JOGJA, kota wisata yang tidak pernah tidur. Indah dan mengasyikkan. Malam hari di Jogja, justru lebih mempesona. Orang-orang pada keluar, menikmati keindahan suasana malam di setiap sudut kota. Wisatawan akan merasa rugi jika tidak menikmati suasana yang indah tersebut. Demikian juga Hamdan dan Rini, tidak ingin melewatkan malam di Jogja. Mereka bergegas untuk jalan-jalan, sembari mencari makan malam.
"Pak, becak ...!" seru Hamdan memanggil tukang becak yang ada di pinggir jalan samping hotel. Ada beberapa becak yang parkir. Semua pengemudinya mengenakan baju lurik khas Jogja dan mengenakan blangkon Mataraman. Ya, mereka berkelompok membentuk paguyuban, khusus mengantar para wisatawan. Ada yang berada di Malioboro, ada yang di Tugu, dan banyak yang berada di hotel-hotel besar. Termasuk yang ada di depan Grand Hotel, dimana Hamdan dan Rini menginap.
"Injih, Bapak." sahut salah seorang tukang becak, yang langsung membawa becaknya menuju orang yang mengundang. "Mau keliling kota, Bapak?" tanya si tukang becak selanjutnya.
"Iya, Pak. Mau jalan-jalan." jawab Hamdan.
"Ongkosnya sepuluh ribu, Pak. Nanti saya antar ke pabrik Dagadu, toko batik, toko bakpia dan lewat Malioboro." jelas tukang becak.
Hamdan dan Rini naik ke becak, "Pelan-pelan saja, Pak." kata Rini.
"Iya, Bu." jawab si tukang becak.
"Semalam dapat berapa, Pak." tanya Hamdan, ingin tahu penghasilan tukang becak.
"Lumayan, Pak. Kalau ramai begini, bisa dapat lima puluh ribu, Pak." jawab si tukang becak.
"Kalau misalnya saya carter semalam, saya bayar lima puluh ribu, mau?" tanya Hamdan lagi.
"Diantar ke mana, Pak?" tanya si tukang becak.
"Hanya jalan-jalan saja, muter-muter lihat tempat yang menarik. Kan yang tahu sampeyan." jawab Hamdan.
"Iya, Pak .... Siap." kata si tukang becak.
"Kalau kita mau cari makan dulu, dimana?" tanya Rini, "Perut kami masih kosong, Pak." lanjutnya.
"Yang dikehendaki makanan yang seperti apa, Bu?" tanya si tukang becak.
"yang ada tempat nongkrongnya, Pak." sahut Hamdan.
"Di Malioboro saja ya, Pak. Banyak pilihan menu." jawab si tukang becak.
"Setuju." sahut Rini.
Tukang becak menggenjot becaknya menuju Malioboro, mengantar pelanggannya untuk menikmati makan malam. Tidak jauh dari hotel. Dalam waktu sebentar, mereka sudah sampai di depot kuliner Malioboro. Tukang becak menghentikan becaknya. Hamdan dan Rini turun dari becak, langsung mengamati layar-layar kuliner dengan berbagai tulisan yang memajang aneka menu makanan, mulai dari pecel rempelo ati, pecel lele, ayam goreng, bebek goreng, burung dara, burung puyuh, sea food, nasi gudeg, nasi goreng, bakmi serta berbagai menu lainnya yang beraneka macam. Warung kuliner itu berjajar di sepanjang sisi selatan Jalan Malioboro. Walau banyak, semuanya ramai dan penuh sesak. Hamdan dan Rini mengambil kursi plastik, untuk duduk.
"Saya pengin makan bebek goreng, Pah." kata Rini mengawali pesanan.
"Saya bakmi nyemek, cabainya utuh." timpal Hamdan.
"Tukang becaknya, Pah ...." tanya Rini pada Hamdan.
"Oh, ya. Pak ...! Sini ...!" teriak Hamdan sambil melambaikan tangan memanggil tukang becak yang tadi mengantarnya.
"Iya, Pak." sahut si tukang becak yang langsung mendekat ke Hamdan, "Ada apa. Pak?" tanyanya.
"Makan dulu. Silahkan pilih sendiri, mau pesan apa." kata Hamdan menyuruh si tukang becak untuk pesan makanan.
"Iya, Pak. Terimakasih." jawab si tukang becak, "Pesan nasi pecel rempelo ati, minumnya es teh." lanjutnya memesan makanan kepada penjual.
Hamdan dan Rini menikmati makanan yang dihidangkan. Telinga mereka tertarik dengan suara konser trotoar ala Malioboro, yang memainkan musik-musik khas seniman Jogja. Lagu-lagu cinta yang disenandungkan, menggugah perasaan hingga tembus dalam kalbu. Ya, tidak jauh dari mereka makan, ada anak-anak muda yang bernyanyi dengan musik perkusinya yang piawai. Mereka adalah pengamen dengan jiwa seni yang tinggi. Makanya diantara mereka banyak yang jadi seniman-seniman terkenal, seperti KLA Project dengan penyanyinya Katon Bagaskara.
