Tampang menawan seorang cowok dengan senyum yang sanggup membuat orang paling tampan sekali pun meragukan ketampanannya dan hanya terpaut beberapa senti dari wajah seorang gadis yang sudah mendidih malu, menjadikan tempat dipenuhi nuansa merah muda itu semakin asyik meramaikan irama berdentum-dentum di gendang telinga sang gadis.
Sebuah buku dengan sampul bertuliskan matematika tiba-tiba terjulur ramah di depannya. ‘Leonna, ingin pinjam bukuku? Ah, kamu juga harus selalu hati-hati. Jangan sampai terluka lagi seperti ini, ya? Leonna-ku sayang? Hm, wajahmu memerah? Apa kamu sakit? Demam? Atau jangan-jangan kamu... jatuh cinta?’
“WAHHH! Apa?! Apa itu tadi?!”
Teriakan menggelegar dilanjut lonjakan kaget seorang gadis bermata biru, Leonna, dari posisi tidur meringkuknya, serta merta membuat siluet seorang cowok berpenampilan mirip pangeran itu lenyap seketika.
Jemari berkuku panjang Leonna lalu mencengkeram beringas selimut putih. Nafasnya kemudian ikut megap-megap serupa ikan-ikan malang yang tersangkut di jaring-jaring kusut para nelayan.
Leonna yang betul-betul berlaku seperti orang habis dikejar setan, menatap ngeri sekeliling ruang kamar bernuansa mewah. Bola mata Leonna lalu berhenti di sebuah benda berpenampilan beruang kutub di atas nakas.
Ia perlahan menghembuskan nafas lega, tetapi langsung terbelalak lebar, ketika sadar jam beker imut itu sudah menunjukkan pukul tujuh tiga puluh atau singkatnya setengah delapan pagi.
“Tidak! Aku telat!!!”
Sepuluh menit bagi Leonna untuk rapi-rapi tanpa sarapan dan delapan menit pas untuk dirinya tiba dengan berlari ke halte bis. Namun, tanpa Leonna sadari. Jam masuk sekolah di New York dengan Moskwa itu berbeda hampir atau lebih dari setengah jam. Jadi, kasihan Leonna. Dia sebenarnya sudah telat tiga puluh menit.
“Huft... huft... a-apa?! Gerbangnya sudah tu-tu—p!”
Benar saja, gerbang sekolah telah lama ditutup. Bahkan para sekuriti yang seharusnya berjaga pun tidak kelihatan batang hidung mereka. Leonna dengan panik dan mata setengah berair berhenti dari aktivitasnya melongok dari balik jeruji gerbang. Kaki pendeknya kini sibuk mondar-mandir cantik sembari menatap tidak fokus ke arah jalanan yang sudah sepi.
“Ah, lalu bagaimana ini?! Apa aku pulang saja? Tapi, ini baru hari keduaku di sekolah dan—AKH! KAU?!”
“Diam dan ikut saja denganku!”
Leonna bengong untuk beberapa detik. Pergelangan tangannya tiba-tiba sudah ditarik oleh figur tinggi bersetelan serba hitam. Makhluk misterius itu melangkah kelewat santai. Setang dari sepeda merah hitam yang sangat familier di mata Leonna tampak tengah didorong beriringan mengikuti langkah siput mereka.
Sosok berambut gelap dengan wajah masih setengah mengantuk itu menyeret paksa Leonna ke arah berlawanan dari lokasi SMA Stuyvesant berada. Leonna bingung. Ia yang masih dalam proses berpikir lalu refleks menengok ke arah insan miris etiket di sebelahnya.
“Kau—REID?!”
Mata Leonna yang sejak tadi menatap kosong kemudian terbelalak lebar saat sadar kalau makhluk tampan di depannya ternyata adalah Reid Cutler.
Meski air muka Reid kelihatan tidak segar. Tetapi, melihat genggaman yang dengan seenaknya melingkar di pergelangan tangan ramping Leonna, membuat si empunya jadi deg-degan sendiri. Wajah Leonna lantas tidak butuh waktu lama berubah menjadi semerah tomat. Ia karena terlalu kaget, secara instingtif mencoba menghempas kasar cengkeraman tangan Reid.
Namun dapat ditebak, Leonna gagal. Mengingat ukuran tubuh Leonna yang terpaut jauh lebih kecil dari Reid. Jelas, tenaga Reid akan berkali lipat lebih besar dibandingkan dengan tenaga Leonna.
“Berhenti! Hei, kau! Apa yang kau lakukan?! Cepat lepaskan! Lepaskan aku!”
“Kau ini berisik sekali!”
Reid membentak Leonna cukup kencang. Leonna refleks tergugu takut. Bulu kuduknya ikut meremang tegang. Lebih lagi setelah melirik kecil ke kanan dan ke kiri. Hanya ada deru bisik-bisik dari rimbun pepohonan. Begitu sepi dan tidak tahu dari mana, berhasil membuat Leonna berpikiran macam-macam.
‘Apa Reid berniat membalaskan dendam dan meminta ganti rugi karena peristiwa tidak mengenakkan pagi kemarin? Tetapi, kalau begitu. Mana mungkin juga Reid mau berbaik hati membantuku dari tabrakan pengendara sepeda motor pada jam pulang sekolah setelahnya?’
“Cepat! Apa kau mau seharian berdiri di sana?!”
Leonna sontak berhenti melamun. Mulutnya menganga lebar. Ia amat terkejut dengan pemandangan anti-mainstream tepat beberapa meter dari jaraknya berdiri.
Tampak, Reid dengan air muka kalem maksimal sudah berjongkok di atas tembok tanpa cat. Alias tembok murni hanya dalam balutan semen kasar dan kelihatan begitu usang lagi jelek.
Semakin membuat Leonna heran. Tinggi tembok itu bukan main tingginya. Ia memang pendek. Tetapi, walaupun tinggi Reid kelewat tidak normal. Bagaimana bisa cowok itu dengan mudahnya memanjat tembok setinggi lebih dari tiga meter?
Lebih lagi, Reid berhasil naik ke atas sana tanpa sama sekali Leonna ketahui. Bulir keringat bahkan tidak setitik pun bertengger, apalagi sibuk-sibuk berseluncur sombong dari pelipis Reid.
Apa mungkin akan masuk akal kalau makhluk bernama Reid ini ternyata memiliki sebuah kekuatan super? Semacam jaring laba-laba Peter Parker dalam film fiktif dari Marvel, Spider-Man? Atau lebih realistis, para traceur dan traceuse—praktisi parkur generasi pertama? Yah intinya, Leonna benar-benar tidak habis pikir dengan metode Reid bisa sampai di atas dinding sana.
“Apa yang sedang kau lakukan?! Apa kau sudah bosan hidup?!”
Leonna berteriak cemas. Horor sekali dalam bayangannya kalau harus menjadi ‘satu-satunya’ saksi mata kematian tragis manusia lain.
Meski ia memang bisa dikatakan termasuk penggemar film bergenre thriller dan misteri. Tetapi, kalau harus menyaksikan langsung adegan meregang nyawa, tentu ia akan menolak keras. Apalagi jika yang meninggal adalah siswa pembelot macam Reid.
Sudah tahu datang terlambat, tapi masih memaksa untuk menerobos masuk. Bahaya sekali kan kalau Reid benar-benar harus menjadi korban mati konyol!
Reputasi emas institusi pendidikan Leonna pun pastilah akan tercoreng. Jika begitu jadinya, ia sebagai keturunan marga Mileková dapat diprediksi akan pula ikut terseret dan terserang skandal.
Namun, akan lebih gawat darurat lagi. Karena bisa jadi bisnis perusahaan besutan kakek kakek kakek papinya itu juga ikut terdampak. Bagaimana nantinya kalau saham mereka tiba-tiba anjlok? Kasihan sekali para pekerja yang telah amat lama mengais rejeki dari dompet-dompet Tuan Besar Mileková, jika itu betul-betul terjadi.
“Terserah kau mau ikut atau tidak, tidak ada ruginya juga kalau kau tidak ikut.”
“W-woah! Kau menyuruhku untuk ikut memanjat tembok ini?! Apa kau pikir aku ini juga siluman cecak sepertimu?”
Reid menguap lebar. Jelas tidak sama sekali tertarik, bahkan untuk sibuk-sibuk sekadar memberi secuil ulasan terhadap analisis tanpa bukti Leonna yang menyebutnya sebagai siluman cecak.
Namun, agak aneh di mata Reid, jika ia tidak salah lihat. Leonna dengan wajah super padam hingga kedua daun telinganya, kini malah memalingkan pandangan ke arah ujung-ujung alas kakinya.
Entah, pikiran macam apa yang tengah berseliweran di balik tumpukan helai-helai rambut keemasan Leonna dan sangat gila. Sebab Reid masih sempat berpikir kalau perilaku Leonna itu menggemaskan.
Reid tiba-tiba menghela nafas panjang. Rasionalitasnya seperti habis tersambar petir dan kian abnormal ketika ia sadar rasa kantuknya mendadak lenyap tak bersisa.
“Kemari dan julurkan tanganmu.”
“Apa?”
Leonna melongok bingung ke arah uluran jari-jemari panjang Reid dan bisa diprediksi. Bahkan dua menit sudah, Reid menekuk se-ekstrem mungkin agar Leonna tidak perlu susah payah meloncat-loncat untuk menggapai jemarinya. Tetapi, Leonna malah hanya terus diam. Ia membeku layaknya manekin di belakang deretan kaca jernih toko-toko busana.
“Tiga, dua, sat-...”
“Baik, tapi—WAHHH! J-jantungku.”
.
.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 125 Episodes
Comments