Mentari mulai merangkak naik, cahaya kuning keemasan masuk lewat celah-celah jendela. Kevin membuka mata, merasa diri belum sepenuhnya sadar. Ponsel yang kemarin malam ia letakkan asal, berdering. Hari ini ada pertemuan dengan klien penting jam tujuh. Matanya membulat sempurna saat melihat jam di dinding. Belum lagi keterkejutannya akan wanita polos tanpa sehela benang di sampingnya.
"Astaga, apa yang telah aku lakukan." Kevin mengedarkan pandangan, lalu memegangi kepala berusaha mengingat kejadian demi kejadian yang telah membuat dirinya tanpa sadar menodai seorang wanita.
Sial.
"Dia masih perawan," gumam Kevin melihat bercak darah yang tercetak jelas di sprei putih ranjang milik Melia.
Kevin gegas memakai kembali pakaiannya setelah menemukan ada kamar mandi di dalam kamar kecil perempuan ini.
"Maaf, aku akan bertanggung jawab," ucap Kevin seraya meletakkan kartu nama dirinya di atas nakas, Kevin lantas pergi meninggalkan rumah Melia dengan dijemput Alan, asisten pribadinya.
"Kenapa seorang Kevin Reyhan Louis tersesat di rumah kecil ini?" tanya Alan, dia juga termasuk sahabat sekaligus orang kepercayaan keluarga Kevin.
"Huh, Tom berusaha menjebakku agar tidur dengan wanita di Bar." Kevin langsung masuk ke dalam mobil tanpa menunggu Alan yang malah diam mematung mendengar ucapannya.
"Sudah aku bilang, Tom hanya memanfaatkanmu." Alan terlihat geram, dan mengepalkan tangan.
"Aku akan memberinya pelajaran kali ini, kau tinggal bilang apa yang harus aku lakukan untuk membereskan teman tak tau dirimu itu."
"Sudahlah, jangan sekarang. Ada hal lain yang lebih rumit, aku akan mandi di kantor. Siapkan saja bajuku," ucap Kevin mengabaikan kekesalan Alan.
Mobil pun melaju dengan kecepatan tinggi, Alan harus mengejar waktu agar Kevin tidak terlambat bertemu dengan klien nanti terlebih saat ini bossnya itu belum mandi.
***
Melia mengerjap beberapa saat, ia merasakan area inti terasa sangat nyeri, saat mendapati ranjang sisinya kosong tangisnya kembali pecah.
Sialan.
Melia bangkit, berharap ini hanyalah mimpi buruk. Jemarinya mencubit lengan, dan Melia merasa kesakitan.
"Ini bukan mimpi, hidupku benar-benar sudah hancur sekarang." Matanya mengedar, tidak ada apapun yang ia temukan. Uang yang dijanjikan pun tak ada.
"Dasar," geram Melia dengan emosi meluap.
Gegas ia memunguti pakaiannya dan segera mandi.
Melia mengguyur tubuhnya, semua terasa menyakitkan melihat banyak tanda merah tercetak di tubuhnya.
"Laki-laki itu," gumamnya mengepalkan tangan erat.
Selesai membersihkan diri, Melia mengganti pakaian. Hari ini ia berencana mengunjungi ibu yang terbaring di Rumah Sakit. Seharusnya ia bisa menemani Ibunya sepulang bekerja. Namun, Laki-laki bernama Kevin telah merusak segalanya.
"Huh, Kevin. Aku akan datang ke kantormu menagih bayaran." Melia memandangi diri di cermin, ia memoles tipis wajahnya yang pucat karena tragedi semalam.
Sial.
Menghela napas pelan guna menetralkan detak jantungnya, Melia lalu mencari-cari dimana ia meletakkan ponsel. Hingga sorot matanya menangkap kartu nama kecil dan sepucuk surat.
"Maaf aku buru-buru, jika sudah bangun aku meninggalkan kartu namaku." Melia membaca isi pesan sepucuk surat yang Kevin tinggalkan.
Sementara di Kantor, Kevin menghela napas lega saat pertemuan dengan klien lancar, dan berhasil menjalin kerja sama.
Sialnya, ia tak melihat Tom masuk kerja hari ini. Membuat amarah sekaligus rasa kecewa memuncak.
"Sudahlah, pecat saja temanmu itu, Kev!" Alan, asisten pribadinya masih terlihat sangat kesal.
"Gara-gara jebakan Tom, aku telah merenggut kesucian seorang gadis, sial."
"Hebat, di jaman yang sudah seperti ini kau masih mendapatkan gadis perawan, kau harus menikahinya." Alan menepuk pelan pundak Kevin. Sementara Kevin terlihat tengah berfikir, meletakkan kepala di atas tangan sebagai tumpuan.