"Musiknya merdu ...." gumam Hamdan.
"Iya, suaranya bagus-bagus. Syairnya juga keren, Pah." sahut Rini.
"Bapak bisa request lagu, lho ...." kata si penjual kuliner.
"Oh, ya ...?" sahut Hamdan.
Meskipun bisa request lagu, Hamdan maupun Rini tidak pengin. Ia hanya ingin menikmati makan sambil mendengarkan lagunya. Sebab mereka sebentar lagi akan melanjutkan jalan-jalan menyusur kota.
"Sudah, Mbak." kata Hamdan, "Tolong dihitung, habis berapa?" lanjutnya.
"Enam puluh ribu, Pak." jawab si pedagang.
Hamdan melongo, karena sangat murah. Makan tiga orang hanya habis enam puluh ribu. Seperti ini kalau di Jakarta, sudah habis seratus lima puluh ribu, batinnya. Setelah membayar, mereka melanjutkan perjalanan.
"Ke mana lagi, Pak?" tanya Rini kepada si tukang becak.
"Bapak dan Ibu menghendaki belanja kaos Dagadu?" tanya si tukang becak.
"Boleh ...." kata Hamdan bersamaan dengan Rini.
Tukang Becak langsung menggenjot becaknya lurus ke arah selatan, lantas berbelok ke kiri sedikit, ke arah alun-alun. Sampailah di gerai Dagadu, kaos khas dengan tulisan-tulisan anekdot ala anak Jogja. Berbagai macam tulisan yang lucu, aneh, bernada kritik, semuanya menggelitik yang membaca. Aneka warna, aneka ukuran. Harganya bervariasi, sesuai besar kecilnya kaos. Rini memborong banyak sekali. Besok akan dibagi-bagikan untuk oleh-oleh, buat Mang Udel, Mas Jo, Mak Mun, maupun karyawan suaminya yang sering ke rumah.
Setelah selesai belanja kaos khas Jogja, becak melanjutkan perjalanan menuju alun-alun. Ikon Kota Jogja adalah keraton dengan alun-alunnya. Suasana malam di alun-alun Jogja sangat indah dengan kerlap-kerlip lampu yang berwarna-warni dari sepeda hias. Yaitu sepeda yang dimodifikasi menjadi bentuk-bentuk unik ditambahi dengan aneka lampu LED dengan aneka warna, sehingga bentukan modifikasi tersebut menyerupai bentuk-bentuk aneka rupa. Ada yang bentuknya mirip mobil VW, ada yang menyerupai burung garuda, ada yang seperti angsa, ada yang berbentuk singa, serta berbagai bentuk-bentuk lainnya. Sepeda hias itu disewakan hanya dengan ongkos sepuluh ribu rupiah. Sangat murah. Penyewa bisa menaiki keliling alun-alun. Rini dan Hamdan hanya sekedar menonton keindahan bentuk-bentuk lampu hiasnya. Maklum, usianya sudah mulai tua, tidak mungkin lagi untuk menggenjot sepeda keliling alun-alun.
Setelah puas menonton indahnya sepeda hias, Hamdan dan Rini kembali naik becak. Kali ini tukang becak menawarkan untuk menyaksikan keindahan malam di Tugu Jogja. Hamdan dan Rini mengiyakan. Setuju dengan penawaran si tukang becak. Si tukang becak pun langsung melajukan becaknya menuju ke arah utara, menuju Tugu Jogja. Ya, Tugu Jogja yang sebutan sebenarnya adalah Tugu Golong Gilig, merupakan bangunan peninggalan Sri Sultan Hamengku Buwono Pertama yang mendirikan Keraton Yogyakarta. Konon menurut sejarah, Tugu Golong Gilig ini merupakan salah satu titik dari garis lurus yang menghubungkan Gunung Merapi, Tugu, Keraton Jogja dan Pintu Laut Selatan. Garis magis imajiner ini merupakan falsafah menyatukan kekayaan alam pertanian yang diberikan oleh Gunung Merapi, kekayaan sumber laut yang diberikan oleh Laut Selatan, sebagai sumber kemakmuran Keraton Jogja dan seluruh masyarakat Mataram. Maka dinamakan Golong Gilik, itu artinya menyatukan tekad kebersamaan seluruh rakyat.
Tugu Jogja merupakan obyek wisata malam nomor dua setelah Malioboro. Maka wisatawan biasanya menyempatkan datang ke Tugu Jogja. Di sana mereka langsung berdiri di depan tugu, langsung berfoto. Bisa dengan cara foto selfi maupun pesan foto kepada fotografer yang banyak menawarkan jasa di sekitar tempat tersebut. Indahnya malam hari di Tugu Jogja, nampak dari banyaknya muda mudi yang pada nongkrong di sekitar tugu.
