NTM : 0.9

Aku lantas melipat bibirku sembari mengedipkan mata yang kubuat se-innocent mungkin kala menatapnya.

Bian menyipitkan matanya tajam. Menilai diriku yang berusaha membentuk wajah polos di depannya agar tak dia salahkan. Hehe.

"Tatapan lo nggak akan mempan di gue." Ketusnya, lalu mendengus jengah. Yang membuatku meringis.

"Heh,"

Aku menoleh.

"Lo tuh kalau mau ngatain orang harusnya berkaca dulu. Padahal lo sadar juga kan, yang bawelnya sampai bikin sakit kuping di sini itu siapa?"

Aku menatapnya malas. Tahu betul aku, dia itu pura-pura bertanya saja. Setelah ini, aku yakin, dia pasti bakal menjawabnya sendiri. Hitung saja kalau nggak percaya!

Satu... dua... ti...

"Ya, elo lah!"

Betul, kan! Aku nyaris tertawa jika saja nggak berusaha kutahan. Fabian ini emang ya, musuh yang mudah banget dibaca! Ckck.

"Ssttt!! Berisik!" Aku memperingatinya agar diam.

"Jangan ngeselin!" Sekonyong-konyongnya dia menjitak kepalaku.

Kontan, aku melotot ke arahnya. "Ih, apaan sih, gak boleh nih jitak-jitak, bukan mahram kali! Gue bilangin Ayah gue lo megang-megang kepala gue!!"

"Halah, lebay amat sih lo! Orang gue juga cuman jitak bukannya ngusap!" Belanya sendiri.

"Tapi tetep aja! Kalo kayak gitu tuh--"

"Yaudah, iya, sori!" Tukasnya cepat. "Maaf, maaf. Gue minta maaf!" Katanya dengan wajah dilipat.

Dalam hati aku bersorak senang. Akhirnya aku bisa membuat wajah songongnya yang selalu marajai itu pergi dari sini. Semoga ini berlangsung lama.

"Hemm," kataku dengan wajah yang kubuat kaku sealami mungkin.

Dan kemudian, suasana mobil ini pun hening.

Tak berapa lama Bian pun memutar kemudinya dan masuk ke area sebuah tempat makan. Salah satu restoran yang menawarkan menu daging panggang dengan tema "All You Can Eat" ala asia timur.

Aku ingin berkomentar tentang resto pilihannya ini, tapi mengingat sebelumnya pernab kujawab dengan kata yang seolah kupasrahkan padanya. Maka aku hanya bisa menelan kalimatku agar kembali masuk di tenggorokkan.

Sampai kemudian kami turun dari mobil. Aku pun mengekorinya masuk ke dalam bangunan resto. Sesampainya di sebuah meja yang berada dekat pintu masuk, dia menghentikan langkahnya dan mulai bicara sesuatu dengan seorang pelayan yang sedang berjaga.

Setelah beberapa saat, tiba-tiba Bian memutar kepalanya, menatapku. "Mana duit lo?!" Tangannya langsung menodongku tanpa malu.

Kontan, aku menatapnya tak habis pikir. Heran sekaligus iba karena bisa-bisanya ada cowok yang tak tahu malu seperti ini. Cewek diajak makan bukannya dibayarin tapi malah disuruh bayar sendiri? Sumpah! Simpatiku yang tadinya masih 50% langsung anjlok seketika jadi 0%. Dan seketika itu pula aku makin ilfeel padanya!