“Seperti di sinetron,” tutur seorang anak perempuan yang rambutnya dikepang dua.
Mulanya dekapan Devano disambut oleh Intan. Begitu mendengar perkataan si anak perempuan, dengan gesit Intan mendorong tubuh Devano hingga dekapan itu pun terlepas.
“Aku baik-baik saja.” Intan menyeka air matanya, lantas berdiri menuju motor Devano.
Devano tahu apa yang hendak Intan lakukan. Dibiarkan saja Intan menuju kotak makanan di motornya, sementara dirinya menenangkan anak-anak agar lebih tenang seperti sebelumnya. Devano meyakinkan mereka bahwa semua akan baik-baik saja.
Intan kembali dengan kotak-kotak makanan di tangannya. Dua anak perempuan lainnya sigap membantu begitu melihat Intan. Nasi kotak berisi lalapan ayam pun dibagikan, kemudian disantap bersama sembari mengembalikan rasa tenang usai melihat adegan pertengkaran.
Anak-anak dibiarkan menyantap makanan. Sementara Devano, dia menghampiri Intan yang tampak menyendiri di dekat danau.
“Makan juga, yuk!” ajak Devano.
“Tidak. Terima kasih.”
“Mau aku suapi?”
“Jangan menggodaku, Dev!”
“Siapa yang sedang menggoda sih, Tan. Aku hanya menawari saja. Kalau tidak mau ya sudah. Aku tinggal, lho!”
“Eh-eh, tunggu!”
Intan sukses menghentikan langkah kaki Devano dengan cara memegangi lengan tangan. Namun, cepat-cepat Intan lepaskan lagi karena teringat dekapan Devano sebelum ini. Ada perasaan malu yang datang mengusik hati, hingga membuat Intan kurang nyaman saat teringat kembali.
“Dev, bisakah aku tahu lebih banyak tentang anak-anak ini? Kenapa kamu bisa bertemu mereka? Sejak kapan, dan tentang Satya … aku penasaran dengannya.”
“Duduklah di ayunan sana. Akan aku ceritakan padamu tentang mereka.”
Dimulailah cerita Devano tentang anak-anak danau berair jernih. Tahun lalu, Devano bertemu mereka saat mengunjungi bagian tempat wisatanya. Kala itu Devano bersama dua orang temannya melihat anak-anak kecil bekerja membantu di saung, padahal saat itu hari masuk sekolah.
Bermula dari sekedar bertanya, Devano dan dua temannya berkenalan dengan ibu tua yang menceritakan kondisi beberapa anak yang enggan bersekolah dan memilih membantu bekerja.
“Maksudmu, ibu tua yang tadi mengantar anak-anak ke sini?” tanya Intan, meyakinkan diri.
“Benar. Namanya Bu Rumi. Dia kerja di salah satu warung makan di tempat wisata seberang danau ini.”
Cerita Devano berlanjut. Dengan mimik prihatin, Devano menjelaskan kondisi beberapa anak yang belajar bersamanya hari ini. Ada yang hanya tinggal bersama neneknya saja, ada yang ditinggal ibunya merantau, ada pula yang memang karena keadaan harus membantu bekerja. Sehingga, butuh semangat khusus untuk datang ke sekolah.
“Saat itu bisa aku simpulkan, mereka butuh penyemangat agar lebih mengerti tentang pentingnya pendidikan, terlepas dari beberapa masalah kehidupan yang membuat mereka harus berjuang,” ungkap Devano.
Setahun lalu, Devano dan dua temannya hanya lima hari saja belajar bersama tujuh anak yang terkumpul. Hasil mulai terlihat, dan anak-anak tersebut kembali semangat untuk bersekolah. Setelahnya, jadwal sebulan sekali dibuat untuk memastikan semangat mereka tidak kendor.
“Tapi, jadwal sebulan sekali hanya berlangsung tiga kali. Karena kesibukanku dan dua temanku, akhirnya jadwal itu tidak berlanjut. Beruntung, mereka tidak pernah bolos sekolah lagi setelah hari itu. Dan, hari ini … aku beruntung bisa bertemu dan sedikit berbagi bersama mereka lagi. Terima kasih sudah mau datang ke sini bersamaku, Tan.”
Nada cerita Devano benar-benar menyentuh hati Intan. Sungguh Intan sama sekali tidak menyangka bahwa Devano akan memiliki cerita yang menurutnya bisa menginspirasi orang-orang yang mendengarnya.
“Aku juga. Terima kasih telah mengenalkanku pada sisi lain dunia. Ceritamu menyentuh, Dev.”
Kali ini ekspresi Devano berubah. Untuk sejenak, dia menyelidik Intan lantas bergegas menuju belakang ayunan. Devano mendorong ayunannya dengan kencang hingga Intan berteriak senang.
“Jangan coba-coba menulis ceritaku dalam novelmu, ya!”
“Hahaha. Tidak akan!”
Anak-anak menyudahi aktivitas makan mereka. Devano meminta mereka bermain sebentar, sementara dia melanjutkan ceritanya pada Intan.
“Tempat ini, Bu Rumi dan anak-anak inilah yang mengenalkan. Tentang jalan lain menuju tempat ini, itu hasil petualanganku dengan dua temanku.” Devano senyum-senyum sendiri saat mengingat momen setahun lalu.
“Dev, bagaimana dengan Satya?”
“Untuk Satya, dia begitu spesial. Berbeda dengan anak-anak lainnya. Waktu pertama kali kami bertemu dengannya, dia mengalami gangguan dalam belajar. Disleksia ringan. Kamu pasti tidak asing dengan istilah itu, bukan?”
