"Mommy, sejak kapan perempuan gila ini bekerja di sini?" Suara Nalendra kembali menggelar.
Nyonya Aline menatap putranya tajam.
"Nalendra, sejak kapan pergaulan di luar negeri bisa merubah kamu menjadi seperti ini? Apakah teman-temanmu adalah orang-orang yang tidak mengenal etika?" Nyonya Aline tidak mau kalah.
"Berubah? Berubah bagaimana, Mommy? Aku tidak pernah merasa berubah!"
"Buktinya mulut kamu sekarang sudah kehilangan kontrol. Nggak punya rem!"
"Emang mobil kali, harus pakai rem?"
"Lebih dari sekedar harus, Nalendra Chandra, tapi wajib!" tegas ibunya. Perempuan itu berusaha membungkam mulut anaknya lewat tatapan membunuhnya.
"Buat apa kamu jauh-jauh Daddy dan Mommy kirim ke luar negeri, melanjutkan pendidikan di sana, tetapi omongan kamu seperti orang yang tidak pernah sekolah?"
"Apa pernah dari kecil sampai kamu menjadi sebesar ini, Mommy mengajarimu untuk berperilaku dan berkata-kata kasar? Memaki-maki perempuan, menyebutnya sebagai perempuan gila?" Suara sang Mommy terdengar tegas.
"Tapi perempuan ini memang benar-benar gila! Dia menabrakku di supermarket tanpa minta maaf, berjalan tidak hati-hati saat keluar dari tempat itu dan akhirnya membuatku hampir menabraknya. Apakah ini bukan perbuatan gila namanya? Aku tidak salah, kan?"
"Memangnya kamu ngapain, jalan tidak lihat-lihat, akhirnya hampir ketabrak, kan?" Pemuda itu melotot pada Laras.
"Memangnya kamu mau bunuh diri? Kalau memang mau bunuh diri, harusnya kamu ke jalanan. Jangan di depan mobilku, bikin repot saja!" Pria yang biasanya bersikap dingin dan angkuh itu tidak berhenti mengomel.
"Siapa juga yang mau bunuh diri, Tuan muda Nalendra yang terhormat?" Laras benar-benar tersulut kali ini.
Dia melupakan keberadaan Nyonya Aline di dekatnya.
"Aku ini masih waras dan otakku masih bisa berpikir. Lagi pula, untuk apa aku bunuh diri?" Laras tak mau kalah.
"Stop!" teriak Nyonya Aline. Perempuan setengah tua itu mengangkat tangan.
"Mau sampai kapan kalian terus bertengkar?"
"Kamu juga Nalendra, perempuan kok di lawan, malu-maluin saja!" Habis sudah persediaan kesabaran Nyonya Aline.
"Tapi ...." Suara lelaki itu tertahan saat melihat sang Mommy kembali mengangkat tangan.
"Nalendra!" .
"Sudahlah, ayo saling minta maaf!"
Nyonya Aline meraih tangan Nalendra dan Laras, kemudian menangkupkan telapak tangan mereka, seakan sedang bersalaman.
"Nah, begini kan bagus. Lagipula ini adalah urusan kecil. Kamu tidak rugi, Laras juga selamat, kan?" Perempuan setengah baya itu tersenyum puas.
"Untung saja dia selamat. Kalau sampai ketabrak, aku juga yang repot!" gerutu laki-laki itu. Dia memilih melenggang pergi demi menemui saudari kembarnya itu.
"Nadine pasti akan senang sekali mendapat hadiah istimewa dariku," pikir Nalendra.
"Maafkan Nalendra ya, Laras. Dia itu sebenarnya baik, tapi mungkin dia lagi ada masalah. Akhirnya melampiaskan kepadamu," jelas Nyonya Aline.
"Baik apaan? Kesan pertamaku saat melihatnya, dia itu cowok sombong, keras kepala, menyebalkan ...." Laras hanya mampu mengumpat dalam hati, saat menyadari status dirinya di rumah ini.
Dia menganggukkan kepala. "Iya, Nyonya, saya mengerti."
*****
Sembari terus menggerutu, laki-laki itu segera menaiki tangga. Langkahnya mantap menapaki anak-anak tangga dan akhirnya sampai di depan kamar adiknya.
Ya, Nadine itu adiknya, meskipun perbedaan usia mereka hanya lima menit. Nalendra lebih dulu lahir dari kembarannya.
Kamar itu tertutup rapat. Ada rasa ragu di hatinya mengetuk. Maklum, ini adalah kamar pengantin. Dia mendekatkan wajahnya ke dinding. Tak ada suara aneh, sebangsa des4han atau rintihan khas pengantin baru.
Nalendra memutuskan untuk meninggalkan tempat itu. Dia berjalan menuju balkon.
"Nadine!" seru Nalendra. Ternyata orang yang dicarinya tengah duduk di balkon sendirian.
"Ale? Kapan datang? Kok nggak bilang-bilang sama aku?" Nadine mendekati Nalendra kemudian memeluknya.
"Buat apa kasih kabar? Lagipula, ponselmu pasti di matikan, bukan? Biasa, pengantin baru!" ejek Nalendra setelah melepaskan pelukannya.
"Yeyy, siapa bilang?" Nadine mengerucutkan bibirnya. "Ponselku hidup kok!"
"Oh, ya, Nadine." Nalendra mengeluarkan sesuatu di balik bajunya.
"Ini hadiah buat kamu. Kamu pakai ya."
"Apaan nih?" Nadine berusaha mengintip isi paper bag yang baru saja diberikan oleh Nalendra."
"Buka hadiahnya nanti malam saja."
Tangannya terulur mengacak rambut adik kembarnya itu. Dia mendaratkan sebuah kecupan di kening Nadine.
"Selamat ya, atas pernikahanmu."
"Terima kasih," jawab Nadine sambil tersenyum.
Tak lama kemudian, Nalendra segera berlalu. Dia menuruni anak tangga dengan langkah cepat. Kelihatannya para tamu undangan sudah pulang, karena ruangan depan sudah terlihat sepi. Sebenarnya Nalendra ingin bertemu dengan Tuan Naufal, sang ayah. Namun, Nalendra mengurungkan niatnya.
Hari ini dia merasa sangat lelah. Perjalanan jauh dari New York ke Indonesia belum dari bandara menuju rumahnya, membuatnya sangat lelah. Agak menyesal juga karena dia menolak diantar sopir. Namun, sudahlah lelah, di tengah jalan harus berhadapan dengan perempuan yang menyebalkan pula.
Masih untung perempuan itu tidak apa-apa. Kalau seandainya terjadi apa-apa, habislah dia.
"Tapi ada yang aneh, kenapa Mommy terlihat begitu menyukai perempuan itu? Bukannya dia hanya seorang pembantu?" Pemuda itu tak habis pikir.
"Kenapa juga Mommy menegurku sekeras itu?" Dia geleng-geleng kepala.
Otaknya terus berpikir tentang berbagai kemungkinan. Dia tak sadar saat kakinya tanpa sengaja menyenggol ember tempat air yang digunakan oleh Laras untuk mengepel lantai ruang tamu.
Air meluber kemana-mana, membuat sepasang kakinya basah. Lantai yang kembali licin membuat langkahnya tertahan. Dia berusaha mempertahankan keseimbangan agar tetap bisa melangkah dengan cepat.
Malang, kakinya terpeleset. Tubuh besarnya jatuh kelantai basah dan menimpa sesosok tubuh mungil yang baru saja di raihnya demi menahan keseimbangan.
Keduanya jatuh berbarengan dengan posisi tubuh saling merangkul.
"Kamu lagi?" Lelaki itu tersentak kaget, tak kalah kagetnya dengan wanita yang berada di bawah tubuhnya.
Benar-benar sial dia hari ini. Bertabrakan tubuh di depan supermarket, hampir menabrak di jalan, sekarang mereka malah jatuh bersama di lantai, di rumah orangtuanya sendiri!
Adakah kesialan yang lebih dari ini?
Nalendra melepaskan tubuh Laras begitu saja. Dia mengibaskan tangannya kasar. Lantas berdiri dan melanjutkan melangkah menuju kamar tidurnya.
"Uhh, ada-ada saja! Sial sekali hari ini? Kenapa dia harus menjadi pembantu di sini? Wanita menyebalkan!" Lelaki itu terus mengomel sendiri sembari melepaskan bajunya yang basah. Dia menaruhnya di keranjang cucian.
"Suatu saat aku harus bikin perhitungan dengan wanita itu." Nalendra membatin.
Laki-laki itu merebahkan tubuhnya di pembaringan. Matanya sudah tidak bisa lagi diajak kompromi. Dia harus tidur sekarang.
*****
Sementara tak jauh dari tempat Nalendra dan Laras jatuh barusan, sepasang mata setajam elang memperhatikan gerak gerik mereka.
Wajahnya nampak sudah memerah. Tangan yang terkepal menahan amarah demi menyaksikan seorang lelaki mengungkung sesosok tubuh mungil di bawahnya. Terlihat sangat posesif.
Sialnya, lelaki itu tak lain adalah saudara kembar wanita yang baru saja dinikahinya.
Kenapa lelaki itu harus datang kemari dan malah dipertemukan dengan Laras?
Lantas, kenapa Laras hanya pasrah saja saat berada di bawah lelaki itu? Apakah ia menikmatinya?
Ah! Membayangkan semua itu seakan menggores luka lamanya.
"Laras! Jadi seperti ini kelakuanmu dulu di saat aku jauh darimu?"
"Dasar perempuan kotor! Murahan sekali kamu, Laras!"
.
By: Jannah Zein
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 147 Episodes
Comments
Sukliang
sendiri selingkuh nyalahin yg dak selingkuh
2022-12-20
0
SOO🍒
nalendra jodohnya laras, buat galang mantan suami laras kebakaran jenggot 😂😂😂
2022-09-28
0
Mamah
urus surat cerai galang, kan katanya perempuan murahan...
jadi ga udah kepo....
2022-09-04
0