Sejak hari itu, pikiran ku bercabang hingga membuat tubuhku semakin kurus saja.
Selain konsentrasi pada persiapan ujian akhir, aku juga harus bekerja lebih keras untuk kami berdua, karena Arin tak mau menggunakan uang pemberian keluarga William yang ternyata berjumlah seratus juta itu.
Sedangkan kondisi Arin semakin lama semakin lemah, kupikir karena psikis lah yang memang terlalu membebaninya. Meskipun demikian, dia begitu sayang pada anak dalam rahimnya, hingga tak mau membuangnya.
Namun, Arin seakan tak peduli lagi tentang dirinya sendiri, masa depan maupun pendidikannya. Hingga akhirnya saat sekolah kami mendatangi Bu Rima di panti karena Arin hampir satu bulan tak masuk sekolah, Bu Rima memutuskan bahwa Arin untuk sementara tidak dapat melanjutkan sekolah karena kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan.
Waktu berlalu namun tak ada yang bisa memperbaiki takdir yang sedang kami jalani.
" Arin...aku bawakan bakso nih, ayo kita makan bareng mumpung masih hangat..." ucapku saat pulang dari sekolah.
Aku mencarinya dikamar dan kulihat dia masih saja berbaring dengan tatapan kosong sama seperti tadi pagi saat aku berangkat ke sekolah.
" Ayok ah makan dulu..." aku mendekati tubuh lemah itu dan menuntunnya ke meja makan.
Dengan perutnya yang semakin besar, Arin hanya diam dan bergerak sesuai arahan ku saja.
" Oh iya, besok kan jadwal periksa kandungan...udah lima bulan, jadi kita akan tahu jenis kelaminnya..." celotehku saat makan bakso bersamanya.
Arin tetap saja tak bersemangat, dan tak merespon ucapanku. Entah bagaimana perasaannya saat ini, mengapa waktu tak mampu sedikit membuatnya lupa akan penderitaannya...
Rasanya aku tak tahu lagi harus berbuat apa untuk membuat Arin lebih semangat seperti dulu. Sebenarnya ingin sekali mencari pria bernama William itu, namun aku tak sanggup meninggalkan Arin dalam waktu lama.
Aku benar-benar merasa bersalah saat Bu Rima akhirnya mengetahui kondisi Arin. Seandainya aku tak mau pindah, mungkin Arin tak akan seperti ini.
Bahkan saat bulan ke tujuh kehamilannya, menjelang malam tiba, dia terlihat kesakitan dan mengalami pendarahan. Dengan panik aku segera mencari taksi dan membawanya ke rumah sakit.
" Bu Mun, ... Arin mengalami pendarahan, aku sudah membawanya ke rumah sakit...tapi dia sudah lama masuk ruang tindakan dan belum juga keluar, aku sangat cemas Bu...." dengan perasaan kalut aku telepon Bu Muna, salah satu pengurus panti.
" Eh...benarkah? tunggulah sebentar, aku akan segera menyusul mu disana...."
" Tolong jangan bilang Bu Rima dulu ya bu..."
" Iya Ven, aku paham..."
Setelah sambungan terputus ku sandarkan tubuhku didinding ruang tunggu IGD rumah sakit itu.
Tak lama kemudian, dokter keluar dari ruang tindakan.
" Keluarga nona Arin...."
" Iya dok...saya keluarganya..."aku segera mengikuti dokter tadi ke ruangannya.
Dengan cemas, aku mulai menata hati saat dokter mulai menjelaskan kondisi Arin.
" Kondisi ibu dan bayinya tidak begitu baik, oleh karena itu sangat disarankan untuk dilakukan operasi meski umur bayi masih kurang bulan..."
" Kenapa kondisinya bisa seperti itu dok?" tanyaku.
"Kemungkinan besar kondisi ini terjadi karena kehamilan di bawah umur, ibunya juga mengalami stres berat sampai depresi atau ada penyakit bawaan..."
Harusnya aku tak terkejut, memang Arin terlihat sangat menderita batin.
" Baiklah dok, lakukan yang terbaik untuknya, saya akan membereskan administrasi nya..."
" Tapi saya harus bertemu walinya untuk tanda tangan persetujuan, karena kamu juga masih dibawah umur..."
Hhhh...karena umurku belum genap delapan belas tahun, aku masih termasuk dalam golongan anak-anak.