Intan mengangguk. “Bagaimana kalian tahu bahwa Satya mengalami disleksia ringan?”
“Salah satu dari kami adalah psikolog. Teman baikku. Dia temanmu juga. Kamu mengenalnya, Tan. Si Reynal.”
“Ya, aku mengingatnya.”
Kala itu Devano, Reynal, dan seorang temannya lagi membantu Satya sampai pada terapinya. Beruntung, kondisi Satya terus berkembang sehingga bisa mengikuti pembelajaran seperti teman-temannya. Devano menjelaskan bahwa Reynal-lah yang paling banyak berperan membantu kondisi Satya.
“Setahuku, selama ini Satya hanya tinggal bersama ibu dan neneknya. Dari kejadian tadi, sepertinya ada sedikit masalah dalam rumah tangga mereka, Tan.”
“Apa yang bisa kita perbuat untuk mereka, Dev?”
“Tidak ada. Itu urusan rumah tangga mereka.”
Jeda sejenak. Devano melihat ke arah Intan dengan seksama. “Tan, kenapa kamu tadi menangis?”
Disinggung soal tadi, mendadak saja Intan jadi malu sendiri. Sebenarnya tadi Intan kaget, dan sedikit takut dengan apa yang terjadi. Sayang sekali, mimik yang tergambar justru berujung tangisan.
“Kenapa tadi kamu memelukku?” Intan memilih balik bertanya.
Sama seperti Intan, Devano memilih untuk diam. Namun, dalam hatinya tersenyum malu karena sikap yang tadi dia tunjukkan adalah sikap spontan. Rasanya, tiba-tiba seolah ingin melindungi Intan setelah melihat air matanya keluar.
“Mama Intan!”
Obrolan Devano dan Intan terusik karena teriakan anak lelaki yang berlari mendekat ke arah Intan. Anak lelaki itulah yang sempat mengira Intan dan Devano berpacaran.
“Sayang, kenapa kamu memanggil kakak dengan sebutan mama, ha?” Intan mengusap pelan kepala si anak lelaki.
“Kak Dev tadi yang bilang, kalau Kak Intan ini calon istrinya Kak Dev. Katanya aku boleh manggil mama, terus boleh minta gambarkan mainan yang kusuka sebanyak-banyaknya.” Terang si anak lelaki dengan nada polosnya.
“Dev-va-no!” Intan mengeja nama Devano dengan penuh penekanan. Tidak lupa pula lirikan mata tajam juga dilayangkan.
Terbongkar sudah bisikan Devano pada si anak lelaki. Demi menghindari omelan Intan, Devano memilih untuk menemani anak-anak yang sedang asik bermain. Sementara Intan, dia terpaksa menuruti keinginan si anak lelaki. Intan menggambarkan kereta api sambil pasrah dipanggil mama oleh si anak tadi.
***
“Tan, kamu baik-baik saja?”
Intan mengangguk-angguk menanggapi pertanyaan Devano sambil tetap senyum-senyum sendiri. Langkahnya diayun mantap menuju motornya, sedangkan di tangan kanan kirinya penuh dengan oleh-oleh dari si ibu tua. Ada pisang, sayuran, dan kacang panjang.
“Yang ini dari ayahnya Satya.” Devano memberikan kelapa muda pada Intan yang terlihat susah payah menata oleh-oleh di motornya.
“Beruntungnyaaa … Senang sekali, deh. Ayah ibunya Satya sudah berbaikan. Anak-anak yang hari ini belajar, mereka sangat senang. Sekarang, waktunya pulang.” Intan tampak bahagia.
“Kalau yang ini dari Gion, untuk mama Intan.” Devano menyerahkan selembar kertas bertuliskan terima kasih. Gion adalah si anak lelaki yang paling manja pada Devano, yang sempat mengira Intan dan Devano berpacaran.
Raut wajah Intan seketika berubah, bahkan tidak mau menerima selembar kertas yang disodorkan Devano padanya.
“Buat kamu saja. Kamu kan ayahnya.”
“Berarti kamu setuju jadi mamanya, dong.”
“Deeeev! Sekali lagi kamu menggodaku, aku benar-benar akan mengganggu hidupmu!”
“Haha. Yuk, pulang! Sebagian barangmu letakkan di motorku. Biar aku bawakan.”
Perhatian Intan teralihkan pada oleh-oleh yang memenuhi bagian depan motornya. Memang terlihat dipaksakan. Alhasil, Intan memutuskan menerima tawaran Devano demi keamanan. Akan sangat tidak lucu bila nanti oleh-oleh yang dibawa justru jatuh satu per satu saat di perjalanan.
Motor Intan dan Devano pun melaju depan belakang. Devano memimpin jalan di depan, sedangkan Intan mengekori di belakang sambil sesekali melambungkan lamunan. Pikiran Intan terusik saat teringat rumah. Ingat rumah, itu artinya teringat rencana perjodohannya.
“Apa yang harus aku lakukan?” Batin Intan.
Begitu larut Intan dalam lamunan, padahal kondisinya masih di jalanan. Hingga kemudian, Intan kehilangan fokusnya, dan ….
“Aaaa!!”
Brakk!
Kejadiannya begitu cepat. Saat Devano menghentikan motornya, tampak Intan sudah tergeletak di dekat motornya.
Bagaimana kondisi Intan? Nantikan lanjutan ceritanya!
Bersambung ….
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
Arthi Yuniar
Yaah Intan kebanyakan melamun jadinya jatoh kan😁😁
2021-12-31
0