Teman Masa Kecil
Keluarga Sander menyambut bahagia kepulangan Nevan ke Indonesia. Remaja laki-laki tersebut kembali ke tanah air dijemput oleh sang kakak, Zayn dan ditemani juga oleh Grandma mereka, Nyonya Anna Sander.
Pelukan hangat dari Tuan Liam pun diberikan kepada Nevan sebagai sambutan atas kepulangan putra bungsunya untuk selamanya ke rumah mereka kembali. Laki-laki paruh baya tersebut tidak dapat menyembunyikan rona kebahagiaan di wajahnya.
“Welcome home, boy. Maaf karena Papa meninggalkan kamu di Sydey selama ini,” ucap Tuan Liam sembari memeluk erat putra bungsunya tersebut.
“It’s oke, Pa. Nevan ngerti,” jawab Nevan sambil membalas pelukan Papanya.
“Apa kabar, Ma?” kini pelukan Tuan Liam beralih kepada wanita senja yang masih terlihat cukup cantik. Beliau adalah Ibu dari Tuan Liam, Nyonya Anna Sander.
“Seperti kamu lihat, Mama masih cukup energik seperti tiga puluh tahun yang lalu. Bahkan Mama masih sanggup jika kau meminta untuk berlari maraton.” Sungguh selera humor wanita tersebut masih sama seperti saat usianya masih muda dulu.
Mendengar jawaban Nyonya Anna, mereka bertiga pun tertawa renyah. Grandma mereka adalah mood booster sejati.
“Zayn, antarkan adik kamu dan grandma ke kamar,” pinta Tuan Liam kepada anak sulungnya, Zayn.
"Mama dan kamu, Nevan, istirahat dulu. Nanti kita ngobrolnya." ujar Tuan Liam.
“Oke, Pa.” Zayn pun memanggil beberapa ART untuk mengantarkan Nyonya Anna ke kamar yang telah disediakan. Sementara dirinya membantu Nevan membawa beberapa barangnya menuju kamar Nevan yang terletak di lantai dua.
Ketika berjalan menuju tangga, Nevan menangkap siluet seorang gadis remaja berjalan menuju halaman belakang dengan menggunakan seragam sekolah. Dia tidak dapat melihat wajah dari gadis tersebut. Tapi Nevan cukup yakin bahwa gadis tersebut adalah seseorang yang sangat ingin dia jumpai.
“Kak...,” Nevan memanggil Zayn yang telah menapaki beberapa anak tangga.
“Iya... ada apa, Van?” tanya Zayn heran melihat arah pandangan adiknya yang melihat ke arah pintu menuju taman belakang.
“Tadi Nevan lihat....” Nevan pun menjeda sejenak apa yang akan diucapkannya.
“Kamu lihat apa?” sebenarnya Zayn tahu apa yang menjadi pusat perhatian adiknya beberapa detik yang lalu.
“Gak kak, Nevan gak lihat apa pun,” jawab remaja itu.
Sementara itu Zayn menaikkan sudut bibirnya melihat tingkah adiknya yang seperti akan menanyakan sesuatu tapi ragu-ragu. Zayn cukup mengerti perihal yang akan ditanyakan oleh Nevan. Akan tetapi dia tidak akan mengatakan apapun sampai adiknya sendiri yang meminta.
Menunggu Nevan bertanya bukanlah hal yang sebentar. Mengingat kepribadian Nevan yang cukup arogan dan gengsian, maka Zayn lebih memilih agar sang adik terus merasa penasaran akan seseorang yang sangat ingin dia temui.
\=======
Akhir pekan pun tiba. Seperti biasanya, Haura membantu ibunya menyelesaikan pekerjaan rumah tangga bersama beberapa orang asisten rumah tangga lainnya. Tidak ada akhir pekan seperti remaja-remaja lainnya, bermalas-malasan atau menghabiskan waktu bersama teman seumurannya untuk nonton, jalan-jalan di mall ataupun sekedar nongkrong di cafe-cafe kekinian. Itu semua tidak berlaku untuk akhir pekan Haura.
Meskipun tidak ada acara akhir pekan yang istimewa bersama teman-teman, tidak sedikit pun membuat gadis remaja tersebut bersedih. Justru sebaliknya, Haura merasa senang karena setiap akhir pekan dia dapat menolong meringankan pekerjaan ibunya dengan maksimal.
Pagi-pagi sekali Haura telah terlihat rapi dengan baju lengan panjang, jeans dan yang tidak pernah ketinggalan rambutnya yang di kuncir khas ekor kuda. Begitulah penampilan Haura sehari-hari. Gadis remaja tersebut tidak
pernah memakai pakaian minim. Dia sangat suka berpenampilan casual. Begitu juga dengan Bu Lastri. Wanita yang berusia pertengahan kepala empat tersebut sudah terlihat rapi. Sama seperti putrinya.