Saat Bu Muna datang, dia juga tak berani memutuskan, hingga kami harus menghubungi Bu Rima untuk persetujuannya. Semoga Bu Rima tak terlalu terkejut mendengar kondisi Arin sekarang.
Setelah Bu Rima datang, akupun berhambur di pelukannya dengan air mata tak mau berhenti mengalir.
" Maaf Bu, saya gagal menjaganya....saya salah Bu..." ucapku sesenggukan.
" Kita sama-sama gagal Venna....ayo kita perbaiki semuanya, kamu harus kuat ya..." sahut Bu Rima saat menuju ruang dokter.
Setelah bayi laki-laki mungil dipaksa lahir dengan prematur, kami lega karena Arin akhirnya sadar dan mengenali kami semua.
Perlahan aku mengusap lengannya, saat duduk di samping tempat tidurnya. Meski ada senyum di wajahnya yang pucat itu, aku tahu dia masih tidak baik-baik saja.
" Venna...tolong jaga anakku ya...." ucapnya lirih.
Saat itu, Bu Rima dan Bu Muna sedang kembali ke panti untuk mengambil perlengkapan bayi dan ibunya, karena saat aku mengantarnya ke rumah sakit, aku sama sekali tak memikirkan hal itu.
Aku tak menjawab ucapan sahabatku itu, hanya air mata yang meleleh dikedua sudut mataku.
" Namanya Arvano Julian Deggas...dipanggil Vano aja, biar mirip denganmu... apa kamu bersedia menganggapnya sebagai anakmu sendiri..."
" CK...tak kamu minta pun, aku akan menjaga kalian berdua Rin..."
" Tak akan sempat Ven, aku sangat lelah..."
" Kamu harus tetap semangat dong, aku akan merawatmu sampai sembuh, kita akan sama-sama mengajarinya bicara, berjalan bahkan aku akan menjadi guru les privatnya Rin... pokoknya kita berdua akan menyaksikan Vano tumbuh hingga dewasa!!!" sahutku menggebu-gebu, namun suaraku tercekat melihat tatapannya yang sayu itu.
" Terima kasih telah menjadi sahabat terbaikku...eh..kamu sudah seperti adikku sendiri, aku lebih tua dua bulan kan..." kembali lagi dia tersenyum membuatku tak kuasa menahan Isak tangisku sendiri.
Kuusap dengan kasar air mata dikedua pipiku, bagaimana pun aku harus terlihat kuat dimatanya.
" Suatu hari pertemukan dia dengan ayahnya...jika Willy tak mengakuinya..." ucapannya menggantung seperti tak tahu harus bagaimana lagi...
" Sudahlah Rin, jangan berpikir terlalu jauh...apapun yang terjadi, Vano akan tetap jadi anakku ... jadi tetaplah bersama kami..."
" Tentu saja, aku akan tetap bersama kalian Ven..." sahutnya lemah dan sepertinya dia memang sangat lelah.
" Istirahat lah... agar kamu cepat kembali pulih..."
" Hmmm...." Arin mulai memejamkan mata.
Mataku tak lepas memperhatikan wajah cantik yang telah menjadi tirus dan pucat itu. Mengapa harus terjadi padanya, padahal dia begitu baik dan tidak pernah menyakiti orang lain.
Tiba-tiba jantungku berdetak kencang saat kulihat tak ada gerakan ditubuhnya. Dengan bergetar tanganku terulur menyentuh hidungnya. Seketika tubuhku melemah tak berdaya...
Seakan terbayang di hadapanku, semua kenangan kami berdua, dari kehidupan kami yang tiba-tiba menjadi yatim piatu hingga bersama-sama merajut impian untuk sukses dimasa depan.
Kini semuanya telah pupus...ini semua gara-gara seorang pria bernama William Arnando Deggas.
Aku pasti akan menepati janjiku padamu Arin, aku akan berusaha mempertemukan Vano dengan ayahnya.
Namun aku juga akan berjuang, agar dia tak merebut Vano dariku. Aku tak mau berpisah dengan Vano, karena selama berada didekat pria kecilmu itu, aku masih merasakan kehadiranmu sahabatku...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
Wakhidah Dani
sedih. bgt ini,,
2022-01-17
1
Watini Tini
Nyesek dah...
2022-01-15
2
Tamabie Tamabie
sad....😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭
2022-01-04
3