Dijatuhkan tubuh Bara ke atas tempat tidur miliknya, sudah lama sekali kamar ini tak terisi dan kasur favorit Bara yang dulu sering menemani dirinya saat melepas lelah pulang sekolah. Entah mengapa Bara merasa jika dirinya memutuskan untuk pulang akan membuat masalah dan akan ada perselisihan antara dirinya dengan Badai.
Mata indah Bara masih menerawang langit-langit kamar sambil memorinya kembali beberapa tahun lalu, bagaimana bencinya Badai kepada dirinya saat memutuskan untuk kuliah di Belanda. Bagaimana kecewanya Badai saat Bara menolak untuk membantunya di perusahaan milik keluarga besarnya Gustiawan Saputra Putranto. Perkelahiannya dengan Badai tidak akan pernah dilupakan Bara begitu saja, apalagi saat lulus SMA Bara mendapatkan hadiah goresan pisau di bagian perut sebelah kiri bawah oleh Badai.
Pertengkaran bermula saat papanya David melarang Bara untuk mengambil kuliah kedokteran, namun Bara tetap keras kepala dengan pendiriannya ingin kuliah jurusan kedokteran mengikuti jejak Ando. Perdebatan antara papanya David dan Bara begitu panas sehingga membuat David marah besar serta mengancam untuk mengusir Bara. Tapi tekad Bara begitu bulat dan saat itu Bara memutuskan untuk pergi dari rumah, melihat perdebatan dan pertengkaran hebat antara Bara dan papanya David membuat Gladis mamanya pingsan. Badai tidak sanggup melihat sang mama terluka dan ia mencoba untuk menghentikan perselisihan itu.
Tetap saja keras kepalanya Badai membuat petaka, Badai kehilangan kontrol dan amarahnya memuncak membuat dirinya gelap mata mengambil pisau yang ada di meja makan lalu menghampiri Bara yang tengah bertengkar dengan papanya di ruang tamu. Bara mempunyai reflek yang baik, saat Badai hendak menusuknya secepat kilat dirinya mencoba menahan pisau yang hendak menyentuh kulit perutnya. Namun sayang tenaga Badai melebihi apapun juga, Bara tidak mampu membendung emosi yang sedang menguasai dirinya. Tangan kekar Bara tak mampu menahan tenaga Badai dan akhirnya pisau itu menembus kulit perut Badai. Baju Bara bersimbah darah, rasa sakit dan perih dirasakan oleh Bara saat benda tajam mengenai kulit perutnya. Saat itu Bara mendapatkan luka gores yang sedikit dalam dan membekas sampai saat ini.
..."Mengapa aku merasa asing di rumah sendiri. Mengapa aku merasa jika aku bukanlah bagian dari keluarga ini. Aku merasa jika kebencian Badai kepadaku membuatku sangat terluka dan tertekan." batin Bara berbicara sendiri....
Sepintas Bara teringat akan apa yang terlupakan olehnya sejenak, yaitu kamera DSLR miliknya yang sekarang berada di tangan Flower. Bagaimana dirinya bisa menemukan gadis yang sudah membohonginya? Kemana Bara akan mencari keberadaan Flower?
Matanya begitu terpaku menatap foto-toto yang ada di dalam kamera milik Bara, kamera yang diambilnya secara diam-diam tadi olehnya. Senyum simpul kadang terlukis di bibir Flower saat melihat begitu banyak foto yang sangat bagus berhasil diambil oleh jepretan kamera Bara. Dan betapa terkejutnya Flower melihat begitu banyak potret dirinya yang Bara ambil secara diam-diam.
Tak lama ponsel milik Flower berbunyi lagi, sudah hampir 20 panggilan tak terjawab dari Badai diabaikan olehnya. Flower masih merasa kesal kepada Badai karena sikapnya yang begitu plin-plan membuat Flower tidak ingin menemuinya lebih dulu.
