Lyn baru saja hendak membuka pintu ruangannya. Namun, tiba-tiba ia mengurungkan niat, kebencian telah mendarah daging. Dengan emosi ia kembali ke ruang rawat Sintia, tadinya Lyn hendak pulang ke ruangannya sebentar. Sebagai Kepala Rumah Sakit, ia punya kuasa disini, ia lebih leluasa berbuat sesuka hati kepada Sintia, juga Melia.
Lyn sangat ingin tau apakah Melia mampu membayar ruang rawat kelas atas seperti yang Lyn dengar tadi. Dengan angkuh ia berjalan, terkejut bukan main saat perawat menuruti kemauan Melia untuk memindahkan Sintia ke kamar rawat kelas atas.
"Bagaimana bisa kamu membayar biaya rumah sakit, untuk kamar rawat semewah kelas atas?" Lyn kembali masuk ke ruang rawat Sintia yang sudah dipindahkan.
"Ternyata wanita itu benar-benar mampu membayarnya, tapi..." fikiran Lyn berkecamuk, dalam hati Lyn bertanya-tanya, lalu memandang wajah Melia dengan sorot mata meremehkan.
"Jangan-jangan kamu menjadi simpanan orang kaya, agar bisa mendapatkan uang banyak untuk pengobatan Ibumu?"
"Jika tidak tahu, lebih baik anda diam, Nyonya Lyn Bramantyo," ucap Melia dengan penuh tekanan saat menyebut nama ayahnya di belakang nama perempuan tua yang saat ini ada di hadapannya.
"Ck! Kamu memang sama seperti Ibumu, Melia. Sama-sama murahan." Entah setan apa yang merasuki Lyn, yang jelas ia sangat ingin dua perempuan miskin di hadapannya ini menderita, sampai saat itu belum tiba. Maka ia akan terus menghina dan merendahkan Sintia juga Melia.
"Apa benar itu, Mel?" Lirih Sintia menatap putri semata wayangnya.
"Tidak, Bu! Ibu percaya padaku kan, aku bukan orang yang seperti perempuan itu tuduhkan," Melia mendekati ibunya, menggenggam erat jemari itu.
"Mana ada, orang yang mau mengakui aib." Lagi dan lagi, Lyn masih belum menyerah, terlebih ia punya kuasa di sini.
"Diam!" Bentak Melia kepada Lyn yang masih berdiri angkuh dengan tangan terlipat di dada.
"Ibu percaya, putri Ibu bukan orang yang seperti itu, Ibu percaya sama kamu, Sayang." Sintia menggenggam jemari Melia, syok dan juga tekanan membuat tubuhnya lemah dan pingsan. Seketika Melia panik memanggil perawat. Sementara Lyn, ia keluar ruangan dan mengintip di balik jendela.
Perawat mengecek keadaan Sintia, kemudian memanggil dokter Revan untuk memeriksa.
"Mel, tunggu di luar, biar saya periksa," ucap Dokter Revan. Melia patuh, ia memandang sekilas wajah ibunya lalu melangkah keluar dan mendapati istri sah sang ayah masih berada disana.
Melia mengepalkan tangan, menatap Lyn dengan tatapan tajam nan dingin.
Seketika wanita paruh baya itu merinding. Namun, kembali menatap sinis Melia yang saat ini sama-sama berada di koridor Rumah sakit.
"Percuma, kamu mau punya banyak uang dan mengganti ruang rawat Ibumu di kelas atas, tidak akan ada gunanya."
Lyn menaik turunkan alisnya, "Di dunia ini, aku punya kekuasaan. Aku bisa melakukan apapun yang aku inginkan." Lyn tersenyum, senyum jahat tentunya.
Melia sama sekali tak menggubris ucapan Lyn.
Melihat wajah Melia yang masih tak berekspresi membuat Lyn semakin kesal.
"Aku punya hak untuk meminta pihak rumah sakit, untuk mengusir ibumu dari sini, ingat itu. Dan aku yakin, setelahnya ibumu pasti tak akan terselamatkan." Lyn terkekeh kecil, kembali menatap Melia yang masih terdiam.
"Mau berapa pun kamu punya uang, bahkan jika itu banyak. Satu, hal yang harus selalu kamu ingat. Kamu tak punya kekuasaan apapun, uangmu tak akan ada artinya!" Lyn tertawa, ia benar-benar puas bisa membuat Melia diam membisu, dengan langkah angkuh ia meninggalkan Melia. Sebagai kepala Rumah Sakit, tentu ia punya banyak cara membuat Sintia dan Melia tertekan.
Dokter Revan keluar menemui Melia, "Bagaimana keadaan Ibuku, Dok?" tanya Melia khawatir.
Dokter Revan menghela napas sejenak, guna menetralkan diri sebelum menyampaikan keadaan ibu gadis yang saat ini terlihat sangat khawatir di hadapannya.
"Untung tidak apa-apa, namun berbahaya bagi kesehatan ibumu jika terjadi lagi. Sekarang masuklah, dan tenangkan ibumu. Mungkin akan lebih baik."
"Terima kasih, Dok!" ucap tulus Melia, Dokter Revan mengangguk, lalu tersenyum sebelum akhirnya pamit untuk melihat pasien yang lain.
Termenung, seandainya Kevin membayar uang itu. Dia memang punya banyak uang, tapi tanpa kekuasaan, hidupnya dan Ibu tak akan pernah aman. Melia sedang berfikir keras, sebelum akhirnya panggilan perawat membuyarkan semuanya.
"Ibu anda memanggil, Nona!" ucap perawat itu, ada rasa iba tercetak di wajahnya melihat Melia dan Ibunya.
"Terima kasih, Sus!" ucap Melia, kemudian melangkahkan kaki masuk ke dalam ruangan dimana ibunya terbaring saat ini.
"Mel," panggil Sintia.
"Melia menghampiri sang Ibu, duduk di sampingnya. "Maafin Melia, Bu! Tapi yang dikatakan wanita itu tidak benar, Ibu percaya kan sama Melia?" Melia menggenggam erat tangan Sintia dan menaruhnya di pipi.
Bagi Melia, tak ada yang lebih berharga selain kebahagiaan ibunya. Dalam hati berjanji akan melakukan apapun agar wanita itu tak lagi bisa mengganggu dia dan Ibunya.
"Kevin, hya dia bisa membantuku. Menjadi istrinya akan membuatku menjadi nyonya CEO yang memiliki kekuasaan. Dengan begitu, aku bisa membuat wanita tua itu merasakan akibat yang ditimbulkan oleh kekuasaan. Hya, aku berubah fikiran, aku akan menerima tawarannya untuk bertanggung jawab menikahiku." batin Melia yang berubah fikiran.
"Apa yang kau fikirkan, Mel?" tanya sang Ibu, meski dengan suara lirih. Melia mengusap wajahnya, lalu menatap lekat sang ibu, kendati sudah mulai ada kerutan di wajah, ibunya masih terlihat sangat cantik.
"Pantas ayah menyukai ibu, sampai nekad menipu. Jika diperhatikan, Ibu sangat cantik, cantik alami bahkan jika tanpa polesan sekalipun tidak bisa dibandingkan dengan wanita itu yang hanya bermodal dempul. Sayang sekali, Ayah terlalu brengs*k untuk ibu." lagi-lagi Melia membatin.
"Mel, kamu bilang mau keluar?" tanya Sang Ibu, Melia tersentak lalu menatap Sintia. Wajah teduh nan menenangkan, "Maaf, Bu! Mel melamun."
"Mikirin apa, jika ada kepentingan. Pergi saja, ibu sudah membaik." Sintia berusaha mengusap pipi Melia. Melia tersenyum, lalu teringat ucapan Kevin pagi tadi, seketika ia buru-buru beranjak.
"Bu, aku harus pergi. Pulang kerja, aku akan kembali."
"Iya Sayang, hati-hati dan jaga dirimu." Sintia mengulas senyum. setelah Melia pergi, ia merenung, jelas-jelas dimasa lalu bukanlah kesalahannya. Tapi, kenapa Lyn begitu terobsesi membuat ia dan Melia hancur?
Maafkan Ibu, Mel...
Maaf telah membawamu dalam penderitaan ini, tidak seharusnya kamu hidup seperti ini...
Maafkan ibu, Melia...
Ibu berharap, kelak akan ada seseorang yang melindungimu, tulus mencintaimu, dan menerimamu tanpa memandang apapun, Ibu berharap kamu tidak merasakan apa yang Ibu rasakan. Ibu berharap kelak kamu akan bahagia, sayang...
Tidak tahu, dibalik pintu Melia menatap Sintia dengan perasaan campur aduk. Melia melihat, bagaimana ibunya terlihat sangat sedih saat ia keluar dari ruang rawat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
Indah MB
Lyn mak Lampir...
tp kasian deh sama Mel.. pasti dia takut ibunya kecewa karena tidak perawan lagi
Menikah dengan Mr. Arogan mampir
2023-06-01
0
Arin
nah gtu dong Mel...klo kmu jdi istri Kevin kmngknn kan dia mau ngldungin kmu smaa ibumu dri nnek lampir
2022-09-21
0
Ners Ramla Dcl
seruuu
2022-05-30
2