“Guys, kalian pernah tidak dichat pak rektor?” tanya Ega pada Erin dan Fiqa yang tengah asyik menikmati bekal makan siangnya.
“Pertanyaan macam apa ini?” tutur Erin sedikit tertawa.
“Serius Rin, malah ketawa.” Ega menjeda makannya.
“Sini, biar saya yang jelaskan. Erin ketawa karena tidak mungkin pak rektor chat kami berdua. Erin and me cuman dosen biasa Ga. Mimpi apa mau dichat pak rektor? Kalau dia chat kamu ya wajar. Karena kamu kan dekan,” ucap Fiqa disertai tawanya.
“Wajar bagaimana? Tiap hari pak rektor chat saya. Mana pembahasannya tidak bermutu lagi. Tidak ada kaitannya sama sekali dengan kampus.” Ega memijit-mijit kepalanya.
“Tidak bermutu? Memangnya pak rektor bahas apa ke kamu?”
“Chatnya itu palingan tanya lagi apa, apa kabar, sudah makan belum, pokoknya pertanyaan yang tidak penting. Seperti ABG saja. Paling sering itu, dia bahas tentang pernikahan. Bikin risih tau Qa, tapi takut juga kalau tidak dibalas. Bisa dipecat saya jadi dosen.”
“Kayaknya kamu ditarget Ga jadi istri keempatnya. Istrinya sudah ada tiga, cantik-cantik dan muda-muda semua. Tambah kamu, jadilah empat.” Erin kembali tertekeh.
“What? Me? Ada-ada saja kamu Rin. I am not young loh.”
“Pak rektor kan umur 40-an. Jadi perempuan yang usianya 20-an kayak kita ini, terlihat masih muda di matanya. Ditambah lagi kamu itu cantik Ga.”
“Terus bagaimana caranya supaya pak rektor tidak suka sama saya? Ogah saya jadi istri ke empatnya, Rin.”
“Solusinya cuma satu, kamu harus punya suami. You know what, pak rektor tidak mengganggu saya dan Fiqa coz we have husband. Sementara kamu, you are a single one. Belum ada yang punya. That is why dia mengincar kamu.”
Ega menjadi semakin pusing mendengar saran yang diberikan Erin dan Fiqa. Saran dari kedua rekan kerjanya ini terus terngiang-ngiang di benaknya, bahkan saat di kost.
Sepulangnya dari kampus, ibunya menelepon. Memberitahu kalau adiknya akan menikah.
Sepekan berlalu, Ega memutuskan untuk balik kampung karena ingin turut memeriahkan pernikahan adiknya.
Sebenarnya tak ada hari libur. Meski begitu, Ega tetap akan mengajar siswanya di kampung. Yup, via online class.
Sesampainya di kampung, beban Ega mengenai pernikahan malah semakin bertambah. Tatkala para tetangga mulai membicarakannya karena belum menikah.
Ega merasa malu sekaligus minder. Adiknya yang baru saja tamat SMA akan menikah besok. Sementara ia, di usianya yang mendekati kepala tiga, tak kunjung menikah.
“Hati-hati bu Rami, jangan sampai anak kamu kuliah tinggi-tinggi, tapi jadi perawan tua. Lebih baik seperti Husni, baru tamat SMA sudah menikah. Daripada kakaknya, lulusan S3. Tapi sampai sekarang belum menikah juga,” ucap bu Bintang.
Bu Bintang berkata seperti itu lantaran tak tahu keberadaan Ega di dekatnya. Sebenarnya, ini bukan yang pertama kali bagi Ega. Tapi yang ke sekian kali pun, rasanya tetap sakit saat digosipi terlambat menikah.
“Ma, Ega mau tanya sesuatu. Tapi mama janji ya tidak akan marah,” tanya Ega sambil memeluk ibunya.
“Tanya saja, mama janji tidak akan marah.” Bu Nurul mengusap kepala anaknya.
“Besok Husni menikah. Padahal Husni jauh lebih muda dari saya. Mama pasti malu karena saya belum menikah.”
“Kenapa harus malu? Kalau memang belum ketemu yang tepat, kenapa harus buru-buru nak? Menikah dini bukan prestasi. Terlambat menikah bukan aib. Menikah itu bukan perkara mudah, jadi wajar saja kalau beberapa orang memikirkannya matang-matang.”
“Kamu terlalu memanjakan anakmu. Lihat saja, dia belum menikah karena kamu selalu mengizinkannya untuk lanjut kuliah. Dia menjadi terlalu sibuk di kampus, dan tidak punya waktu untuk memikirkan pernikahan,” ucap pak Rahmat yang baru saja masuk kamar.
“Dan kamu Ega, dengarkan papa baik-baik. Papa kasih kamu waktu selama sebulan untuk menentukan lelaki pilihanmu. Kalau dalam jangka itu kamu tidak dapat juga, siap-siap papa nikahkan dengan lelaki pilihan papa.” Pak Rahmat berujar dengan nada meninggi.
“Iya pa.” Ega sebenarnya ingin membantah, tapi takut ayahnya murka. Ayahnya adalah lelaki pendiam, tapi kalau sudah marah ia tampak seperti monster. Makanya keputusannya tidak boleh dibantah.
