Nevan….. Haura…..
Malam harinya di kediaman Sander semua orang terlihat sangat sibuk. Sang Tuan rumah berkumpul di ruang keluarga bersiap menyambut kedatangan keluarga besar mereka. Sementara para asisten rumah tangga sedang berkutat di dapur mempersiapkan berbagai hidangan untuk jamuan makam malam keluarga dalam rangka menyambut kedatangan si bungsu keluarga Tuan Liam Sander.
Tidak terkecuali seorang gadis remaja ikut sibuk mempersiapkan ini dan itu bersama dengan asisten rumah tangga lainnya. Haura terlihat lincah membantu kegiatan dapur. Dia telah terbiasa dengan proses masak memasak yang telah menjadi rutinitasnya membantu sang Ibu.
Satu persatu keluarga besar Sander mulai berdatangan. Ada adik pertama dari Tuan Liam, Tuan Andrian Sander bersama Istrinya Iva Sander dan tidak ketinggalan dua anak mereka, Gian Sander dan Luisa Sander.
“Selamat datang Om.. Tante...” Sapa Zayn yang melihat kedatang adik ayahnya tersebut.
“Terima kasih sayang,” Tante Iva memeluk Zayn dengan penuh sayang.
“Mama, Iva kangen,” Tante Iva memeluk manja Nyonya Anna. Meskipun tante Iva adalah menantu di keluarga tersebut, akan tetapi Nyonya Anna selalu memperlakukannya layaknya anak kandung sendiri.
“Mama juga kangen,” Nyonya Anna membalas pelukan menantunya tersebut. “Hai, cucu grandma yang paling cantik. Grandma kangen sama kamu,” Wanita berusia senja itu pun memberi pelukan hangat untuk Luisa, cucu kesayangannya.
Luisa, gadis cantik berambut panjang. Gadis tersebut berusia lima belas tahun. Dia tipikal gadis periang dan mau tahu banyak hal. Mudah bergaul dan tidak memilih-milih teman. Dia adalah cucu tercantik di keluarga Sander. Karena dari semua cucu hanya Luisa lah cucu perempuan keluarga tersebut sedangkan yang lainnya laki-laki. Gadis kecil itu adalah kesayangan semua orang di keluarga Sander.
“Nevan sayang. Apa kabar, nak? Tante kangen sama kamu,” Tante Iva beralih memeluk Nevan yang berdiri tepat di samping Zayn.
“Nevan baik, Tan,” Remaja laki-laki tersebut membalas pelukan sang tante dengan sama eratnya.
“Om apa kabar?” tanya Nevan sambil mengulurkan tangannya ke arah Om Andri.
“Seperti yang kamu lihat. Om sangat baik,” Laki-laki paruh baya yang masih terlihat gagah tersebut menerima uluran tangan sang keponakan.
“Kamu makin ganteng aja sih. Rasanya baru kemarin kamu ikut grandma, tau nya pas balik udah keren gini,” sambung tante Iva yang sedari tadi terpukau melihat ketampanan keponakannya tersebut.
Nevan memang telah menjelma menjadi remaja yang sangat tampan. Remaja berusia tujuh belas tahun tersebut mempunyai tinggi 183 cm, mata coklat, bibir merah muda, kulit putih bersih, sungguh sempurna.
“Apaan sih ma, gantengan juga aku,” seorang remaja laki-laki protes dengan aksi sang mama yang terus saja memandang kagum kepada Nevan.
Ya, laki-laki tersebut adalah Gian. “Apa kabar bro? Lama gak jumpa,” Gian memeluk sepupu sekaligus sahabatnya itu.
“Lama apanya. Baru tiga bulan kalian gak jumpa,” celetuk tante Iva. Tiga bulan yang lalu saat libur sekolah Gian memang mengunjungi Nevan di Sydney. Jadi sangat konyol rasanya jika Gian berkata sudah lama tidak berjumpa dengan sepupunya itu.
“Gue baik, bro,” jawab Nevan membalas pelukan Gian.
“Welcome home.”
“Hmmmm”
“Udah kangen-kangenan nya?” Luisa buka suara melihat aksi orangtua dan kakaknya tersebut. Karena sejak tadi dia sudah sangat ingin memeluk Nevan. Sepupunya yang sangat tampan.
“Hai Lui, sekarang kamu makin cantik aja,” kata Nevan sambil mengusap gemas ujung kepada Luisa.