Dari Tugu Jogja ke arah selatan, ada jalan menuju stasiun kereta api yang terbesar di Jogja, yaitu Stasiun Tugu. Lampu-lampu temaram yang menghiasi jalanan tersebut menambah suasana hangat. Di sepanjang jalan dari tugu menuju stasiun, banyak berdiri kafe-kafe yang menjajakan aneka makanan dan minuman. Di pinggir trotoar terdapat kursi-kursi taman yang sengaja dipasang oleh Pemda, selalu penuh dengan anak-anak muda yang duduk menanti malam. Penjaja wedang ronde yang mangkal di pinggir trotoar menawarkan dagangannya kepada orang-orang yang bersantai di sepanjang jalan. Musik-musik jalanan riuh terdengar, mendendangkan lagu-lagu komersial.
Hamdan dan Rini masih berada di atas becak, untuk menyaksikan keindahan itu semua.
"Bapak dan Ibu mau berfoto di tugu?" tanya tukang becak.
"Tidak usah, Pak. Jalan pelan-pelan saja." jawab Hamdan.
"Yang terkenal di sini apa, Pak?" tanya Rini pada si tukang becak.
"Yang sedang ngetrend, Cafe Loco, Bu. Tempatnya ada di samping stasiun." jawab tukang becak.
"Kalau begitu, kita ke sana." sahut Hamdan.
"Baik, Bapak." jawab tukang becak yang langsung menggenjot becaknya menuju Cafe Loco. Tak berapa lama, becak pun sampai di tempat yang dituju.
Hamdan dan Rini turun dari becak. Dua orang suami istri ini terheran dengan ramainya cafe. Konsep yang dibangun sangat unik. Sesuai namanya, loco berasal dari kata locomotif atau kereta api. Tempatnya gandeng dengan stasiun, modelnya seperti kereta api. Tawaran wisata kuliner yang menarik. Hamdan dan Rini masuk ke cafe tersebut, ingin mencicipi sensasi yang dijual.
"Ayo, Pak ..., kita lanjut jalan-jalan." kata Hamdan kepada tukang becak yang mengantarnya, setelah selesai menikmati kopi dari Cafe Loco.
"Njih, Bapak, Ibu .... Monggo." jawab si tukang becak.
"Kita akan ke mana lagi, Pak?" tanya Rini.
"Sebenarnya ada yang bagus lagi, Ibu, yaitu Taman Pelangi, tapi tempatnya jauh. Kita harus ke Monjali. Ada lagi obyek wisata malam, yaitu Pintu Langit. Ini tempatnya juga jauh, harus ke Bantul. Saya tidak sanggup nggenjot." kata si tukang becak.
"Kalau begitu, lain kali saja. Sekarang kita kembali ke hotel." kata Hamdan.
"NJih, Pak .... Siaaap ...." jawab si tukang becak yang langsung menggenjot becaknya menuju Grand Hotel.
Meski pulang, tukang becak yang paham betul tempat-tempat wisata di Jogja ini, tidak segera melajukan becaknya ke hotel. Ia berkeliling ke tempat-tempat indah yang bisa dinikmati oleh pelanggannya. Melintasi lembah Kali Code, menyaksikan bangunan-bangunan kuno peninggalan Belanda, menyusur benteng keraton, serta tempat-tempat indah lainnya. Tidak hanya melewati, tukang becak ini juga piawai dalam menceritakan sejarah setiap tempat yang dilintasi. Tentu Hamdan dan Rini acung jempol untuk pengetahuan tukang becak.
Sudah larut malam, becak yang ditumpangi Hamdan dan Rini sampai di depan hotel. Hamdan melolos lembaran uang seratus ribu dari dompetnya, kemudian memberikannya kepada tukang becak.
"Waaah ..., Pak, tidak punya kembalian ...." kata si tukang becak yang menerima uang tersebut.
"Tidak usah susuk. Saya senang, sudah diantar keliling Jogja. Ambil kembaliannya untuk istri Bapak." kata Hamdan.
"Waaah ..., terimakasih, Den ...." kata si tukang becak yang langsung menyalami Hamdan.
Selanjutnya, Rini dan Hamdan masuk ke hotel, dengan membawa perasaan yang senang, gembira, takjub menyaksikan keindahan Kota Jogja di malam hari. Walau belum semuanya. Semoga suasana seperti ini nanti akan terulang lagi, untuk menyaksikan keindahan-keindahan yang lain, yang tentunya tidak kalah takjub.
Sekali lagi, Rini mencium suaminya, "Terimakasih ya, Pah ...."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 250 Episodes
Comments