Mentari pagi cukup cerah bersinar tapi tidak begitu terasa panas pagi ini. Sebagian sinarnya terhalang beberapa pohon rindang yang memberi keteduhan dan seringkali jadi tempat berlindung di kala siang matahari terik.
Di dalam sebuah bajaj, Haris terlihat mengutak-atik telepon genggam miliknya.
“Halo ... halo.” Haris coba menelpon seseorang tetapi tidak tersambung.
“Ini kenapa sih, jaringan atau apa ya? Sudah coba telepon tapi gagal terus. Cuma bunyi tulalit. Lo ke mana Van, kok nggak bisa dihubungi.” Haris bicara sendiri agak kesal.
“Kenapa bang, nggak bisa tersambung ya?” tanya supir bajaj.
“Tau nih, dari tadi nggak bisa terus," sahut Haris masih coba mengutak atik teleponnya.
“Kadang emang gitu operator. Ada juga yang nggak enaknya tuh, nelpon kagak masuk tapi pulsa kepotong. Ditambah lagi sering banget ada SMS kagak jelas, menang undianlah, minta pulsalah, macam-macam deh. Sampe bikin kesal. Heran aja, nomor nggak dikenal itu dari mana ya bisa dapat nomor kita? Harusnya operator bisa melindungi kita sebagai pelanggan, konsumen, eh ini malah jadi merasa dirugikan. Makin banyak penipuan," celoteh supir bajaj jadi curhat tanpa diminta. Awalnya cuma jawab singkat justru malah mengeluarkan unek-uneknya.
“Iya bang, sering gitu. Ini sudah berapa kali coba juga belum bisa," jelas Haris menahan kesal.
“Kalau belum bisa, coba cek pulsanya, jangan sampe kepotong, atau malah nggak ada pulsa bang," saran supir bajaj.
"Oya bang, mudah-mudahan saya nggak terlambat ya. Soalnya buru-buru nih," pinta Haris mulai panik karena takut semakin terlambat.
Tanpa banyak tanya, supir terus mengendarai bajajnya dan tiba-tiba ia menikung mendadak. Haris kaget, bahkan hampir terjungkal ke samping jika tidak segera berpegangan.
“Cepat sih cepat, tapi hati-hati juga bang," pinta Haris masih kaget.
“Hehe ... maaf bang, tadi aksi sedikit biar nggak keduluan mobil ama motor, biar nggak kejebak macet. Biar cepat sampai,” jelasnya sambil tertawa kecil melihat di spion ekspresi Haris yang kaget.
“Iya. Tapi tadi kayaknya abang udah jago, udah bisa saingan balap sama Valentino Rosi,” canda Haris untuk mengatasi rasa kagetnya tadi.
“Bisa aja nih abang. Kalau nggak mahir dan lincah ngeles rasanya kek bukan supir bajaj, iye nggak?” tanyanya sembari tawa.
Haris hanya ketawa nyengir. Setelah itu ia masukan teleponnya ke saku dan sekilas ia melihat kembali baju yang dikenakannya. Pikiran Haris melayang membayangkan seperti apa Adi saat ini, pasti ia akan marah.
“Maaf ya Di, bang Haris terpaksa lakukan karena urusan mendadak dan penting,” pikir Haris karena sempat diliputi rasa bersalah. Tapi juga rasa khawatir dan yakin Adi nanti akan marah padanya.
Tapi Haris mulai mencari alasan dan cara yang tepat untuk bisa menjelaskan nanti. Baginya saat ini ia tertolong dan bisa datang ke acara yang dianggapnya sangat penting. Walaupun ia merasa baju yang dipakai sempit dan sedikit kurang nyaman, tapi masih lebih baik daripada tidak ada sama sekali.
“Bang, ini kita ambil jalan pintas aja ya. Lewati gang sebentar. Udah dekat tuh depan sono, tapi biar nggak nunggu macet lama, ambil jalan pintas aja ya," seru supir bajaj.
“Iya, ambil jalan yang cepat," Haris membenarkan duduknya dan bersiap pegangan agar tidak terjatuh jika supir mulai beraksi balap lagi.
Bajaj kembali melaju dan belok masuk jalan kampung. Untung saja bajaj ini sudah tidak seperti bajaj lama yang bunyinya berisik mengalahkan bunyi kerumunan bebek. Bajaj biru bahan bakar gas ini bunyinya sudah lebih halus.
Haris berpegangan karena bajaj melaju cukup cepat dan jalannya lincah menghindari motor, mendahului, atau menghindari orang menyeberang. Setelah aksi singkat tersebut, akhirnya mereka sampai juga.
“Bang, berhentinya di sini aja, nggak usah persis di depan gerbang," pinta Haris seraya menyiapkan ongkos. Bajaj menepi di pinggir jalan dan Haris turun tergesa-gesa dari bajaj. Setelah menerima ongkos dan berterima kasih, sang supir bajaj berlalu pergi.
Sementara itu, di halaman SMA 007 BANGSAKU yang ada di Jakarta selatan sedang ramai, tapi bukan oleh siswa, karena siswa-siswinya semua sudah masuk kelas. Keramaian di halaman depan sekolah ini mulai dipenuhi oleh belasan orang remaja dewasa. Mereka alumni sekitar empat tahun lalu di sekolah tersebut. Beberapa di antaranya hadir bersama pasangan.
Tiga orang guru yang tidak sedang mengajar pagi ini tampak menemani alumni yang datang. Melepas rindu sekedar berbincang santai. Tapi ada juga alumni yang berpelukan histeris saat bertemu teman-teman lama dan saling menanyakan kabar.
Mereka larut terbawa euforia karena lama tidak bertemu. Memanfaatkan waktu sesempatnya karena sebentar lagi alumni satu angkatan yang mulai datang ini akan rapat pemantapan persiapan pengadaan acara reuni di sekolah tersebut. Mereka meminjam ruang aula SMA untuk rapat persiapan reuni yang akan dilaksanakan dalam waktu dekat.
Di tepi jalan, berjarak sekitar lima belas meter dari pintu gerbang, Haris mulai berjalan mendekat sambil memperhatikan keadaan sekitar. Ia melihat dan mencari keberadaan Novan karena sudah janjian akan datang bersama.
Setibanya dekat gerbang sekolah, Haris berhenti dan kembali melihat-lihat sekitar. Hampir saja ia ingin langsung masuk ke halaman sekolah, tapi seketika ia merasa ragu dan hanya mondar-mandir di depan gerbang. Dua orang satpam penjaga yang sedang berdiri di bagian dalam gerbang sekolah jadi memperhatikan dan mulai terus mengamatinya.
“Ngapain tuh anak mondar mandir kayak mesin ketik aja,” celetuk salah seorang satpam yang mengamati dari dalam pos sekolah. Tapi celetukannya tidak begitu dihiraukan teman satpam satunya karena sedang menerima panggilan telepon.
Sudah semenit lebih mondar mandir, Haris semakin ragu. Ia ingin masuk tapi takut dimarahi satpam, takut menjawab jika ditanya kenapa datang sendiri dan telat? Ia jadi teringat kenangan buruk yang sering dihukum push up karena datang terlambat, tidak disiplin. Walaupun satpam saat ini bukan satpam ketika ia masih sekolah dulu, mereka satpam yang baru masuk bekerja setahun lalu.
Sebenarnya bukan hukuman itu yang ia takuti, melainkan rasa malu karena diketahui banyak temannya. Apalagi jika diketahui oleh gadis pujaan yang diincarnya, bisa remuk dan hancur reputasinya sebagai pria.
Haris mulai bimbang dan gelisah.
“Mamamia, beta masuk saja apa tidak ini? Novan juga mana, apa dia sudah masuk duluan ya? Kenapa seng tunggu beta.” Haris bicara bercampur logat Ambon. Ia jadi bingung dan kembali coba mengintai keberadaan Novan di sekitarnya tapi tidak juga dilihatnya.
Di dalam sekolah, dari lorong depan gedung ia melihat beberapa teman alumninya mulai beranjak menuju gedung aula.
Haris makin bingung, antara memikirkan jawaban dan juga gugup dengan tatapan selidik dari satpam yang sedang bertugas meski dari jarak beberapa meter.
“Mau ikut rapat persiapan acara reuni juga ya bang?” tanya salah satu satpam. Nada bicaranya datar, tanpa senyum, sambil berdiri depan pos ketika Haris mencoba lebih dekat ke celah pintu gerbang yang sedikit terbuka dan ingin masuk ke dalam komplek sekolah.
“Eee … iii ... iya pak,” jawab Haris gugup. Tapi ia tidak mau melihat wajah satpam. Ia tidak ingin ketahuan dari ekspresi wajahnya jika ia sedang cemas dan merasa ada yang salah.
Setelah mengumpulkan keberanian dan hilangkan rasa gugup, Haris memberanikan diri untuk masuk menyusul teman almuni yang ada di dalam. Ia melangkah melewati pintu gerbang dan pos satpam untuk menuju ke arah gedung serta lapangan yang ada di sebelah dalam, tempat para alumni lain telah berkumpul.
Satpam terus memperhatikan Haris dari ujung kaki sampai ujung rambut, menatap penuh selidik. Sedangkan Haris masih tetap melangkah meski mulai grogi karena menyadari dipelototi satpam. Langkah kakinya tidak meyakinkan akibat perasaan gugup.
Tanpa banyak bicara, Haris mempercepat langkahnya dan tidak menoleh sedikit pun. Ia berharap lolos dan bisa cepat sampai di dalam menyusul teman-temannya. Beberapa sudah sempat menghubunginya semalam dan menanti untuk bertemu, melepas kerinduan, menanyakan kabar, dan berbagai hal lainnya. Haris terus coba alihkan rasa gugup dengan coba memikirkan hal lain, membayangkan betapa senangnya bertemu kembali dengan kawan lama.
Ketika Haris coba tenangkan diri untuk atasi rasa gugupnya, tiba-tiba terdengar suara teriakan.
“Berhenti!” hardik satpam yang ia lewati tadi.
Satpam itu agak berlari mendekati Haris yang mulai panik, berdiri grogi diam mematung di tempat tanpa melanjutkan langkahnya.
“Bahaya kalau ketahuan nih,” batin Haris. Menyadari situasi yang tidak diinginkan, Haris makin gugup ketika satpam mendekatinya.
@ @ @
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments
Cerita Ode
tapi mantab jadi rame 👌
2022-01-23
0
Cerita Ode
itu komentarnya kepotong ya? 🤣🤣
2022-01-23
0
M.J.M
a
2022-01-23
1