“Jadi maksud kak Nevan, dulunya Lui gak cantik?” gadis tersebut memanyunkan bibirnya pura-pura protes.
“Cantik dong. Dari dulu kamu itu cantik,” Nevan pun mencubit gemas pipi Luisa. Adik sepupu kecilnya sudah beranjak remaja. Waktu berlalu dengan sangat cepat. “Mirip boneka Anabel,” sambung Nevan. Mendengar kata-kata Nevan, terang saja membuat semua orang yang berada di sekitar mereka tertawa dengan nyaring.
“Ihh… kak Nevan, kok gitu. Bukannya kasih pelukan, malah ngatain Lui mirip setan,” kali ini Luisa benar-benar memasang wajah manyun.
“Nggak ada yang salah dong, Lui. ‘Kan Nevan ngatain kamu mirip boneka. Tapi boneka yang suka kesurupan,” Gian pun ikut-ikutan menggoda adiknya.
“Tau ah, mendingan sama kak Zayn. Nggak nyebelin kayak kalian,” Lui pun beralih merangkul lengan kakak sepupu tertuanya tersebut. Sementara Zayn hanya tersenyum melihat tingkah adik-adiknya.
“Kok gitu. Padahal kak Nevan kangen mau peluk kamu,” Nevan pun membawa adik sepupunya tersebut ke dalam pelukannya. “Kak Nevan cuma bercanda. Kamu cantik. Sangat cantik malah. Kak Nevan kangen.”
“Lui juga kangen,” Lui memeluk Nevan dengan manja. Begitulah dia, si cantik yang selalu dimanjakan oleh seluruh keluarga.
Perhatian semua orang beralih ke arah pintu masuk ketika mendengar suara cempreng tante Vania. Wanita tersebut adalah adik bungsu dari Tuan Liam. Tante Vania datang bersama dengan suaminya Hardika Adhitama dan putranya Niko Adhitama.
“Hai semuanya. Udah pada rame aja,” suara cempreng tante Vania memenuhi seisi ruang tamu rumah tersebut. “Mana nih peran utamanya. Tante Vania kangen, mau peluk.”
“Selamat malam tante, apa kabar,” Nevan datang menghampiri tantenya. Pelukan rindu pun diberikan oleh sang tante kepada keponakan tampannya.
“Hi bro, welcome. Gimana kabar lo?” Niko menyapa sang sepupu yang menjadi aktor utama malam ini.
“As you see. Much better,” balas Nevan.
“Si kaku datang, kak,” Lui berbisik kepada Zayn sambil menatap sepupunya yang lain, Niko. Julukan abadi seorang Niko. Si tampan yang kaku.
“Walaupun kaku, dia itu tetap kakak kamu juga,” Zayn mentoel hidung Lui. “Kamu lihat karisma Niko, dia itu tetap tampan. Itu pesona seorang Niko.”
“Yups... setuju kak.”
“Ayo kita sapa Tante Vania,” ajak Zayn sambil menarik tangan Luisa yang sedari tadi sangat betah menempel padanya.
“Selamat malam Tante, Om, Niko,” Sapa Zayn kepada keluarga tantenya.
“Malam Zayn, malam Lui yang cantik,” Tante Vania memberikan pelukan kepada kedua keponakannya itu.
“Malam Kak Zayn, malam Lui,” Sapa Niko singkat. Tidak ada embel-embel apa pun. Begitulah seorang Niko.
“Grandma apa kabar?” sapa Niko dengan lembut kepada Nyonya Anna. “Niko kangen,” kini Niko memeluk grandma nya dengan manja. Jika sudah bersama Nyonya Anna, maka sikap Niko akan berubah seratus delapan puluh derajat dari biasanya. Si gunung es hanya akan mencair jika berbicara dengan wanita yang dipanggilnya dengan sebutan grandma tersebut.
“Grandma juga kangen sama kamu. Salah kamu juga sih, kenapa sangat jarang mengunjungi grandma di Sydney,” protes Nyonya Anna, karena memang dari semua cucunya hanya Niko yang jarang mengunjunginya.
“Niko sibuk grandma, maaf.”
“Apa yang membuat kamu sibuk? Kamu kan masih sekolah. Apa jangan-jangan Papa kamu masih suka memaksa kamu untuk mempelajari dunia bisnis?” pertanyaan menyelidik pun dilontarkan oleh Nyonya Anna. Karena dia tahu betul bahwa menantunya tersebut sering memaksa Niko untuk memahami bisnis di usia muda. Alasannya hanya satu, karena Niko adalah putra tunggal keturunan Adhitama.