Setelah mandi dan makan rasa lelah tidak juga menghampiri Bara, sebenarnya Bara berbohong kepada mamanya jika dirinya sangat lelah pasca turun dari pesawat. Ia hanya malas untuk bertemu dengan papanya saat ini pasti mereka berdua akan berdebat kembali, namun Bara sangat menyayangi papanya dan juga merasa bersalah seharusnya dirinya menjadi kebanggan papanya untuk mengurus perusahaannya bersama Badai. Untuk menghilangkan rasa cemasnya Bara memutuskan untuk menikmati suasana malam di kota ini, sudah lama sekali tidak melihat kota metropolitan tempat kelahirannya karena Topan belum juga pulang kuliah sejak tadi pagi. Katanya Topan begitu banyak tugas kuliah yang menghampirinya.
Topan adalah saudara sepupunya anak dari Ando dan Nania yang tidak lain adalah kakak dari papanya David. Topan sangat beruntung karena bisa kuliah sesuai keinginannya dan mengikuti jejak papanya, sementara tidak dengan Badai.
Sekarang kota ini banyak berubah dan sangat berbeda dengan dulu yang dilihatnya, sampai-sampai Bara lupa dengan rute jalan ke tempat yang biasa disinggahi olehnya. Tempat biasa dirinya dengan Bara dan Topan main biliar dulu, saat masih sekolah. Untung saja ada Tole yang mau mengantarnya kemana saja, jadi tinggal bilang mau ke mana Bara pergi kepada lelaki berumur 30 tahun itu. Tole adalah anak supir pribadi papanya yang sudah bekerja selama 15 tahun, namun karena ayahnya sering sakit-sakitan akhirnya Tole yang menggantikan posisinya. Lelaki itu sekarang menjadi orang kepercayaan keluarga Bara, dengan umurnya yang masih dibilang muda membuat Bara tidak canggung untuk berbincang dengannya.
"Mas Bara mau ke rumah sakit?" tanya Tole dengan logat khas jawanya yang medok dan lembut saat Bara baru saja menghampiri Tole yang sedari tadi sudah siap mengantarkan Bara.
"Nggak. Bukan ke sana, Mas Le," jawab Bara yang sudah khas sering memanggil Tole dengan sebutan Mas Lele atau Mas Le.
Walaupun Bara anak majikannya tidak membuat dirinya menghilangkan rasa sopan santun kepada yang lebih tua, Tole memang seorang supir pribadinya namun dari segi umur Tole lebih tua darinya dan memang sudah sepantasnya jika Bara menghormati orang yang lebih tua walaupun itu supir pribadinya sendiri.
"Mau kemana toh, Mas?" tanya Tole yang masih berdiri di depan mobilnya menatap Bara yang terlihat sedikit kebingungan.
"Jalan-jalan sebentar, cari angin," jawab Bara sambil membuka pintu depan sebelah kiri.
"Cari angin nanti masuk angin loh," ledek Tole sambil ikut masuk ke dalam mobil dari pintu sebelah kiri.
Bara hanya tertawa kecil tidak membalas ucapan tole sambil memaki seatbelt.
"Ingat ya, Mas Le. Jangan ke rumah sakit," ulang Bara mengingatkan sambil menatap Tole dengan lekat.
"Enggeh, Mas." angguk Tole sambil menyalakan mesin mobilnya.
Belum sempat mobil itu jalan lagi-lagi Tole bertanya kepada Bara yang sedari tadi memainkan ponsel miliknya.
"Mas Bara. Aku lupa kalau Ibu menyuruh untuk mengantarkan pakaian gantinya ke rumah sakit," kata Tole ingat akan apa yang diperintahkan Gladis kepadanya.
Seketika Bara menghentikan aktivitas memainkan ponselnya lalu menatap Tole dengan mimik wajah kecewa. Jika mereka ke rumah sakit pasti mamanya akan tahu jika Bara sedang berada bersama Tole.
"Kamu bagaimana sih, Mas Le. Jadi kita harus ke rumah sakit dulu?" tanya Bara kecewa.
