kemarikan jarumnya!”
“Tidak mau! Weeek!”
Aksi kejar-kejaran antara Intan dengan sang adik tidak dapat dihindarkan. Bukan ingin bersikap kekanakan, Intan hanya tidak ingin balon-balon yang sudah disiapkan harus dipompa ulang. Rencananya, balon-balon itu akan dibagikan untuk murid-murid di sekolah tempat Intan mengajar.
Dor-dor! Dor-dor-dor!
Lima balon lainnya meletus bergantian. Kali ini bukan ulah adik Intan, melainkan ulah cakar tajam dari tiga kucing betina peliharaan Intan.
“Bora-Sora-Nora! Dan, kamu! Miraaa! Kalian ini ….”
“Hahaha. Maaf ya, Kak. Mira bantu pompa lagi, deh. Balon yang diletuskan Bora-Sora-Nora juga akan Mira ganti. Sekarang, lebih baik kakak ganti baju, dandan yang cantik, dan pasang senyumnya. Jangan cemberut gini, ah!” Mira mencubit pelan kedua pipi Intan.
“Tunggu! Ada apa ini?” Intan mulai curiga dengan perintah Mira.
“Ada yang mau datang.”
“Siapa, Mir?”
“Lihat sendiri saja nanti. Mira cuma disuruh ibu bilang ke kakak suruh ganti baju.”
Intan tidak banyak bertanya lagi. Lagipula, dirinya sudah lelah setelah memompa beberapa balon yang pada akhirnya harus ditiup ulang akibat keisengan Mira. Kini, Intan memutuskan untuk mandi, ganti baju, dan bersiap menyambut tamu yang akan datang. Intan menduga orang-orang yang datang adalah ibu-ibu arisan.
Di luar dugaan, Intan justru butuh waktu lama untuk bersiap. Pikiran Intan tidak fokus, bahkan sesekali terjebak dalam lamunan masa lalunya. Ingatan buruk saat dirinya putus hubungan dengan sang mantan beberapa tahun silam itu hadir sejak tadi siang. Saat itu, Intan tidak sengaja berpapasan jalan dengan sang mantan yang ternyata sudah menggendong bayi berusia beberapa bulan.
Pikiran Intan terganggu karena melihat mantan kekasihnya telah bahagia bersama istri dan buah hatinya. Berbeda dengan Intan yang hingga saat ini belum menemukan orang yang tepat untuk diajak menuju ke pelaminan.
Dorr!
Kali ini bukan suara balon meletus. Miralah yang membuat suara ‘dorr’ demi membuyarkan lamunan Intan.
“Bu guru kenapa melamun terus, sih?” Mira menggoda Intan dengan nada ala anak-anak sekolah dasar.
“Mira, jangan mulai, deh!”
“Dasar kakak! Muridnya dilarang melamun, tapi sekarang justru kakak sendiri yang melamun.”
Disindir demikian, hati Intan melunak. Senyum simpul diberikan, lalu perhatian Intan tertuju pada Mira yang sudah bersiap dengan balutan gaun motif bunga. Jauh berbeda dengan penampilan Intan yang memilih setelan hoodie dan celana panjang.
“Pakaianmu terlalu bagus. Cepat ganti sana! Kita bagian dapur, Mir.”
Tidak ada tanggapan. Mira hanya terdiam sambil mencoba mencerna kalimat Intan.
“Bagian dapur? Kakak kira di rumah ini mau ada arisan?”
“Iya.”
“Bukan, Kak. Sebentar lagi mau ada acara lamaran.”
“Hah? Siapa yang mau dilamar?”
“Ya kakak, dong! Masa iya Mira duluan.”
Bola mata Intan membulat. Sebelum ini sama sekali tidak ada yang mengatakan apa-apa padanya. Dia sama sekali tidak tahu-menahu tentang acara lamaran yang baru saja dikatakan Mira padanya.
Kedua kaki Intan lekas diayun cepat menuju teras depan. Ada ibu dan ayahnya di sana. Tanpa basa-basi lagi, Intan bersiap meminta penjelasan dari mereka.
“Bu, apa benar ….”
Mulut Intan ada yang membekap dari belakang. Miralah pelakunya. Sengaja Mira mencegah Intan bertanya pada ibunya.
“Kalian berdua ini ngapain, sih? Ayo, bantu ibu! Sebentar lagi tamunya datang.”
Tidak lama berselang, terlihat Bu RT melangkah cepat menuju halaman rumah Intan diikuti beberapa ibu-ibu lainnya. Tebakan Intan benar. Acara sore itu adalah acara arisan, bukan lamaran.
“Mira!” Intan berhasil melepas bekapan tangan sang adik.
“Hihi. Prank! Kakak melamun terus, sih.”
Sebenarnya Intan ingin marah, tapi dicegah sang ibu karena kondisi yang ada. Akan jadi perbincangan ibu-ibu arisan bila Intan dan Mira bertengkar di hadapan mereka. Jadilah, Intan hanya berdecak kesal kemudian bergegas kembali ke kamarnya.
Mira yang merasa bersalah lekas membuntuti kakaknya. Seperti biasa, dengan sedikit rayuan dan penjelasan, Mira berhasil mendapat maaf dari Intan. Begitulah hubungan persaudaraan antara Intan dan Mira. Sebesar apa pun kesalahannya, selalu ada kata maaf yang meredam semua.
“Apa kakak belum bisa move on dari mantan? Sampai-sampai kakak tidak mau lagi pacaran? Kejadian itu sudah beberapa tahun lalu, lho. Saat kakak masih kuliah. Sekarang kakak sudah bekerja dan sudah waktunya menikah.” Panjang lebar Mira menjelaskan isi pikirannya.
