BAB 4

"Dila, tolong ke ruangan saya." Richie menelepon Dila.

"Iya Pak?" Dila masuk perlahan. Ia merasa sedikit lemas.

"Tolong balas email pemesanan perabot yang kita pilih untuk hotel. Sekarang ya, sudah ditunggu." Richie menyerahkan beberapa lembar kertas kepada Dila. Dila mengambilnya lalu ia keluar. Dila melihat jam di dinding pukul 13.15. Ia merasa sangat lapar sekarang. Makanan terakhir yang ditelannya adalah mie instan, itupun sejak kemarin sore. Dila mencoba untuk menahannya. Ia ingin menyelesaikan pekerjaan yang diberikan atasannya dengan cepat agar dapat menyantap nasi uduk yang dibelinya tadi pagi. Teleponnya berdering lagi.

"Dila, nanti hubungi Ghea Interior ya, minta emailnya. Kamu kirim ke dia yang perabot tadi. Oh iya, sekalian rekap biaya ya, biar budgetnya bisa diajukan ke bagian keuangan." perintah Richie lagi.

"Baik Pak." Dila terduduk lemas. Dia mengambil sebuah permen di tas nya untuk mengganjal perutnya. Begitulah Richie, terkadang ia bekerja terlalu keras tanpa kenal waktu. Dan Dila, asistennya yang menjadi korban. Dila bukan tipe orang yang bisa berkata tidak untuk atasannya. Ia takut dianggap tidak profesional dalam bekerja. Lagipula ia sangat membutuhkan pekerjaan itu. Gaji yang diberikan Richie cukup lumayan. Biaya sekolah Vio tidaklah murah. Belum lagi biaya sewa rumah dan biaya hidup. Dila yang memikul semuanya. Akhirnya pekerjaan yang diberikan sudah selesai. Jam di komputer menunjukkan pukul 14.20.

"Permisi Pak, ini dokumen yang tadi. Semua sudah saya email ke Pak Richie. Ada lagi Pak?" Dila menunggu jawaban atasannya. Seketika ia melihat banyak bintang di depannya. Wajah tampan Richie pun perlahan memudar.

Richie terkejut bukan main melihat Dila pingsan tepat di depannya. Ia menepuk pipi Dila perlahan tapi itu tidak berhasil membangunkannya. Akhirnya Richie membawa Dila ke rumah sakit terdekat. Ia takut jika terjadi sesuatu ke karyawannya dan ia harus bertanggung jawab.

"Ardila Cintania." seorang perawat memanggil. Tidak ada yang bergerak di ruang tunggu itu.

"Walinya Ardila Cintania." sekarang suaranya lebih keras lagi. Richie merasa ragu, namun ia berjalan ke arah perawat itu.

"Maaf Sus, gadis yang pingsan tadi ya?" tanya Richie. Jujur ia lupa nama lengkap Dila. Tidak terlalu mengingatnya karena ia sudah terbiasa dengan nama "Dila".

"Iya Pak, silahkan masuk. Dokter sudah selesai periksa." Richie mengikutinya. Dilihatnya Dila masih terbaring namun sudah sadar. Ia tampak pucat dan sedikit berbeda. Kacamatanya terjatuh di ruangan Richie.

"Begini Pak, sepertinya Ibu Ardila terlalu capek dan kekurangan cairan di tubuhnya. Lambung dan ususnya kosong. Seperti belum mengkonsumsi makanan dalam sehari." ucap dokter muda itu ke Richie.

"Sebaiknya jika Ibu Dila tidak kuat diet jangan terlalu dipaksa ya." ucapnya lagi kali ini ke Dila. Dila pun tertunduk malu, apalagi ada Richie di sana.

Sepulang dari rumah sakit, Richie mengajaknya ke rumah makan yang ia temui pertama kali di jalan. Memesan banyak makanan.

"Makanlah." ia berkata ke Dila. Baru sekali ini ia melihat wajah Dila tanpa kaca mata.

"Apakah kamu bisa melihat tanpa kacamatamu?" tanya Richie ke Dila. Dila mengangguk. Matanya hanya minus 1 kiri dan kanan. Dila masih merasa malu untuk mengeluarkan suaranya setelah insiden pingsan karena kelaparan.

"Maaf." ucap Dila pelan sambil tertunduk malu.

"Aku yang minta maaf sudah membuatmu bekerja tanpa istirahat. Sekarang makanlah yang banyak tidak perlu diet segala. Tubuhmu sudah sekurus itu. Aku juga sudah sangat lapar." lagi-lagi mereka hanya makan dalam diam. Dila pun sebenarnya tidak sedang diet, ia hanya sedang berhemat. Tapi ia tidak mungkin jujur untuk hal yang memalukan itu.

Malam ini Richie menyalakan radio masih di dalam mobilnya. Pukul 20.17, dia telat. Temannya datang dari Jakarta dan mengajaknya makan malam bersama. Richie tidak mungkin menolaknya, apalagi dengan alasan untuk mendengar "Suara Cinta", hahaha... Mau ditaruh di mana muka Richie? Sejak kapan dia menjadi begitu melankolis? Richie mulai mendengarkan radionya, lagu masih diputar. Mungkin lagi break. Richie menunggu hingga 15 menit namun sesi tanya jawab belum juga dimulai. Hingga seorang penyiar pria berbicara.

