Kini tatapan mata Lilis antusias menghadap suaminya, dengan seksama ia siap mendengarkan apa yang menjadi syarat permintaannya di kabulkan.
Dengan menarik nafas berat, Irsam mulai membuka mulut untuk berbicara. Mengungkapkan syarat yang di ajukannya.
"Syarat yang pertama. Mas bersedia menjalin hubungan dengannya selama ia pun mau menerima mas menjadi kekasih atau suaminya." Ucap Irsam dengan pelan.
"Tentu sayang... itu pasti. Aku tidak serta merta langsung meminta kalian menikah tanpa penjajakan. Kenali terlebih dahulu, pahami pribadinya, maka mas pelan-pelan akan bisa mencintainya sama seperti kita dulu lah mas. Tak kenal kan maka tak sayang, suamiku." Urai Lilis panjang lebar.
Irsam hanya menarik nafas ragu, tak percaya istrinya menyambar permintaannya dengan antusias.
"Syarat yang kedua apa mas...?" tagih Lilis mengingat syarat yang di ajukan suaminya.
"Syarat yang kedua... jika nanti pernikahan itu benar terjadi. Jangan pernah kamu menyesali rumah tangga kita yang mungkin tidak seutuh sekarang." Irsam menyampaikan dengan pelan agar tidak menyinggung perasaan istrinya.
"Insyaallah mas, aku ikhlas apapun yang terjadi dalam rumah tangga kita nanti. Bagaimanapun aku yang menginginkan ini terjadi. Aku sendiri yang memilih maduku, maka aku sangat hakul yakin bahwa kita akan selalu rukun mas." Jawab Lilis dengan senyum terkembang.
Irsam menggeryitkan kedua alisnya, mendapati sorot mata berbinar istrinya.
Dalam hatinya Irsam bermonolog. "Oh istriku, kamu belum dapat sepenuhnya membayangkan bahwa tidak akan ada lagi kata bahagia saat cinta itu menjadi segitiga, Bagaimana pun cinta bulat melingkar tak bertepi lah yang akan menjanjikan kebahagiaan sesungguhnya. Semua akan menjadi tak sama jika masa itu datang, semua tak seindah dan tak sesuai yang kamu pikirkan, sayangku." Irsam mengusap wajahnya kasar.
Irsam membentangkan kedua tangannya mengarah ke depan istrinya, meminta Lilis masuk ke dalam pelukannya.
Lilis menghambur melunak menyambut uluran tangan suaminya, mengendus manja bagai anak kucing merindukan induknya.
"Mas... setelah ini mas mulai hubungi Lamiah ya mas." Bisiknya manja pada suaminya.
Sukses membuat bibir Irsam mengangga, tatkala menyadari bahwa istrinya masih saja mengejarnya untuk segera memulai jalin cinta konyol itu.
"Apa harus secepat ini." Bisik Irsam tak kalah mesra di daun telinga istrinya sambil mengigit nakal daun telinga istrinya.
"Harus." Ucapnya sambil melepas pelukan itu, ingin mulai merajuk kembali.
Irsam tidak ingin lapar untuk kesekian kalinya. Ia merogoh kantong celananya. Lalu menyerahkan ponsel pada istrinya.
"Simpan nomornya di sini." Pinta Irsam sambil menggendong tubuh istrinya masuk ke dalam rumah, dan membawa istrinya ke lantai dua. Mendudukanya di tepi kolam renang yang terdapat di sana, di dekat ruang olah raga yang mereka miliki.
Dengan tersenyum Lilis menerima perlakuan romantis dari suaminya.
Kini mereka berada di depan hamparan kolam renang nan membiru, di lengkapi beberapa kursi ala pantai terbuat dari rotan sintetis berwarna putih bersih dengan aksen hitam di beberapa sisinya.
Di sana terdapat juga beberapa pohon dan tanaman menambah asri dan sejuk suasana di sekitar kolam buatan tersebut.
Irsam mulai menekan tombol panggilan ke nomor yang Lilis simpan di ponselnya. Dan Lilis tidak ingin beranjak dari atas pangkuan suaminya, untuk memastikan jika suaminya benar-benar menghubungi Lamiah untuk memulai semuanya.
"Assalamuaalikum. Lamiah. Ini Irsam suami Lilis sahabatmu." Ucap Irsam terbata-bata.
Hampir tidak dapat mengendalikan gemuruh di dadanya, gugup bercampur gelisah. Menyadari bahwa ia kan memulai sebuah perselingkuhan bahkan di depan istrinya sendiri.
"Walaikumsallam mas Irsam. I...iya. Apa kabar mas?" Suara tak kalah gugup terdengar mendesah di seberang sana.