Kegiatan rutin yang selalu dilakukan oleh Bu Lastri dan Haura setiap akhir pekan adalah berbelanja kebutuhan makanan harian untuk satu minggu ke depan. Seperti biasanya, setiap berbelanja mereka selalu di temani oleh supir keluarga Sander, mang Jeje.
\=====
Di pusat perbelanjaan.
Terlihat Bu Lastri asik memilih-milih aneka sayuran, daging, buah-buahan dan bahan dapur lainnya. Haura dengan setia mengikuti ibunya sambil sesekali bertanya tentang bahan-bahan makanan yang dibeli oleh sang ibu.
“Bu, kenapa hari ini kita belanja sangat banyak,” tanyanya heran. Karena tidak seperti biasanya, hari ini ibunya membeli bahan makanan dua kali lipat lebih banyak dari biasanya.
“Iya nak, hari ini ibu akan masak banyak,” jawab bu Lastri.
“Kenapa gitu, Bu?’ tanyanya bertambah heran.
“Kan kemarin anak bungsu Tuan Liam kembali ke Indonesia. Kata Tuan Liam, anak bungsu beliau akan menetap disini. Nevan, kamu ingat dia kan?”
Haura terdiam sejenak mendengar pertanyaan dari ibunya.
“Iya, Bu. Haura ingat.” Bagaimana mungkin Haura tidak mengingat Nevan. Dalam minggu ini sudah beberapa kali dia mendengar nama itu disebutkan. Baik itu di sekolahnya maupun di rumah.
Sejak kemarin Haura sudah tahu bahwa Nevan telah tiba di rumah mereka. Oleh karena itu, sejak kemarin pula Haura mengurangi aktifitasnya di rumah utama keluarga Sander, agar dirinya tidak perlu bertemu dengan laki-laki tersebut.
“Tidak mungkin kalau kamu tidak ingat dia. Nak Nevan kan sering main sama kamu saat kalian kecil,” tambah Bu Lastri.
Haura hanya membalas dengan senyuman sebagai jawaban atas pernyataan ibunya.
“Minggu lalu Tuan Liam mengatakan bahwa Nevan akan kembali ke Indonesia. Jadi untuk menyambut kedatangannya, nanti malam akan ada acara makan malam bersama keluarga besar Sander,” jelas bu Lastri panjang lebar kepada putrinya.
“Ooo...” hanya itu jawaban yang di berikan Haura untuk menanggapi penjelasan ibunya.
“Memangnya kamu gak penasaran dengan wajah nak Nevan?” tanya Bu Lastri kepada putrinya yang sedari tadi hanya menjawab singkat ketika dirinya mengajak bicara.
“Gak, Bu. Haura gak penasaran. Lagian dia kan teman masa kecil. Sekarang kan kami udah remaja. Belum tentu juga Nevan ingat sama Haura.” Sungguh bohong jika Haura mengatakan bahwa dia sama sekali tidak penasaran dengan sosok Nevan setelah sepuluh tahun lamanya mereka tidak bertemu. Karena semenjak dia mendengar nama Nevan beberapa hari yang lalau, sungguh hatinya sangat ingin bertemu dengan teman masa kecilnya itu.
Tapi logika gadis tersebut lebih mendominasi daripada apa yang hatinya katakan. Se-ingin apa pun dia menemui Nevan, tapi cukuplah semua itu disimpan rapat dalam hatinya saja. Bahkan untuk sekedar bertanya kepada ibunya saja, tidak Haura lakukan. Cukup tahu diri. Kata itulah yang Haura yakinkan pada dirinya.
“Kalau pun dia ingat tentang kamu, kamu harus bisa menjaga jarak darinya ya, nak. Karena kamu tahu kan, Ra, status kita dan mereka berbeda,” Bu Lastri berkata dengan lembut mengingatkan putri kesayangannya itu. Sementara Haura masih terpaku seakan memikirkan sesuatu yang rumit.
“Haura, kenapa kamu melamun, nak?” tanya bu Lastri heran kenapa putrinya melamun di tempat seramai ini. Entah apa yang sedang difikirkan oleh anak gadisnya itu.
“Ehh... nggak kok Bu, Haura nggak ngelamun,” jawab haura dengan tersenyum kaku ke arah sang ibu.
“Ya udah, buruan kita pilih bahan makannya, takut kesiangan.”
“Oke... Bu,” jawab Haura sambil menampilkan senyum terbaiknya. Prosesi berburu bahan makanan pun berlanjut.
Berbagai pertanyaan hadir dalam fikiran Haura. Apakah temannya itu masih mengingatnya? Apakah mereka masih bisa berteman seperti saat mereka masih kecil dahulu? Atau apakah statusnya sebagai anak seorang pembantu di keluarga tersebut membuat jurang yang tak kasat mata antara dirinya dan Nevan akan tercipta dengan sendirinya?
Entahlah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
Widianty Rahayu
Suka suka
2022-01-19
0