"Bagaimana dengan statusnya?" tanya Kevin. Bukan hal yang buruk jika ia menikahi gadis itu, tapi dengan status Melia yang hanya gadis biasa apakah keluarga besarnya akan menerima? Fikir Kevin.
Drrttttt, bunyi ponsel milik Kevin berdering. Lamunannya buyar akan nomor asing. Ia tak pernah memberikan nomor ponselnya kepada siapapun selain keluarga juga gadis yang kemarin menyelamatkannya.
"Lan, ambilkan aku cek," pinta Kevin, lalu dengan gerakan cepat menggeser tombol hijau ke atas guna mengangkat telepon.
"Hallo, siapa?" tanya Kevin, firasatnya mengatakan jika gadis itu yang meneleponnya.
"Hallo, Tuan Kevin yang terhormat, apa kau mau lari dari tanggung jawab." Melia dengan suara emosinya di seberang sana.
"Kau tenang saja, aku Kevin Reyhan Louis tidak akan pernah ingkar janji dan akan bertanggung jawab menikahimu." Kevin berusaha santai, meski jantungnya berdetak cepat, wanita adalah makhluk yang rumit dan sangat sulit ditebak.
"Menikah? Dasar gila! Aku hanya butuh kamu membayar apa yang kamu janjikan kemarin!" ucap Melia, ia tak habis fikir jika seorang Kevin mau menikahinya.
"Aku akan menikahimu, dan semua selesai."
"Apa kau fikir aku mau menikah denganmu, dengar aku baik-baik Tuan. Bayar uangnya dan kita selesai." Melia memang harus menagih uang yang dijanjikan oleh Kevin. Dengan uang itu ia bisa mencari pendonor dan membayar operasi ibunya.
"Apa yang kau janjikan, Kev!" Alan masih mengamati wajah Kevin saat telepon dengan gadis itu.
"Aku akan membayarnya satu milyar, masalah beres." Kevin terlihat santai. Sementara Alan menautkan alisnya.
"Dia menolak kau nikahi?" tebak Alan, Kevin mengangguk.
Ptpfff...
Tawa Alan membuat Kevin heran, "baru kali ini kamu ditolak perempuan haha, biasanya perempuan selalu berusaha menggodamu."
"Diamlah!"
"Hanya satu milyar," gumam Kevin, ia kemudian segera mengirim pesan kepada Melia agar menemuinya langsung.
Beres!
***
Tring...
Bunyi pesan masuk ke dalam ponselnya, Melia tersenyum. Namun, senyum itu seketika pudar karena Kevin mengirim pesan agar ia menemuinya langsung jika ingin uang satu milyar.
Sial, dia mencoba menipu kah? Itulah yang ada di benak Melia. Ia melesatkan motornya menuju Rumah Sakit Pusat Medika.
Pertama, ia harus ke loby rumah sakit mengurus pembayaran, barulah ia akan masuk ke ruang rawat sang Ibu. Tabungan yang ia punya belum cukup, Melia hanya bisa membayar biaya perawatan Ibunya.
"Silahkan anda ke ruangan Dokter Revan." ucap salah seorang perawat memanggil Melia.
Melia pun mengangguk. Namun, sebelum ia datang ke ruangan Dokter Revan. Melia ingin menjenguk ibunya sebentar, memastikan keadaan sang Ibu.
Langkahnya terhenti, tepat di depan kamar rawat Sintia Zain, ibunya.
Samar-samar ia mendengar seseorang tengah marah.
"Selamat ya, Tuhan memang adil. Akhirnya aku melihat kau menerima karma karena telah menggoda suamiku," ucap Lyn dengan tatapan tajam. Ia terkekeh pelan, melihat Sintia terbaring lemah dengan selang infus di tangan membuat dirinya semakin bersemangat.
"Sudah aku katakan, jika bukan aku yang berusaha menggoda Mas Bram, dia sendiri yang bilang jika dirinya belum mempunyai istri." Sintia berusaha menjelaskan, meskipun wanita yang saat ini ada di depannya tak akan percaya.
Plakk...
Lyn menampar keras pipi Sintia.
"Cukup, jangan membela diri! Kau hanyalah jal*ng diantara pernikahan kami."
"Pergilah," lirih Sintia, ia memalingkan wajah. Berhadapan dengan Lyn hanya akan mengingatkannya pada keburukan. Saat dimana anak yang ia perjuangkan dianggap sebagai anak haram, menyakitkan.
Melia mengepalkan tangan emosi, ini sama sekali tak adil bagi ibunya. Di luar ia mendengar semua ucapan Lyn, istri sah ayahnya.
Damn.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
Indah MB
aku fav ya kak... hehhee seruuu
Menikah dengan Mr. Arogan mampir
2023-06-01
0
Arin
aduh Mei knp gmau,nanti klo kmu hamil gmn
2022-09-21
1
Coco
kasian meila
2022-07-16
1