NTM : 1.3

Setelah bicara begitu, aku kembali mengalihkan pandanganku darinya. Melihat sekeliling. Memperhatikan keramaian yang ada di depan mataku saat ini.

Dan, di sebuah meja besar di sana, duduk lah para perempuan beda generasi yang terdiri; Ibuku, Tante Wina, Mbak Citra dan Fabiola sebagai anggota termuda. Para Ibu-ibu generasi tertua itu asyik berbincang dengan sesekali tertawa heboh. Sementara calon Ibu dan si gadis sibuk memasak makanan yang tersedia. Sementara di sisi lain, para pria beda generasi berkumpul; Ayah, Om Heri dan Mas Aji. Tak tahu mereka sedang membicarakan apa, tapi rasa-rasanya seperti serius sekali.

"Kenapa lo nyusul gue ke sini? Padahal bawa jagung bakar aja nggak inget gue," rutuknya dengan nada tiba-tiba.

"Kalau mau jagung, silahkan minta Fabiola. Ini dia yang kasih." Kataku menanggapi tanpa perlu repot menoleh ke arahnya.

"Oh, ya? Si Ola?"

Aku mengangguk, mengiyakan. "Heemm,"

Lalu, tiba-tiba dia terdiam. Suasana sekitar kami seketika terasa hening dan hanya terdengar keramaian dari halaman sebelah sana saja. Tempat di mana semua orang berkumpul. Aku tak menghiraukan Bian di sisiku, enggan juga berbasa-basi mencari topik obrolan dengannya.

Meski hubungan tak akrab kami terjadi beberapa tahun silam saat kami remaja, namun tetap saja bila harus merubah hubungan kami ke arah yang lebih positif, misalnya; pertemanan, sungguh terasa amat canggung. Maka lebih baik begini saja. Diam dengan urusan masing-masing. Tak terpengaruh meski keluarga kami saling terpaut.

"Heh, skripsi lo... gimana?"

Kontan, aku menoleh ke arahnya dengan jagung yang masih menempel di gigi, belum tuntas untuk kugigit. Tak ada angin atau hujan, tahu-tahu dia bertanya seperti itu. Ada apa coba?!

Namun, karena dia kelihatan heran dengan wajahku yang berekspresi demikian, aku lantas dengan cepat menetralkan ekspresiku kembali. Berusaha bersikap biasa seperti sebelumnya.

Sembari menggigit dan mengunyah aku pun menjawab, "Ya, gak gimana-gimana." Kataku acuh tak acuh.

"Progress-nya gimana? Kira-kira berapa persen lagi menuju selesai?"

"Nggak tahu." Jawabku singkat, yang seketika langsung membuatnya mendengus.

"Kenapa sih lo jawabnya ogah-ogahan gitu?! Lo kesel sama gue?!"

Seketika itu aku yang masih sibuk mengunyah sisa jagung di mulut langsung menoleh ke arahnya. Menajamkan mata, menatapnya. Aku mengamati ekspresinya baik-baik. Entah kenapa, aku malah membaca ekspresi sirat kekhawatiran dari wajahnya alih-alih mencari keributan denganku sepeti biasanya. Jadi kali ini dia serius bertanya? Bukannya sekadar basa-basi aja ya??

Aku mendengus. Setelah menghabiskan jagung bakar itu dan membuang sampah itu pada tempatnya, aku kembali menatapnya lurus-lurus. "Kenapa bisa ya, nggak ada angin atau hujan, tiba-tiba aja Fabian Samudra baik dan perhatian sama musuhnya ini?"

Kontan, Bian mengangkat alis tebalnya tinggi-tinggi ke atas. "Musuh? Siapa??"

"Gue." Aku mendengus. "Lo kan, yang pernah bilang sendiri kalau gue ini adalah orang yang paling lo nggak suka seumur hidup lo. Artinya, gue ini musuh lo kan, bukan begitu?" Lagi-lagi aku membahas cerita lama.

Yah, sepertinya dendam masa laluku pada cowok ini belum sirna ya!

Kini, Bian menatapku serius. Dia tertawa mendengus seakan menertawakan ucapanku barusan dengan cara mengejek.

Aku memutar bola mata. Padahal itu perkataannya bertahun lalu. Masa dia nggak ingat?

"Re, itu kan cerita lama. Pas kita masih SMA, masih jadi remaja labil yang belum dewasa. Dan sekarang udah berapa tahun berlalu. Kita udah sama-sama dewasa. Masa omongan remaja labil kayak gitu lo bawa sampai dewasa gini sih?!"

Kontan, ganti aku yang tertawa mendengus karenanya. Semudah itu dia berkata bahwa kalimat sadisnya itu hanyalah omongan remaja labil?! Apa dia nggak terpikir kalau bisa saja aku pernah terluka karena ucapan labilnya itu?!!

"Jadi menurut lo... omongan Fabian Samudra yang pernah gue dengar itu cuman omongan nggak penting yang baiknya segera dilupain, gitu??" Aku menatapnya lekat. Mataku bahkan tak lepas dari manik matanya yang berwarna hitam pekat itu. Namun beberapa saat kemudian, bukannya makin tersulut emosi, aku malah menemukan tatapan mata terluka dari matanya.

Tunggu, bukannya di sini aku yang teraniaya alih-alih dia? Tapi... kenapa dengan tatapan sedihnya itu?!

Aku membuang mukaku tak acuh. Tak mau banyak memikirkan tentang arti tatapan Bian tadi padaku. Bagiku, masa lalu dan kini sama saja. Sudah terlalu lama dan berkarat untuk kami memperbaiki segalanya. Apalagi dengan aku yang harus melupakan segalanya. Terlalu terlambat!

"Udah lah. Seperti kata lo, itu cerita lama. Harusnya kita nggak perlu saling singgung hal itu." Kembali, aku menatapnya. Wajahnya, bukan matanya. Aku menghela napas panjang. "Tapi, perlu gue peringatkan ke elo, tolong jangan terlalu peduli sama gue. Karena itu sangat membuat gue nggak nyaman."

Lalu, aku pergi begitu saja meninggalkannya setelah berucap demikian. Meski aku tahu, kata-kataku mungkin terlalu kasar untuk didengar. Tapi memang begitu lah kenyataannya. Aku terlalu kaku untuk mengubah keadaan. Atau tepatnya, tak mau mengubah tentang apa yang ada di antara kami sekarang.

Seperti yang sudah aku bilang. Permusuhan ini sudah terlalu berkarat untuk diubah menjadi pertemanan dengan tiba-tiba.

___________________

P.S :

Tulisan "NTM : X.X" artinya SUDAH REVISI

sedangkan "BAB X.X" artinya BELUM REVISI

Terpopuler

Comments

💃💃 H💃💃💃

💃💃 H💃💃💃

lnjut

2022-03-30

0

Lastri Gete

Lastri Gete

sepertinya bian sudah suka sama Rere dari masa sekolah...

2021-03-28

0

Tengku Nafisa

Tengku Nafisa

bian suka tapi sengaja tu dia

2020-03-01

2

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!