Wajah tampannya sedari ditekuk dan begitu terlihat sangat kesal, ternyata perempuan itu telah mengerjainya apalagi sekarang kamera kesayangan Bara ada bersamanya.
"Awas kalau bertemu lagi akan aku buat perhitungan," gumam Bara bersumpah di dalam hati sambil mengepalkan kedua tangannya karena kesal.
15 menit kemudian Bara sampai di rumah keluarga Gustiawan Saputra yaitu kakeknya, memang sekarang keluarga Ando dan David tinggal bersama di sana karena Gustiawan sekarang hanya seorang diri. Ditinggal oleh istri tercinta Teresa empat tahun lalu membuat Gustiawan terpukul. Ando dan David yang awalnya mempunyai rumah masing-masing memutuskan untuk kembali tinggal bersama papanya karena pasca kehilangan Teresa, saat itu Gustiawan papanya sedikit depresi, Devi anak bungsu harus ikut Juna tinggal di Singapura.
Diseretnya koper hitam miliknya tanpa banyak bicara Bara melewati pintu yang sudah dibuka oleh salah satu pembantu tanpa satu patah kata yang keluar dari mulutnya. Rumah ini akhirnya kembali lagi setelah sekian lama pergi dari sini dan terakhir kali Bara kesini adalah satu tahun setengah lalu. Ditatapnya setiap sudut ruangan dengan seksama dan pikirannya mulai melayang mengingat akan peristiwa dirinya saat masih kecil dulu. Senyum ringan terlukis saat memory itu berhasil menghipnotisnya, Bara sangat rindu sekali akan masa-masa itu. Menjadi anak kedua dari pasangan David Airlangga Putranto dan Gladis Dwi Hadinata adalah keberuntungan baginya, tidak pernah ada kata kekurangan dalam hidupnya namun tidak membuatnya manja. Namun papanya ingin sekali dirinya menjadi seorang pengusaha seperti dirinya dan kakaknya Badai, tapi saat Bara melihat Teresa sering sakit-sakitan membuat dirinya ingin menyembuhkan dirinya dan berjanji ingin menjadi dokter. Tekadnya semakin bulat saat Teresa meninggal dunia, Bara paling sedih harus kehilangannya karena hanya Bara yang paling dekat dengan Alm Teresa. Pilihan Bara menjadi seorang dokter saat itu ditentang keras oleh David. Tidak jarang merek berdua sering berdebat bahkan David sepat mengusir Bara dari rumah dan tidak membiayai sekolahnya. Lagi-lagi karena Ando, saat itu berhasil membujuk David untuk mengajak Bara pulang namun sayang pendirian Bara tetap sama ingin menjadi seorang dokter. Merasa kecewa akhirnya David memutuskan untuk tidak membiayai sepeserpun jika putra bungsunya memilih menjadi dokter, tanpa rasa takut lelaki penyuka cup cake memilih untuk mengikuti beasiswa dan hasilnya begitu sangat mengagumkan. Bara lulus dan diterima dengan nilai sempurna di Universitas Belanda tanpa bantuan papanya. Hanya Ando yang selalu membantunya saat dirinya mengalami kesusahan karena sejak kecil Bara selalu memanggil Ando dengan sebutan Ayah. Lelaki yang sangat disayangi setelah papa, dan kakeknya. Lamunannya terpecah saat seseorang mengagetkannya yaitu Nania yang baru saja keluar dari dalam yang hendak berangkat ke rumah sakit untuk menemui Gladis yang sudah berada lebih dulu di sana.
"Bara," panggil suara itu begitu ramah dengan nada yang begitu lembut terdengar di telinga.
Deg, Bara tersadar dan langsung menatap ke arah suara itu. Bara melihat wanita setengah baya masih terlihat sedikit muda berdiri tidak jauh di hadapannya. Senyum wanita itu begitu bahagia saat melihatnya.
"Bunda," balas Bara bahagia sambil tersenyum kecil.
"Kamu baru datang? Apa kabarnya?" tanya Nania sambil menghampiri Bara dan langsung memeluknya dengan erat.
Lelaki berambut model comma membalas pelukan Nania yang dipanggil sejak dulu dengan sebutan Bunda.
"Baik, Bun. Bunda apa kabar?" Bara balik bertanya sambil melepaskan pelukannya.
"Baik. Ya ampun, kamu semakin tampan saja," puji Nania sambil matanya menjelajah wajah Bara dan tubuhnya yang tinggi tegap sedikit kurus.
Pujian Nania berhasil membuat wajah Bara begitu memerah karena malu dan Bara sesekali menundukkan kepalanya sambil tersenyum ringan karena merasa malu akan pujian Nania.