“Grandma jangan khawatir. Papa gak maksa Niko. Emang Niko yang suka banyak belajar,” bohong Niko pada Nyonya Ana. Pada kenyataannya memang lah sang Papa selalu menuntut dirinya untuk memahami bisnis sedini mungkin.
\=\=\=\=\=\=\=
Pembicaraan penuh canda tawa pun berlangsung di ruang keluarga. Masing-masing dari mereka melepas rasa rindu pada satu sama lain. Sungguh, momen seperti ini adalah hal yang sangat membahagiakan. Mengingat sangat susahnya mengumpulkan keluarga mereka karena kesibukan masing-masing. Hanya saja, pada malam itu ada satu yang kurang, tidak adanya Nyonya Amira, ibu dari Zayn dan Nevan. Tatapan sedih terlihat dengan jelas ketika Nevan melihat sepupunya yang lain mendapat pelukan hangat dari seorang ibu. Sementara ibunya telah pergi untuk selamanya.
Zayn menyadari arti dari tatapan sang adik. Di rangkulnya pundak Nevan yang duduk si sebelahnya. “She's already happy and we should be happy too,” bisik Zayn kepada adiknya.
“I miss my mom,” Nevan berkata dengan sangat pelan dan lirih. Remaja itu rapuh.
“I know and me too.” Zayn menepuk pundak adiknya. Memberikan senyuman terbaiknya. Menenangkan sang adik, bahwa ada dia bersamanya.
Obrolan terus berlanjut. Tiba-tiba seorang gadis remaja lainnya datang ke ruang keluarga tersebut membawakan minuman dan makanan ringan lainnya untuk menemani obrolan panjang keluarga Sander.
Gadis itu adalah Haura. Dia berjalan dengan hati-hati sambil membawa nampan yang berisi jus. Tidak ada yang menarik dari gadis tersebut. Akan tetapi kesederhanaannya mampu menarik perhatian seorang Nevan.
Nevan memperhatikan dengan seksama sosok gadis yang memasuki ruangan keluarga tersebut. Tatapan nevan hanya tertuju padanya. Haura menyadari itu. Bahkan rasanya langkahnya pun sudah sangat sulit untuk di gerakkan. Dengan perlahan akhirnya dia sampai juga pada sebuah meja yang terletak di ruangan tersebut. Gadis itu meletakkan nampan yang berisi minuman.
Sesaat pandangannya tertuju pada sosok teman masa kecilnya, Nevan. Beberapa detik berlalu mereka saling menatap. Tidak ada senyuman apalagi sapaan. Hanya tatapan yang sulit untuk dipahami oleh keduanya.
Sementara Nevan terus menerka-nerka apakah gadis itu adalah seseorang yang selama ini selalu dirindukannya. Ingin bertanya, tapi tidak mungkin. Jika dia nekat bertanya, sudah pasti seluruh anggota keluarga akan berfikir yang bukan-bukan. Seorang Nevan yang menjunjung tinggi gengsi akhirnya memilih bungkam.
Tugas Haura membawakan minuman dan cemilan sudah selesai. Dia pun beranjak kembali ke dapur untuk meneruskan pekerjaannya.
Tatapan Nevan masih saja fokus pada Haura. Hingga gadis itu menghilang dari pandangannya dengan sempurna.
“Dia kan satu sekolahan bareng kita. Iya kan, Nik?” Tanya Gian pada Niko untuk menegaskan bahwa dia tidak salah orang.
“Kalau gue gak salah dia sekelas sama Luna. Cewek penerima beasiswa itu, kan?” sambung Gian lagi.
“Hmmm...” hanya deheman sebagai jawaban dari seorang Niko. Bagi Niko sudah bukan kejutan lagi melihat Haura berada di rumah tersebut. Karena sudah beberapa kali ketika Niko mengunjungi rumah itu untuk bertemu Kak Zayn, dia melihat Haura sedang melakukan beberapa pekerjaan rumah.
Niko yang memang tidak bermulut ember, tetap merahasiakan hal itu. Kak Zayn pun meminta kepadanya untuk tidak mengatakan kepada siapa pun bahwa Haura adalah putri seorang pembantu di kediaman mereka. Hal itu semua demi kebaikan Haura. Niko sangat memahami maksud dari kakak sepupunya itu.