Lelaki berkulit hitam manis itu terdiam sejenak sambil berpikir apa yang harus dilakukannya saat ini.
"Aku antar Mas Bara dulu baru nanti ke rumah sakit," usul Tole.
"Setuju itu," balas Bara sambil kembali memainkan ponselnya dengan santai.
Hanya menempuh jarak 30 menit Bara sampai di tempat yang dituju Bara. Tempat yang dulu sering dikunjungi bersama Badai saat masih sekolah SMA. Sebuah cafe yang tidak terlalu ramai di pinggiran kota Jakarta dengan live musiknya membuat dirinya merasa tenang dan nyaman di sana. Sepertinya cafe ini banyak berubah lebih bagus dan rapih dibandingkan dulu.
"Mas Bara mau pulang jam berapa nanti tak jemput?" tanya Tole dengan logat khas jawanya dari dalam mobil saat Bara baru saja turun.
"Nggak perlu. Aku pulang sendiri."
"Baik Mas, hati-hati. Aku pamit dulu," kata terakhir Tole yang tidak lama kemudian menutup kaca jendelanya dan pergi meninggalkan Bara.
Pasti mamanya akan marah jika tahu dirinya ada di sini dibandingkan menemui papanya yang sedang ada di rumah sakit. Tapi kali ini pikirannya sedang tidak baik karena Bara masih kesal dengan insiden kehilangan kameranya tadi. Tatapan matanya menyisir tempat itu untuk mencari tempat duduk yang pas baginya, dan ups. Tiba-tiba saja matanya Bara terpaku pada sebuah objek yang membuatnya tidak bisa melepaskan pandangan dari sana, seseorang yang dikenal olehnya sejak tadi di rumah makan. Sesekali Bara mengedipkan matanya lalu menajamkan kembali penglihatannya menatap orang itu untuk memastikan apa yang dilihatnya benar atau tidak. Setelah dilihat dengan seksama orang itu mirip sekali dengan gadis yang ditemuinya tadi di rumah makan, gadis yang sudah mengambil kamera DSLR nya.
"Dia, kan?" ucap Bara sambil menunjuk kearah Flower yang sedang duduk melamun sendirian.
Yakin dengan apa yang dilihatnya membuat Bara tertawa ringan terkesan sinis terus menatap Flower. Akhirnya tidak perlu capek-capek mencari gadis itu karena sekarang mereka dipertemukan kembali. Pasti kamera miliknya saat ini ada bersamanya. Dengan langkah pasti Bara berjalan menghampiri Flower yang sedang duduk melamun seorang diri dengan terlihat wajahnya penuh beban. Bagi Bara yang terpenting saat ini adalah mengambil kembali kameranya dan membuat perhitungan dengan Flower karena telah membohongi dirinya di toilet.
..."Ternyata kata pepatah itu benar, ya. Jika dunia itu sangat sempit. Aku nggak perlu lagi capek-capek mencari keberadaan mu, karena akhirnya kamu menunjukkan sendiri keberadaan mu. Dan sekarang saatnya aku membuat perhitungan kepadamu atas apa yang sudah kamu perbuat," gumam Bara bicara sendiri dalam hati dengan tatapannya menatap Flower sedari tadi....
Flower tidak menyadari jika seseorang sedang mengincarnya, pasti Flower akan sangat terkejut karena pertemuannya kembali dengan Bara. Belum sampai 24 jam mereka berpisah dan sekarang mereka bertemu lagi, apa ini suatu kebetulan atau memang sudah takdir yang sudah tuhan rencanakan untuk mereka berdua? Takdir yang akan membuat mereka berdua bersama tanpa mereka ketahui, takdir yang akan mengubah kehidupan mereka berdua yang awalnya saling membenci nantinya akan saling membutuhkan dan saling mencintai satu sama lain.
Visual Badai Lakuna Airlangga Putranto.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments
ziizii
lanjut ka snow
2022-02-21
1