"Itulah tadi satu tembang lagu dari Lady Gaga featuring Ariana Grande dengan Rain On Me yang sengaja Jeno putar untuk kalian yang lagi menikmati hujan di malam ini. Untuk yang baru bergabung, Jeno announce lagi ya bahwa Suara Cinta yang biasa disiarkan hari Senin hingga Jumat setiap pukul 8 malam, mohon maaf malam ini absen dulu. Kak Cinta nya sedang tidak enak badan. Jeno mau aja gantiin, tapi acaranya nanti jadi "Suara Jeno", kan ga lucu hahaha...Kita doain Cinta cepat sehat dan besok bisa bergabung lagi dengan kita. Ok, untuk request lagu selanjutnya....." Richie mematikan radionya. Tidak berniat mendengarkannya lagi. Ia pulang menuju rumahnya.

*****

"Gimana kabar kamu? Sudah baikan?" Richie bertanya ke Dila yang masuk ke ruangannya. Mengalihkan perhatiannya dari laptop ke asistennya itu.

"Ooh.. sudah lumayan pak." Dila tersenyum canggung, tidak menyangka akan mendapat pertanyaan dari bos gantengnya itu.

"Sudah sarapan?" tanya Richie lagi.

"Sudah Pak." Dila malu menjawabnya teringat kejadian kemarin.

"Bagus. Sekarang aku mau bertemu teman dari Jakarta." Richie berdiri bersiap untuk keluar kantor.

"Baik Pak, jam berapa kira-kira Bapak kembali ke kantor?" tanya Dila sambil bersiap jika disemprot bos nya yang galak itu.

"Menurutmu kenapa saya tanya kamu sudah makan atau belum?"

'Mungkin perhatian Pak' jawab Dila dalam hatinya. Tapi logikanya menjawab pasti bukan itu jawabannya. Ia hanya terdiam.

"Saya tidak mau kamu pingsan lagi saat saya ajak kamu tugas keluar. Kamu ikut saya sekarang." Richie berkata dengan mata melotot ganteng. Artinya walaupun ia melotot tapi menurut Dila itu malah menambah wibawanya. Sesuatu yang membuat Dila betah di kantor itu. Perasaan mengagumi atasannya dan hanya bisa ia simpan dalam hati tanpa seorangpun yang tahu.

"Hai Chris. Kapan sampai di Jogja?" sapa Richie sambil menjabat tangan Chris.

"Baru semalam, Bro. Aiden ada hubungi kamu kan tentang keperluan aku ke sini?" tanya Chris. Tidak biasanya Chris berpakaian rapi, setelan jas tanpa dasi. Mungkin karena ia menganggap ini pertemuan bisnis dan ingin mengimbangi penampilan Richie yang setahu Chris selalu rapi dan modis jika sedang bekerja.

"Iya, Aiden ada telepon semalam." jawab Richie.

"Oh iya, ini ada titipan Airin. Pempek buatan mama Airin. Lo tau ga Aiden cemburu banget Airin kasih ini ke lo? hahaha.. tu anak sudah nikah aja masih cemburu." Chris tertawa. Richie senang Airin tidak melupakannya walaupun hanya sebagai sahabat. Mereka membicarakan masalah pekerjaan. Chris akan memasok perlengkapan elektronik ke hotel Richie. Dila mencatat dengan cekatan semua hal penting yang mereka berdua bicarakan.

'Gila..kenapa semua orang di sekitar Bos keren semua? Hannah Fang, Ghea, dan sekarang..Chris.' Dila memperhatikan Chris yang tidak kalah tampan dari Richie. Muka Richie putih bersih, mirip aktor Korea. Namun Chris membiarkan jambangnya tumbuh halus di sekitar rahangnya, mirip aktor telenovela.

"Sudah kamu catat Dila?" tanya Richie.

"Sudah semua Pak." ingatan Dila memang hebat. Dan kemampuannya menulis cepat, itu alasan Richie suka mengajaknya ke setiap pertemuan kerja.

"Jadi kamu di Jogja berapa hari Chris?" tanya Richie.

"Lusa aku pulang." jawab Chris sambil menghisap rokoknya. Dila permisi ke toilet, ia tidak menyukai bau rokok. Sangat tidak menyukainya. Mengingatkan dia akan sosok yang sangat dibencinya. Om Bram.

"Minggu? Cepat banget. Ga jalan-jalan dulu?" tanya Richie.

"Rencana besok sih. Cuma belum ada guide." jawab Chris.

"Aku bisa menemani kamu. Tapi aku belum tahu banyak tempat wisata di sini. Aku jarang keluar hahaha.."

"Kerja terus si lo. Asisten lo orang Jogja? Minta dia aja jadi guide." ide Chris boleh juga. Richie sebenarnya bukan takut jalan berdua dengan Chris. Tapi Airin memberitahunya rahasia Chris semalam. Airin tidak mau sahabatnya terjebak nanti. Tapi ya untuk menghindari kejadian yang tidak diinginkan, maka Richie memutuskan akan mengajak...

"Dila, besok kamu jadi guide kami keliling Jogja ya." kalimat pertama yang Dila dengar ketika ia kembali dari toilet.

"Hah?" Dila bingung harus menjawab apa. Itu bukan pertanyaan dari bos nya. Itu perintah. Walaupun otaknya menolak, namun ia menjawab...

"Baik Pak." seperti biasa, ia tidak bisa menolaknya.

*****

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!