Tibalah hari pernikahan Husni. Mempelai laki-laki diantar oleh iring-iringan keluarganya, termasuk passepi. Dalam adat Bugis, selalu ada passepi yang mendampingi pengantin.
Passepi adalah anak kecil yang duduk di samping pengantin saat walimahan berlangsung.
Pernikahan berlangsung meriah. Banyak tamu undangan yang datang. Bridesmaids dari keluarga Ega yang banyak menambah kemeriahan pernikahan Husni.
...****...
Di malam harinya, gawai Ega terus berdering. Tapi ia enggan untuk mengangkatnya. Karena yang menelepon tanpa henti itu adalah pak rektor. Lelaki yang paling dibencinya.
“Kenapa tidak diangkat nak? Sepertinya itu penting. Dari tadi dia menelepon kamu,” tanya bu Nurul penasaran.
“Malas bu,” ucap Ega lalu berbaring. Punggungnya memang sedari tadi meminta untuk direbahkan.
Ibunya mendekat ke gawai Ega. Dibacanya nama yang tertera di layar gawai anak sulungnya itu. “Ini yang menelepon rektor di kampus kamu nak.”
“Tidak usah diangkat bu. Pak rektor itu nyebelin. Pembahasannya juga bukan tentang kampus kok.”
“Bukan tentang kampus? Jangan-jangan ini pak rektor suka sama kamu.” Bu Nurul tersenyum lebar.
“Dia sudah menikah ma. Istrinya tiga malah.”
“Hah, tiga? Mama kira masih bujang. Soalnya pemuda sekarang kan hebat-hebat semua, masih muda sudah memiliki jabatan tinggi. Beda dengan zaman mama, rektor di kampus tua-tua semua. Anak ini, mama asyik cerita, dianya tidur. Pasti capek seharian bantu-bantu.”
Tak lama setelah pernikahan adiknya, Ega kembali ke kota Makassar. Seperti hari-hari sebelumnya, pak rektor terus menghubunginya. Ega semakin kesal saja dibuatnya.
Di saat yang bersamaan, Agung juga memperketat usahanya mendekati Ega. Dua lelaki ini menjengkelkan. Tapi jika disuruh memilih tentu saja Ega memilih Agung.
Ega yang sudah muak dihantui siang malam oleh pak rektor, mencoba membuka hatinya untuk Agung. Ucapan ayahnya juga selalu lalu lalang di pikirannya. Ia juga ingin membungkam mulut-mulut tajam orang yang mengatainya.
Agung mengirimkan pesan ke Ega via WhatsApp. “Ega angkat dong, saya mau bicara serius ke kamu.”
Agung kembali menghubungi Ega via panggilan WhatsApp. Dengan perasaan tidak karuan Ega mengangkatnya.
“Saya serius mau menikahi kamu.” Ucapan pertama yang keluar dari mulut Agung.
“Kamu serius kan? Maksud saya begini, jangan sampai kamu menikahi saya hanya sebagai pelarian.”
“Pelarian? Saya menikahi kamu karena saya dan Nayla cinta sama kamu. That’s enough.”
“Kamu bisa komitmen kan? Saya paling takut sama yang namanya pernikahan seumur jagung. Kalau niat kamu cuma mau main-main, cari perempuan yang lain saja.”
“Saya akan komitmen, tidak akan menceraikan kamu jika bukan kamu yang minta. Saya tidak akan cari yang lain. Saya maunya menikahi kamu, titik.”
“Apa kamu bisa menerima semua kekurangan saya? Apa kamu bisa menjamin tidak akan terjadi KDRT di rumah tangga kita? Saya ini hanya seorang dosen. Sedangkan kamu Ceo yang kaya raya. Apa kamu tidak malu menikahi saya?”
“Kamu punya kekurangan, me too. Kita sama-sama punya kekurangan, hanya perlu saling menerima. Saya janji tidak akan memukul kamu, semarah apa pun saya.”
“Bagaimana dengan finansial, tempat tinggal, dan pekerjaan rumah?”
“Setelah menikah, kamu tidak boleh bekerja lagi. Semua biaya hidup keluarga kita, saya yang tanggung. Kita tinggal berpisah dari keluargaku. Tugas kamu hanya menemani Nayla, coz kita punya pembantu.”
“Kalau saya berhenti bekerja, it means saya tidak punya gaji untuk ditransfer ke orang tua di kampung.”
"Kamu tenang saja. Saya yang akan transfer ke orang tua kamu tiap bulannya."
“Okay. Tapi, bagaimana dengan keluarga kamu? Apa mereka bisa menerima saya seperti kamu dan Nayla?”
“Don’t worry about this. Saya sudah bicarakan semuanya ke keluarga saya, dan mereka setuju.”
*Jangan lupa tinggalkan jejak readers
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments
Nenieedesu
sudah aku favoritkan kak
2023-06-13
0
Maheera Indra
iya nih terima saja...😂
2022-01-05
1
YouTrie
Terima terima terima
2022-01-05
2