“Jadi dia kerja di rumah ini? Kenapa aku baru tau?” Gian masih saja penasaran tentang asal muasal Haura bisa berada di rumah sepupunya itu.
“Siapa ya namanya?” Gian mencoba mengingat-ingat nama Haura. Karena Haura bukanlah siswa yang populer, maka sedikit siswa yang mengenalinya. Apalagi sekelas Gian yang merupakan idola utama di sekolahnya. Sungguh, Haura sangat jauh dari lingkaran pertemanannya. Dia mengetahui wajah Haura, karena gadis itu adalah teman dekat Luna yang berada di kelompok ekskul yang sama dengannya.
“Haura,” jawab kak Zayn singkat. Kini tatapan mata Zayn beralih menatap adiknya. Ada perubahan mimik wajah dari Nevan ketika mendengar nama Haura disebutkan olehnya.
“Ah.... Iya, Haura. Lo udah tau, Nik, kalau tuh cewek tinggal disini?” Gian masih saja penasaran tentang cerita lengkapnya.
“Gue udah tau lama.” Kini Niko menatap lekat wajah Gian, “Tapi gue nggak kayak ibu-ibu komplek kayak lo sekarang. Kepo.” Nice shoot, Niko.
“Ahahahah….” Luisa menertawakan sang kakak yang kena mental karena ucapan Niko.
“Bukan kepo, gue cuma penasaran,” Gian masih mencoba membela diri.
“Sama aja kali, kak,” Luisa ikut-ikutan mengatai sang kakak. Hal tersebut membuat Gian memilih bungkam.
“Dia Haura. Putri almarhum pak Hamzah, supir papa dulu. Ibunya, Bu Lastri adalah salah satu pembantu disini. Lebih tepatnya sejak Pak Hamzah meninggal satu tahun yang lalu. Jadi Papa mengajak mereka untuk tinggal di sini. Di paviliun belakang.” Kini Zayn buka suara untuk menjelaskan duduk perkara sebenarnya.
Lebih tepatnya penjelasan Zayn tersebut ditujukan kepada sang adik, Nevan. Dia cukup mengerti dengan tingkah laku adiknya tersebut. Sorot penasaran akan sosok Haura terlihat jelas di raut wajahnya. Sementara Gian hanya manggut-manggut tanda telah paham asal muasal seorang Haura bisa berada di rumah Om nya tersebut.
“Kakak harap kalian dapat merahasiakan tentang keadaan Haura,” pinta Zayn kepada adik-adiknya tersebut. “Kakak hanya tidak ingin dia mendapat bully-an di sekolah,” jelas Zayn lagi.
“Siap, kak,” sahut Gian sambil tangannya mengisyaratkan bahwa dia akan tutup mulut.
“Asik dong, kak, kalau emang disini ada kak Haura. Kan Lui bisa sering-sering datang kesini, ngajak main kak Haura. Lui bosan punya kakak cowok semua.” Luisa berkata dengan tulus akan keinginannya. Karena selama ini dia sangat ingin punya kakak perempuan.
“Boleh kan, kak Zayn?”
“Boleh, selama kamu gak ganggu kegiatan Haura,” jawab Zayn.
“Pasti kak.” Sungguh Luisa sangat bahagia karena Zayn mengizinkannya bermain bersama Haura. Meskipun dia belum bertanya pada Haura. Tapi Luisa sangat yakin bahwa Haura akan mau berteman dengannya.
Nevan masih memilih diam. Dia sangat bahagia ketika nama Haura disebutkan oleh Kak Zayn. Batinnya sangat bersyukur, ternyata gadis yang dia lihat kemarin benar Haura, teman masa kecilnya yang sangat ingin dia temui.
Satu hal yang Nevan khawatirkan. Dia takut Haura tidak mengenalinya lagi. Karena tidak ada sapaan atau senyuman sama sekali dari Haura untuk dirinya di pertemuan pertama mereka.
Apakah dia tidak mengingatku? Batin Nevan.
Sama halnya dengan Nevan, kini Haura juga terus memikirkan wajah asing yang dia yakini adalah Nevan. Temannya itu telah menjelma menjadi remaja yang sangat tampan. Ada rasa gelisah yang entah karena apa.
Satu hal yang Haura yakini, bahwa Nevan tidak mungkin mengingatnya. Alasan yang sama, tidak ada sapaan atau senyuman sama sekali dari Nevan untuknya di pertemuan pertama mereka.
Dia telah melupakanku? Batin Haura.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments