MALAM sudah terlalu larut, saat Hamdan, suami Rini pulang dari kantor. Itu sudah biasa. Maklum, Hamdan adalah direktur di kantor pusat perusahaannya, yang selalu sibuk mengurusi usahanya. Apalagi di Jakarta, orang bekerja tidak mengenal waktu. Siang malam sama saja. Jika ingin dapat uang banyak, bekerja harus dua puluh empat jam. Bekerja tidak mengenal waktu. Bekerja harus sungguh-sungguh. Kalau cuma mau duduk-duduk atau santai-santai, tempatnya bukan di Jakarta. Belum lagi jalanan yang selalu macet, mobil yang penuh sesak memadati jalan, memperlambat laju transportasi. Maka untuk berangkat kerja harus pergi pagi-pagi sebelum matahari terbit dan pulang hingga larut malam, adalah hal biasa yang selalu dilakukan oleh orang-orang di Jakarta. Termasuk Hamdan, suami Rini. Ya, Jakarta memang tempatnya orang bekerja, bukan tempatnya pemalas. Siapa yang rajin, dia akan mendapat uang banyak. Bahkan ada seloroh, di Jakarta itu segala sesuatu bisa dijadikan uang, asal orangnya tidak malas dan tidak malu untuk bekerja apa saja. Yang penting halal.
Meski di depan rumah ada satpam yang membukakan pagar dan menjaga rumahnya, di kamar belakang ada Mak Mun, pembantu rumah yang selalu menyiapkan urusan logistik untuk mengurusi perut kelaparan, namun sebagai seorang istri, Rini tetap beranjak ke ruang tengah, menyambut kedatangan suaminya. Rini langsung membawa tas suaminya, dimasukkan ke ruang kerja, dekat dengan kamar tidurnya.
"Mau teh hangat apa jahe susu, Pah?" tanya Rini pada suaminya yang sudah menyelonjorkan kakinya di kursi besar di ruang keluarga.
"Teh hangat saja." jawab suaminya datar.
"Mau makan?" tanya Rini pada suaminya.
"Nggak usah, tadi dah makan sama klien di kantor." jawab suaminya yang terlihat kelelahan.
"Mandi dulu. Punggungnya diguyur air panas, biar nggak masuk angin." kata Rini, sambil mengambil kaos kaki dan baju suaminya yang sudah dilepas. Lantas memberikan handuk untuk suaminya.
"Iya. Makasih, Mah." sahut Hamdan, suami Rini, langsung masuk ke kamar mandi yang ada di dalam kamarnya.
"Mak Mun ..., tolong buatkan teh hangat untuk Bapak, jangan lupa pakai pemanis. Jangan dikasih gula!" kata Rini menyuruh pembantunya.
"Ya, Ibu." jawab Mak Mun, pembantu setia yang sudah sepuluh tahun lebih ikut Rini.
"Jangan lupa, Mas Jo disuruh makan dulu." kata Rini lagi, menyuruh Mak Mun untuk menyiapkan makan buat Mas Jo, sopir suaminya yang selalu mengantar kemana-mana.
Keluarga Rini memang baik. Suaminya, Hamdan, orangnya juga baik meskipun ia seorang direktur. Namun untuk urusan rumah tangga, memang Hamdan tidak pernah mau terlibat. Semua sudah diserahkan pada istrinya. Bahkan kalau di rumah, Hamdan tidak banyak bicara, kecuali ada hal penting yang tidak mungkin dilakukan istrinya. Rini lah, sebagai istri yang mengurus rumah tangga. Mulai dari urusan kebutuhan makan sampai pembayaran listrik.
Hanya sayangnya, sudah tiga puluh tahun berumah tangga, Rini dan Hamdan belum dikaruniai anak. Waktu pernikahan genap lima tahun, mereka meminta anak kepada saudara sepupu Hamdan, untuk dirawat dan dijadikan anak angkat. Istilahnya untuk memancing agar keluarganya cepat diberi anak. Melalui persetujuan keluarga, akhirnya adik sepupu Hamdan yang sudah punya anak lima itu setuju bayi perempuannya yang baru lahir dirawat oleh keluarga Hamdan. Ya, bayi perempuan itu yang dulu menjadi hiburan bagi Hamdan dan Rini. Bayi itu pula yang selanjutnya memanggil Mamah dan Papah kepada Rini dan Hamdan. Rumah tangga Hamdan pun menjadi ramai. Semangat kerja Hamdan semakin termotivasi. Rejeki datang dari sana sini. Jabatan pun datang menghampiri. Keluarga Hamdan menjadi kaya raya dan penuh kebahagiaan. Rumah besar bak istana pun dibangun. Perabot mahal menghiasi rumah. Mobil mewah mengisi garasi besar rumahnya. Segala kebutuhan terpenuhi. Tidak ada kekurangan sedikitpun.
Namun setelah anak gadis yang dirawat itu menginjak dewasa, menjadi gadis yang cantik, setelah lulus sarjana, kemudian disunting orang, Hamdan dan Rini tidak bisa menolak, tidak bisa memaksakan kehendak, tidak bisa melarang, dan tidak mungkin mengekang anak angkatnya itu selamanya. Maka setelah menikah, anaknya diajak ke rumah suaminya, Hamdan dan Rini hanya pasrah. Tidak bisa menahan untuk tinggal di rumahnya, walau papah mamahnya berkeinginan agar mereka berdua tinggal di rumahnya.
Tentu, setelah kepergian anaknya yang tinggal di rumah baru milik suaminya, suasana di rumah keluarga Rini menjadi sepi. Rumah sebesar istana hanya ditempati dua orang yang sudah menua. Tidak ada yang ribut, tidak ada yang dibentak-bentak setiap pagi dibangunkan dari tidurnya, tidak ada lagi gadis yang suka bernyanyi. Sepi.
Rini membawa masuk teh hangat buatan Mak Mun, menaruh di atas meja ruang kamar. Meladeni suaminya. Lantas berbaring di tempat tidur, menemani suaminya.
"Pah, akhir tahun libur,nggak?" tanya Rini pada suaminya, sembari merebahkan tubuh di tempat tidur.
"Papah pegawai swasta, Mah. Kalau libur, penghasilannya juga zoonk." jawab Hamdan.
Rini diam. Ia tahu watak suaminya yang maniak kerja. Hari libur pun selalu dimanfaatkan untuk mengurusi perusahaannya. Apalagi kalau urusan dengan klien. Hamdan tidak pernah mau mengecewakan klien. Orang-orang atau perusahaan yang butuh jasa maupun barang dari perusahaannya, harus dilayani sebaik mungkin. Pelanggan harus puas, jangan dikecewakan. Meskipun saat hari libur. Malah biasanya, klien banyak yang datang pada hari libur, dengan alasan sekalian berlibur.
"Memang ada apa, Mah?" tanya Hamdan pada Rini.
"Teman-teman SMA mau ngajak reuni ke Jogja." jawab Rini.
"Wah, asyik itu." kata Hamdan.
"Iya, asyik. Tapi kalau Papah gak libur ...?!" kata Rini.
"Kalau Papah nggak bisa, Mamah berangkat sendiri saja." sahut Hamdan.
"Gak seru." sahut Rini.
"Lhoh ..., kok gak seru ...?! Emangnya Papah tukang bikin keseruan" sergah Hamdan sambil bercanda.
Rini diam saja. Ia berusaha memejamkan mata. Berusaha tidur, tidak mau membahas lagi. Ia tidak mau berdebat dengan suaminya. Sudah tiga puluh tahun berumah tangga, sudah paham dengan watak suaminya. Walau ia tahu jika suaminya sangat sayang padanya.
Hamdan pun tahu, istrinya sudah tidak mau membahas lagi. Ia pun memejamkan mata. Tubuh yang lelah pun langsung terlelap. Mengorok. Tidur nyenyak.
*******
Pagi hari Rini sudah sibuk di dapur. Meski ada Mak Mun yang membantu, tetapi Rini tidak pernah meninggalkan kodratnya sebagai istri yang harus menyiapkan sarapan untuk keluarganya, walau sekarang hanya tinggal dirinya dan suaminya saja. Namun bagi Rini, kalau tidak ikut ribut di dapur malah jadi bengong. Oleh sebab itu, setiap pagi Rini selalu menyibukkan diri. Mulai dari menyiapkan sarapan, hingga menyiapkan pakaian yang akan dipakai suaminya.
Sarapan sudah siap. Rini ke kamar, menengok suaminya yang masih mengenakan pakaian. Lantas Rini mengambil tas kerja suaminya. Selanjutnya mengajak suaminya untuk sarapan.
"Pah, sarapan dulu." kata Rini pada suaminya yang sudah selesai mengenakan pakaian.
"Yaah ..., sebentar." sahut Hamdan.
Rini langsung menuju ruang makan yang gandeng bersebelahan dengan ruang keluarga. Meja oval besar terbuat dari kayu jati asal Jepara dipahat ukiran yang indah, dilengkapi dengan enam buah kursi ukir dengan jok busa yang empuk, sangat gagah bertengger di ruang makan keluarga kaya. Di tengah meja makan terdapat baki kotak juga terbuat dari kayu jati yang diukir, ada tempat sendok garpu dan kotak tisu. Rini menyiapkan piring berisi lontong sayur kesukaan suaminya. Di samping piring ada gelas bening berisi air jeruk nipis yang diberi madu. Minuman ini bisa memberi vitamin yang alami, membuat tubuh menjadi segar dan melarutkan lemak darah. Yang pasti baik untuk kesehatan tubuh. Memang kalau usia sudah di atas lima puluh tahun, kondisi fisik harus selalu dijaga.
Hamdan sudah terlihat rapi dengan setelan kemeja lengan panjang warna biru muda, celana biru tua, ditambah dasi warna biru dongker ada garis kecil miring warna putih, ditambah jepit dasi dengan permata berlian, jika terkena sinar terlihat berkilau. Perlentenya seorang direktur. Ia duduk di kursi makan yang sudah disiapkan Rini. Berdampingan dengan istrinya. Menikmati lontong sayur kesukaannya.