"Bunda bisa saja," kata Bara merasa segan.
"Kamu baru datang? Bunda pikir kamu langsung ke rumah sakit."
"Iya, Bun. Aku lelah jadi memutuskan untuk pulang dulu dan nanti malam aku ke rumah sakit." keluh Bara dan Nania hanya menatapnya dengan tatapan sendu.
Perjalanan yang begitu sangat panjang membuat Bara harus kehilangan sedikit staminanya, tidur di dalam pesawat terasa tidak nyaman baginya.
"Bunda mau ke rumah sakit sekarang, nanti Bunda sampaikan."
"Iya, Bun. Terimakasih."
"Kamu istirahat karena di rumah nggak ada orang. Ayahmu sedang bertugas dan Badai masih di kantor dan Topan masih kuliah."
Topan adalah anak pertama pasangan Ando dan Nania. Topan adalah teman yang paling dekat dengan Bara sejak kecil, selain menjadi saudara dan juga menjadi sahabat baik Bara karena Bara tidak pernah akur dengan Badai.
Topan juga mengikuti jejak papanya menjadi seorang dokter namun kuliah di Indonesia berbeda dengan Bara.
"Iya, Bun. Aku istirahat dulu," pamit Bara sambil melangkahkan kakinya meninggalkan Nania menuju kamarnya dulu.
Tidak ada yang berubah di rumah ini hanya saja warna catnya yang diganti dan warna gordennya sedikit terlihat begitu ceria. Langkah kaki Bara menaiki anak tangga dan melewati beberapa kamar menuju kamarnya yang berada paling ujung lantai 2. Bukan Bara namanya jika ingin menempati kamar paling ujung yang jarang terlewati oleh siapapun juga, karena Bara ingin menyendiri tanpa diganggu. Dibukanya pintu kamar bercat putih dengan perlahan dan pintu itu terbuka sedikit demi sedikit, pertama kali yang Bara lihat adalah sebuah tempat tidur miliknya yang terbalut seprai berwarna biru dengan gambar tim bola favoritnya. Sepertinya mamanya selalu mengganti dan membersihkan kamar miliknya setiap hari karena terlihat begitu sangat rapih dan wangi. Matanya mulai berkaca-kaca saat masuk ke dalam dan matanya terus memperhatikan isinya, masih sama seperti terakhir kali ditinggalkan tidak ada yang berubah sedikitpun tata letak ruangan ini. Bara merasa bersalah karena telah meninggalkan kedua orang tuanya demi cita-cita yang sangat diimpikan.
Di tempat lain Badai terlihat begitu sangat bingung saat Flower datang ke kantornya, mereka sedang membahas sesuatu yang sangat serius. Wajah Flower terus menatap Badai yang sedang duduk melamun di mejanya sambil menutup mata seakan ia mencari sebuah ide untuk memecahkan masalahnya.
"Aku belum sempat memberitahu Mama karena mereka sedang sibuk mengurus Papa yang masuk rumah sakit," jelas Badai dengan nada terdengar kebingungan.
Flower tidak kalah bingung saat tahu jika dirinya tengah hamil 8 minggu, semenjak mengetahui dirinya hamil saat itu juga Flower tidak bisa tidur nyenyak dan sering stress. Flower tidak menyangka jika dirinya hamil buah cintanya dengan Badai di luar pernikahan. Bagaimana jika keluarganya tahu pasti mereka akan marah besar karena ini adalah aib bagi kedua keluarga itu.
"Lalu sampai kapan kamu akan memberitahu mereka? Apa kamu akan memberitahu mereka saat kehamilan ini semakin membesar?" tanya Flower terlihat ketakutan.
"Aku akan segera memberitahu Papa."
"Kita harus cepat menikah untuk menyembunyikan aib ini semua."
"Apa. Menikah!" teriak Badai kaget bukan main.
Bagai petir siang bolong lelaki dengan tinggi 175 cm mendengarnya. Menikah? Itu bukan ide bagus karena dirinya belum siap untuk menjalani hubungan seperti itu, namun karena situasi seperti ini membuat dirinya terpaksa harus menikah juga dengan Flower. Kekasih yang sedang mengandung anaknya kini.
