“Aw-aw-aww...”
Leonna meringis kecil. Jalannya mendadak pincang gara-gara benturan keras pedal sepeda dengan tempurung lututnya sebelum terjatuh tadi.
Perasaan cemas untuk melewati gerbang sekolah barunya pun sontak lenyap. Kini yang tersisa hanyalah nyeri bercampur jengkel setengah mati pada cowok tidak dikenal itu.
“Murid baru kan? Oh, atau murid program pertukaran pelajar?”
Tepat setelah ujung sepatu kets putih Leonna menyentuh pelataran gerbang, seorang remaja laki-laki dengan badge OSIS di bahu kirinya tiba-tiba datang menghampiri dan menyapa ramah Leonna.
Kedua mata cokelat almond si cowok berbinar cerah ketika dengan tanpa permisi, jari-jemarinya menepuk pelan pundak Leonna.
“Pertukaran, kak.”
Leonna menjawab singkat. Tidak tahu dari mana, ia asal saja memanggil sosok itu dengan sebutan kakak. Padahal ia sendiri kan juga sudah di tingkat akhir bangku sekolah menengah atas. Jadi kemungkinan besar, cowok berseri-seri itu seangkatan atau kalau tidak, satu dua tingkat di bawahnya.
“Kelas tiga dong? Kalau begitu, salam kenal. Panggil saja Angus.”
“Leonna.”
Leonna menyambut jabat tangan cowok bernama Angus. Mereka saling bertatapan sebentar, hingga kemudian Angus melepas jabat tangan mereka dan menggaruk tengkuknya yang jelas-jelas tidak gatal. Ia mungkin canggung, pertama kali bertemu dengan Leonna.
“Eh, kaki kamu kenapa? Kok bisa terluka begini? Jatuh?” Angus menunjuk lutut kiri Leonna yang terluka. Alis tebalnya berkerut penasaran.
“Iya, tadi tidak sengaja tabrakan dengan sepeda.”
Leonna menghembuskan nafas kasar. Kedua manik matanya memandang kosong ke arah gerbang yang sudah mulai sepi. Para pengurus OSIS juga satu per satu pergi meninggalkan depan gerbang, yang kemudian langsung digantikan oleh dua orang pria berseragam hitam dengan tulisan sekuriti di bagian punggung mereka.
“Lain kali hati-hati. Ya sudah, ayo! Obati di UKS dulu.”
Leonna dan Angus berjalan masuk ke dalam gedung sekolah dan mungkin, karena ini hari pertama semester baru. Para siswa-siswi lebih banyak yang nongkrong sembari saling mengobrol di luar kelas, ketimbang dari yang hanya duduk manis di dalam kelas mereka masing-masing.
Aktivitas mereka juga, tanpa Leonna sangka-sangka, jadi menghambat perjalanannya dan Angus menuju UKS. Leonna bahkan sampai melongo sendiri melihat betapa populernya Angus. Tidak terhitung sudah berapa banyak sapaan yang dilontarkan siswa-siswi saat melihat Angus. Terlebih, saat mereka mendapati kalau Angus ternyata tidak sendirian.
Syukur, setelah sekian lama, mereka berdua akhirnya sampai juga di depan ruang UKS. Namun, baru saja Angus ingin membuka pintu UKS, seseorang dari ujung lorong berseru kencang memanggilnya.
“Woi, Angus! Kau dari tadi sudah ditunggu wali kelas di kantor guru!”
Angus, si objek pemanggilan hanya mengangguk singkat dan melempar senyum tidak enak hati ke arah Leonna.
“Kalau begitu Leonna, biasanya ada Kak Yin yang jaga. Kamu masuk saja dulu, nanti aku bakal balik lagi ke sini. Ya sudah, ya?!”
Leonna menatap punggung Angus yang kemudian menghilang di belokan lorong. Jemari lentiknya lalu memutar ragu-ragu kenop pintu.
KLAK!
“Permisi—eh?”
Kedua pupil Leonna seketika membesar. Figur paling ingin dihindarinya semenjak pagi ini, dengan sangat tidak sopan langsung melengos begitu iris mereka bertubrukan.
‘Sial, kenapa harus bertemu dia lagi?!’
Leonna dengan langkah dinormal-normalkan berjalan menuju etalase terdekat. Iris biru safirnya kemudian berseliweran ke sana-kemari mencari entah apa, ia pun tidak tahu.
Wajar saja kalau sebenarnya Leonna tidak tahu. Sejak kecil, pelayan rumahnya atau kadang kakak kembarnya, Leo, yang selalu mengurusi Leonna ketika terluka. Bahkan untuk sekadar luka sebesar tusukan jarum.
“Haaa, kalau tidak tahu, tanya! Jangan diam-diam saja.”
Leonna mempoutkan bibirnya kesal. Cowok tak dikenal itu tiba-tiba sudah berdiri di sebelahnya. Jemari besarnya lalu mengambil botol berisikan larutan providone-iodine, plester luka, dan sebuah cotton bud dari dalam etalase.
Bola mata Leonna kemudian terbelalak lebar. Cowok setinggi enam kaki itu dengan tanpa aba-aba menarik agak kasar lengan ramping Leonna dan kemudian mendudukkan Leonna di atas ranjang pasien.
Detik berikutnya, pipi berlesung pipit Leonna mendadak bersemu merah. Jantungnya lagi-lagi berdentum-dentum ribut.
Cowok itu, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun duduk bersejajar di depan lutut Leonna. Ia lalu meneteskan cepat cairan merah dari dalam botol ke atas cotton bud dan kemudian mengoleskannya dengan tidak sabar pada luka-luka Leonna.
Leonna meringis sesekali. Tetapi, ia tetap bungkam. Ia tidak berani mengomentari pekerjaan cowok di depannya atau lebih tepatnya, terlalu sibuk terlena dalam guyuran irama disko tuan-nyonya organ jantung.
“T-terima ka-...”
Setelah hampir tiga menit, cowok itu selesai juga dan baru saja Leonna ingin mengucapkan terima kasih, si cowok telah lebih dulu buru-buru meninggalkan Leonna.
KLAK
Pintu ditutup dengan kasar. Leonna hanya bisa termangu “..sih.”
“Ah, sudah diobati ya?”
...🐣🐣🐣...
Seorang guru kacamata berjalan memasuki kelas. Netranya menatap serius para siswa-siswi yang mulai kasak-kusuk menyamankan posisi duduk mereka dan tidak butuh waktu lama. Suasana ruangan berisi tiga puluh satu siswa itu seketika hening.
Si guru kacamata tiba-tiba memberi isyarat ke arah pintu masuk. Seorang gadis setinggi kurang lebih enam puluh dua inci melangkah ke dalam kelas. Semua mata, terutama mata para remaja laki-laki terpukau menatap rupa cantik gadis dengan rambut blonde yang tergerai panjang hampir sepinggang di depan mereka.
“Silakan.”
“Perkenalkan. Aku Leonna Mileková dari Rublyovka, Rusia.”
Gadis berkulit putih pucat, Leonna, tersenyum gugup. Jemari telunjuknya diam-diam saling menggamit satu sama lain.
Tiga lima detik berlalu lambat dan masih tidak ada jawaban yang keluar dari remaja-remaja tanggung itu. Meski sebenarnya Leonna agak lega, karena ia sudah melewati langkah pertama dan terakhir, mungkin, untuk dirinya melakukan perkenalan secara massa seperti ini.
“Woah, apa katanya?! Rublyovka?!”
Seorang remaja lelaki bergaya agak nyentrik di barisan kursi paling belakang dekat dengan pintu keluar tiba-tiba berseru lumayan kencang. Tidak lama kemudian, atmosfer kelas menjadi lebih berwarna dan agak—tidak. Terlampau berisik sebenarnya.