“Kakak tidak mau pacaran bukan karena belum move on, Mir. Kakak inginnya langsung menikah. Pacaran itu buang-buang waktu saja. Belum lagi sakit hatinya.”
“Apa kakak sudah ada calon?”
Intan menggeleng. Memang, sejak dia putus hubungan dengan sang mantan, tidak ada seorang lelaki pun yang berani menyatakan perasaan. Apalagi sejak dirinya melakoni profesi sebagai seorang guru sekaligus penulis yang sudah memiliki cukup banyak penggemar. Rumornya, tidak ada yang berani mendekati Intan karena merasa tidak pantas bersanding dengannya.
“Kalau yang suka sama kakak, ada nggak?” Mira menyelidik.
“Mungkin … ada. Mungkin juga tidak.” Nada bicara Intan terdengar seperti seorang yang sedang pasrah dengan keadaan.
“Bagaimana dengan Kak Ronal? Si raja gombal waktu zaman kakak SMA? Bukankah dia naksir kakak?”
“Naksir doang tapi tidak ada pembuktian, ya percuma, Mir.”
“Benar juga, sih. Oh iya, bagaimana dengan Pak Dosen ganteng? Teman kakak waktu kuliah.”
Deg-deg-deg!
Seketika itu Intan langsung terdiam. Intan tahu betul siapa lelaki yang dimaksud Mira. Pak Dosen yang disebut-sebut adiknya itu bernama Sandhi, teman Intan semasa kuliah S1. Intan sempat menaruh hati, tapi tidak dilanjutkan lagi karena Intan merasa tidak pantas untuk mendapatkan hati Sandhi.
“Kakak tidak pantas untuk Sandhi, Mir. Sandhi itu cerdas, keren, terkenal di kampusnya. Sedangkan kakak ….”
“Bukankah kakak juga cerdas, keren, dan punya penggemar juga dari novel yang kakak tulis? Menurut Mira pantas-pantas saja, sih.”
“Pan-tas,” eja Intan dengan nada lirih.
Kata pantas itulah yang selama ini membeban hati. Kata pantas itulah yang digunakan mantan kekasih Intan untuk mengakhiri hubungan. Kini, kata pantas itulah yang Intan gunakan sebagai alasan untuk mengungkapkan perasaan mengganjal yang hingga kini masih tidak menemui titik terang. Kenapa harus ada kata pantas dalam suatu hubungan, itulah yang sempat menjadi pertanyaan.
“Pokoknya kakak harus menikah. Umur kakak sudah semakin bertambah, tuh!”
“Iya, Mir. Kakak paham itu.”
“Em, kalau dijodohkan mau nggak, Kak?”
“Apa?” Intan terkejut mendengar kata perjodohan.
Rupanya pertanyaan itu adalah pancingan untuk memulai obrolan serius. Setelahnya, Mira bergegas menuju ke topik utama. Sebenarnya beberapa hari lalu Mira tidak sengaja mendengar obrolan sang ibu tentang rencana perjodohan kakaknya dengan anak tetangga.
“Kenapa kamu baru bilang sekarang, Mir?”
“Sssut! Jangan keras-keras, Kak! Nanti Mira ditegur ibu karena menguping obrolan waktu itu.”
Intan memijit keningnya perlahan. Kabar ini benar-benar mengejutkan. Ditambah lagi, Mira menunjukkan rekaman obrolan yang sekaligus membuktikan bahwa kabar tersebut bukan omong kosong belaka.
“Kakak tidak mau dijodohkan, Mir. Kamu tahu itu, bukan?”
“Iya, Mira tahu, Kak. Kalau memang seperti itu, kakak harus bergegas cari calon untuk dikenalkan pada ayah dan ibu.”
“Tapi, siapa yang mau sama kakak?”
“Usaha dulu, Kak. Nanti juga ketemu.”
Beberapa hari setelah kabar itu diterima, ibu dari si pemuda yang hendak dijodohkan dengan Intan tidak sengaja keceplosan bicara tentang perjodohan. Sejak itu Intan sering terjaga saat malam. Bingung, kepikiran, opsi rencana kabur dari rumah pun sempat terbersit di benaknya. Namun, rencananya tidak sampai dijalankan karena Intan tidak ingin bersikap kekanakan.
“Apa yang harus aku lakukan agar perjodohan itu tidak sampai terlaksana?” Intan bergumam dalam hati, sambil kakinya terus melangkah di tepian kolam ikan yang berada di area rumah makan.
Dalam keadaan setengah melamun, bahu Intan tidak sengaja bersenggolan dengan bahu seseorang. Sayangnya, tempat Intan limbung adalah tepian kolam ikan. Air kolam jernih siap menyambut tubuh Intan sebelum akhirnya seseorang yang menyenggolnya tadi membalikkan keadaan. Tangan Intan diraih, kemudian ditarik menjauhi area kolam.
Intan selamat, tidak jadi tercebur kolam ikan. Bukan perasaan senang yang pertama kali Intan rasakan, melainkan jantung berdebar. Saat ini bola mata Intan sedang beradu dengan bola mata lelaki di hadapannya. Lelaki yang sama sekali tidak asing baginya. Intan tidak hanya bisa mengenalinya dari raut wajah, melainkan juga dari senyum manis yang disuguhkan padanya.
Siapakah lelaki itu? Mungkinkah pertemuan di tepian kolam ikan menjadi jalan bagi Intan untuk menemukan pasangan? Nantikan lanjutan ceritanya!
Bersambung ….
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
Arsyila Syafika
.
2024-06-14
0
Sekar Sekar
si dosen ganteng
2023-05-05
0
Ana Yulia
aku hadir di sini thor 😘
2022-01-23
0