"Kabar mas baik. Maaf Lamiah... mas dapat nomormu dari Lilis. Dan... dia meminta untuk mas menghubungimu." Keringat sebesar biji jagung sukses keluar dari kening seorng Irsan. Ucapannya pun tersendat-sendat bingung harus membicarakan tentang apa pada Lamiah yang selama ini hanya di kenalnya dari foto-foto yang di kirim Lilis keponselnya selama perang dingin sebulan lalu.
"Alhamdulilah jika kabar mas baik. Bagaimana dengan kabar Mbak Lilis, mas Irsam?" suara itu masih terdengar pelan, lembut dan terdengar sangat berhati-hati.
"Baik... kami semua baik di sini. Lamiah... silahkan jika ingin menjalankan sholat. Sebab di sana sekarang telah memasuki waktu magrib." Irsam ingin mengakhiri obrilan itu dengan halus.
"Subhanallah, terima kasih sudah mengingatkan mas. Baiklah, permisi sambungan telepon ini akan saya tutup. Lain waktu bisa kita lanjutkan lagi mas. Assalamualikum." pamit Lamiah dengan tata bahasa yang sangat sopan.
"Walaikumsallam. Selamat menjalankan sholat Lamiah." Tutup Irsam juga tak kalah sopan.
Lilis segera menyambar rakus bibir suaminya. Melu mat penuh naf su dan gair ah yang selama ini ia tahan dengan segenap rasa.
Pangkuan yang tadinya hanya berada di atas paha dengan keadaan lutut yang merapat, kini sudah berubah mirip sebuah kungkungann, di mana kedua kaki Lilis sekarang melingkar posesif di pinggang Irsam.
Kedua tangan Lilis berada di tengkuk ceruk leher Irsam, menekan paksa menempel pertautan bibir yang telah lama saling dahaga.
Kedua tangan Irsam bergerilya, menyusup di sela-sela kancing kemeja Lilis, meraba, mejelajah gundukan padat yang telah lama tidak ia remas, peras juga cengkram.
Keduanya terbuai dalam cumbuan saling merindu dendam. Beradu pagut yang selalu menggebu. Tidak berjeda, tidak bersela, keduanya tampak kesetanan dalam gairah tiada tara.
Kini kemaja Lilis telah teronggok lepas di lantai tepat di kaki kursi rotan sintetis itu. Sementara kaos oblong yang Irsam kenakan, bagai gerakan kilat seketika lolos melewati pucuk kepalanya.
Kepala Lilis bagai ular merayap, mendesis, memanjangkan lidahnya menjilat geram dada bidang berbulu yang telah sangat ingin di lumatnya, membuat tanda ungu kebiruan rapat di mana mana.
Irsam selalu ingin menjadi petarung yang seimbang, iapun sudah berhasil memberi banyak bercak merah keunguan pada leher jenjang istri yang sangat di gilainya.
Tangan Irsam sudah berpendar di bawah sana. Jari telunjuknya sudah bermain liar menekan, bergerak keatas kebawah, kadang menusuk dengan lembut sukses membuat basah rawa-rawa milik Istrinya.
Irsam berdiri, sebab naga peliharannya mulai tertekan akibat boko ng sintal yang beada di atasnya.
Tanpa berpikir panjang, rok bebentuk A di atas lutut Lilis segera Irsam jatuhkan kelantai, sepaket dengan kain penutup rawa yang telah basah akibat elusan, rabaan dan tusukan telunjuk nakal Irsam.
Tubuh Lilis hanya tertutup di bagian dada, memberi kesan montok dan semakin sexy saat payu dara itu terlihat kencang dalam balutan kain berenda hitam bercup itu.
Dengan sekali gerakan, Irsam menjatuhkan celana pendek serta kain segitiganya, membuat tubuh itu polos tidak berpenghalang sehelai benang pun.
Tanpa ragu Irsam lagi, menggendong tubuh istrinya mendekati tepi kolam renang. Berjalan pelan masuk kedasar kolam, menyembunyikan tubuh bugil mereka kedalam air biru buatan itu.
Beratapkan langit senja. Warna jingga keemasan sudah mulai memudar berganti dengan ungu kehitaman, memberi suasana redup, menambah khusuk kegiatan dua insan di landa rindu menggebu.
Bercumbu di dalam air, hanya riak gelombang yang bicara, jika terjadi benturan, hentakan dan gencatan senjata di dalam sana. Bahwa naga benar benar sedang mengamuk menemukan mangsa yang selama ini ia damba.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments
Sri Faujia
wekwekwek
2022-04-11
1
Suesant SW
lanjut baca aku thor😅
2022-01-05
1
Conny Radiansyah
Lamiah sepertinya wanita baik dan lembut, semoga menjadi madu Lilis adalah surganya, bukan neraka.
2021-12-22
4