“Tidak hanya cantik, tapi juga sepertinya berasal dari keluarga kaya raya.”
“Tetapi, Mileková? Sepertinya aku pernah mendengar nama itu..?”
Ujung-ujung jari-jemari Leonna mendadak dingin. Senyum ramah dipaksakannya pun kian detik kian hambar. Apalagi setelah ia mendengar nama keluarganya mulai menjadi bahan gosip para penghuni kelas.
Bukan Leonna tidak senang terlahir dari keluarga yang memang bukan rahasia lagi, teramat sangat berpengaruh di dunia bisnis Rusia maupun internasional. Tetapi, berkat latar belakangnya ini, tidak terhitung pula berapa banyak orang yang hanya ingin berteman dengannya demi iming-iming tidak pasti untuk kemajuan bisnis orang tua mereka atau lebih tidak mengenakkan, karena ingin mendapat popularitas lebih.
“Sudah, sudah!” Guru berusia kepala tiga memukul keras meja dengan penggaris kayu di genggamannya. Kondisi kelas seketika kembali sepi.
“Leonna, silakan duduk di kursi kosong di belakang Reid.”
Leonna memicing sebentar. Ia kemudian langsung membeliak kaget ketika sosok berambut hitam, yang disebut-sebut bernama Reid itu, dengan pandangan datar ke arah papan tulis, duduk tepat di depan bangku kosong yang ditunjuk Pak Ron, wali kelas Leonna.
Namun, bukan hanya karena air muka tidak bersahabat sosok itu yang membuat Leonna terkejut. Melainkan, fakta bahwa figur tampan itu, tidak lain dan tidak bukan adalah cowok tadi pagi yang menabraknya dengan sepeda dan ehm, membantu mengobati lukanya di UKS.
Jantung Leonna sontak kembali berdetak cepat dan hampir saja meloncat keluar gara-gara Reid, dengan tangan memangku wajah, mendadak melirik kecil dari sudut mata segelap malam miliknya.
Leonna pun menenggak air ludah susah payah. Ia lalu beranjak sesantai mungkin menuju tempat duduknya untuk dua mata pelajaran pertama pagi ini, ilmu alam dan matematika.
Dua mata pelajaran berjalan dengan lancar dan beruntung sekali sejujurnya bagi Leonna, karena hari ini adalah hari pertama sekolah setelah libur panjang. Jadi, pengajar yang masuk hanya sekadar memberitahukan target pembelajaran, sedikit materi, informasi akan diadakannya kuis, perkiraan dilaksanakan ujian, dan seterusnya, terkait penilaian serta kredit akhir tahun mereka di kelas dua belas.
“Baiklah, untuk tugas. Silakan kalian kerjakan dari halaman 9 sampai 13. Tulis jawaban kalian di buku tugas masing-masing dan wajib dikumpulkan hari ini sebelum jam istirahat kedua berakhir.”
Leonna membuka tasnya dan baru sadar kalau ia belum mengambil buku pelajaran di kantor kurikulum. Iris biru safirnya kemudian sibuk berkeliling ke sana-kemari. Namun, tidak butuh waktu lama. Ia serta merta menghela nafas panjang dan langsung ciut mendapati belum ada satu siswa pun di kelasnya ini yang ia kenal.
‘Ah, semuanya kelihatan sangat fokus. Ada sih yang tidak, tapi... ugh, bagaimana ini?! Apa aku pinjam saja dari cowok itu? Tidak, tidak! Mana mungkin dia mau berbaik hati meminjamkan bukunya?!’
“Eh?”
.
.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 125 Episodes
Comments
IG: @author_ryby
Ini keren loh. dari segi puebi, teknik penulisan juga oke. aku kayak lagi baca novel terjemahan, saking bagusnya pembahasaan narasinya.
2022-01-05
0
Ameera Mahesa
Wah thor, aku cek di internet ternyata bener emang si Rubly*** itu perumahan mahal di Rusia!!!
2022-01-02
12