"Mamah jadi berangkat reuni?" tanya Hamdan pada Rini, setelah menghabiskan lontong sayurnya.
"Kalau Papah nggak libur, ya nggak jadi." jawab Rini datar.
"Aaach ..., segarnya." kata Hamdan menikmati minum air jeruk nipis yang diberi madu, "Kapan rencananya?" lanjut Hamdan menanyakan rencana reuni istrinya.
"Akhir tahun. Saat libur Nataru. Sambil menikmati keindahan Kota Gudeg." jawab Rini.
"Piknik apa reuni?" tanya Hamdan sambil mengejek istrinya.
"Reuni sambil piknik. Dah, sana berangkat kantor dulu. Mas Jo sudah nunggu. Direktur harus jadi contoh karyawannya, jangan datang terlambat." kata Rini yang sudah siap membawakan tas dan jas suaminya ke mobil.
Di halaman depan rumah, Mas Jo, sopir Direktur Hamdan, sudah mencuci dan membersihkan mobil bosnya. Kemudian memanasi mesinnya.
"Mas Jo, ini jas sama tas Bapak tolong dimasukkan mobil." kata Rini menyuruh sopir suaminya.
"Ya, Bu." jawab Mas Jo yang langsung menghampiri Ibu Rini. Ya, "Ibu Rini," begitu para sopir, penjaga dan Mak Mun jika menyebut Rini sebagai nyonya rumah tersebut.
"Sudah sarapan, belum?" tanya Ibu Rini pada Mas Jo.
"Sudah, Bu, tadi di dapur Mak Mun." jawab Mas Jo.
"Kalau nyopir hati-hati, jangan ngebut!" pesan Rini.
"Iya, Ibu. terimakasih." jawab Mas Jo.
"Saya berangkat dulu ya, Mah." kata Direktur Hamdan pada istrinya.
"Ya, Pah .... Hati-hati." kata Rini yang dipamiti suaminya.
Mas Jo sudah menjalankan mobilnya, perlahan keluar dari halaman rumah. Membawa Direktur Hamdan menuju kantor perusahaannya. Rini melambaikan tangan dari teras garasi, sampai mobil tidak terlihat. Pintu pagar bisa membuka dan menutup sendiri, meskipun ada satpam yang menjaga. Lantas kembali masuk ke ruang makan.
"Tuliliiing tuloliliiiing .... Tuliliiing tuloliliiiing .... "HP Rini berbunyi.
"Anik ...." kata Rini yang melihat profil pemanggil, "Halo, Nik ...!" kata Rini menjawab panggilan HP.
"Eh, Rin ..., gimana? Jadi ikut kan? Awas kalau gak ikut!" sahut Anik, teman SMA Rini yang memang supel.
"Lah, jadinya kapan? Tempatnya di mana? Gue bingung mau bilang sama suamiku." kata Rini.
"Ini teman-teman yang tinggal di Jogja masih cari info. Sabar, ya." jawab Anik.
"Tapi gue gak yakin ikut. Gue masih ragu." kata Rini.
"Lhooo .... Pokoknya kamu harus ikut!" sahut Anik.
"Lhah, jangan maksa dong, Nik!" sergah Rini.
"Hahaha .... Masalahnya kalau kamu gak datang, kurang seru, Rin!" Kata Anik sambil tertawa.
"Ach, ngaco, Lu! Urusin dulu kepastiannya, baru sampaikan ke gue! Jadi jelas acaranya. Klo begini, gue bingung mau bilang apa! Jangan ngomong doang, harus jelas, tempatnya mana, waktunya kapan, acaranya apa! Jadi gue bisa bilang sama suami!" sahut Rini.
"Oke, Rin .... Siap ...! Tunggu ya, Say ...." kata Anik mengakhiri pembicaraannya.
Rini kembali bingung. Ajakan reuni itu menyisakan kegundahan dalam pikirannya. Pasalnya, ia ingin bertemu teman-temannya yang sudah lama berpisah. Namun disisi lain, suaminya belum tentu mau diajak bepergian. Apalagi ada kata-kata reuni. Itu tidak penting, tidak menguntungkan, tidak menghasilkan apa-apa. Ya, maklum, suaminya adalah direktur perusahaan swasta yang selalu dituntut profit sebesar-besarnya. Tidak seperti pegawai, yang kerjanya santai, banyak liburnya, masih bisa cuti, gajinya utuh. Enak sekali.
Rini langsung ke meja makan. Sarapan seadanya, menikmati jamu kunyit asam buatan Mak Mun. Ia ingin membuang kata reuni dari pikirannya. Apalagi suaminya sudah mengatakan kerja di perusahaan swasta tidak ada liburnya. Melayani klien lebih diutamakan, agar senang dan puas. Kalau semisal nanti memang tidak bisa ikut reuni, ya gak masalah. Yang penting suaminya bisa menjalankan perusahaannya dengan baik. Karena dari perusahaan itu, suaminya mencukupi semua kebutuhan keluarganya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 250 Episodes
Comments
ren rene
kembali ke karyamu thor sambil ngopi😁
2023-07-16
1