Badai Lakuna Airlangga Putranto lelaki 25 tahun dengan tinggi 175 cm dengan berat 75 kg, berkulit sawo matang, tubuh berisi, mata sedikit bulat, berambut gondrong seleher serta bulu halus yang tumbuh tipis di atas sekitar mulut dan di bawah dagu adalah putra pertama dari David Airlangga Putranto dan Gladis Dwi Hadinata hanya terpaut 2 tahun usianya dari Bara. Anak pertama dari seorang pengusaha sukses mempunyai sifat seperti David yaitu tegas, sinis, tempramen, angkuh, egois, berbanding terbalik dengan Bara. Sejak kecil Badai tidak begitu suka dengan dunia kedokteran sedangkan sang adik begitu sangat ingin menjadi seorang dokter seperti Ando. Badai sangat takut dengan salah satu peralatan medis yaitu jarum suntik, lelaki itu selalu menangis menjerit-jerit jika di sekolahannya ada imunisasi apalagi Badai begitu phobia jika mendengar suara ambulan, baginya sangat menakutkan. Maka dari itu lelaki yang mempunyai alergi telur tidak ingin menjadi dokter. Kematian neneknya Teresa membuat Badai membenci profesi mulia itu karena Ando tidak bisa menyembuhkan Teresa membuat Badai kecewa. Di sisi lain David merasa kehilangan sang ahli waris kedua perusahaannya karena Bara memilih menjadi dokter maka dari itu David menjadikan Badai CEO muda untuk mengelola perusahaan milik kakeknya Gustiawan sementara David sekarang fokus mengelola perusahannya yang telah dibangun sejak Badai kecil.
"Kenapa kamu nggak mau menikahi aku?" tanya Flower kaget saat melihat ekspresi wajah Badai.
"Jujur aku belum siap," jawabnya dengan nada kecewa.
Deg, hati Flower terasa sesak saat mendengar apa yang Badai ucapkan. Gadis berambut sebahu itu merasa kecewa kepada kekasihnya, kenapa bisa berbicara seperti itu padahal apa yang sudah diperbuatnya telah merusak masa depan Flower. Mata gadis itu berkaca-kaca menatap Badai yang duduk tepat di hadapan Flower. Flower sesekali mencoba mengatur napasnya yang begitu cepat dan sesak, sekuat tenaga menahan air mata yang mulai memenuhi pelupuk mata indahnya. Rasa kecewa kini hadir di hati Flower ternyata lelaki yang sangat dicintainya sudah tidak menyayanginya lagi.
"Kamu pikir aku siap, Hah!" bentak Flower sedikit berteriak sambil menetaskan air matanya.
Hati Flower terluka dan membuat dirinya kecewa kepada Badai. Lelaki itu kaget saat melihat kekasihnya terlihat begitu marah dan kecewa kepadanya memang tidak seharusnya berbicara seperti itu karena Flower juga belum siap akan hubungan ini. Air mata terus jatuh menetas begitu deras ke pipi gadis bermata coklat. Flower sangat membenci lelaki yang ada di depan matanya kini.
"Memangnya hanya kamu yang belum siap akan hubungan ini? Aku juga sama!" tambah Flower lagi dengan emosi yang mulai meluap dan Badai hanya terdiam.
"Memangnya hanya masa depan kamu yang hancur? Aku lebih hancur karena aku harus mengandung dan melahirkan anak ini selama 9 sembilan bulan."
Jujur Badai tidak bisa berkata apa-apa saat melihat air mata yang terus jatuh membasahi pipi Flower. Pikirannya bercabang kemana-mana. Bagaimana jika nanti kedua orang tuanya mengusir dirinya dan menghapus namanya dari tahta keluarga Airlangga Putranto? Sungguh itu tidak pernah terlintas oleh lelaki yang selalu mengenakan jas polos saat bekerja. Memang Badai tidak menyukai kemeja berwana cerah, ia sangat senang menggunakan warna hitam, putih, abu, dan navy seperti sudah menjadi ciri khasnya. Selain warna itu tidak menyukainya.
"Aku tahu itu dan bukan kamu saja yang akan kehilangan masa depan, tapi aku juga," jelas Badai mencoba menenangkan Flower yang mulai emosi.
"Lalu kamu nggak mau bertanggung jawab. Hah!"
"Aku pasti bertanggung jawab, beri aku waktu untuk memberitahu ini kepada mereka."
Kini rasa percaya Flower kepada Badai sudah sedikit berkurang, dan merasa kecewa atas ucapan Badai tadi. Tanpa pamit Flower pergi meninggalkan Badai sendirian tanpa sepatah kata. Melihat kepergian Flower, lelaki itu hanya terdiam tidak mencoba mencegah akan kepergiannya. Sepertinya mereka butuh waktu untuk sendiri dan saling menenangkan emosinya. Wajah cantiknya sedari tadi ia sembunyikan dari rambutnya yang sedikit panjang agar tidak menjadi perhatian semua karyawan Badai.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments