Bermingu-minggu telah berlalu sejak kelahiran Louis. Leticia sudah memberikan hadiah kepada Charlotte. Ia juga menyampaikan kegembiraannya atas kelahiran Louis. Charlotte menerimanya dengan senang hati. Leticia berusaha mengakrabkan diri dengan Charlotte tetapi ada perasaan yang mengganjal di hatinya. Mungkin karena ia masih menganggap Charlotte sebagai perebut suaminya. Namun, sebenarnya ia merasa firasat buruk apabila berteman baik dengan Charlotte.
Setelah kelahiran Louis, Braun tidak pernah sekalipun menginjakkan kaki ke istana Leticia. Saat bertemu dalam makan bersama, Braun hanya menatap Charlotte. Ia hanya menanyakan keadaan Charlotte dan Louis. Tidak pernah ia menanyakan keadaan Leticia.
Leticia merasa setitik cinta Braun kepada dirinya telah sirna. Ia sudah berusaha mendekati Braun. Namun, tidak membuahkan hasil.
Duke Hilbright datang berkunjung ke istana. Leticia menyambut ayahnya di taman istana permaisuri pertama. Judith ikut menyapa kakeknya.
"Pewaris tahta sudah lahir," kata Duke Hilbright.
"Benar, Ayah,"
"Kamu harus berusaha lebih keras untuk mendapat keturunan dan cinta kaisar lagi."
Leticia berusaha menahan perasaannya. Ayahnya sama sekali tidak memperhatikan perasaannya. Ayahnya hanya tergila-gila pada kekuasaan. Pernikahan Leticia dan Braun merupakan rencana Duke Hilbright. Memiliki menantu seorang kaisar akan mengangkat reputasi ayahnya. Hal itulah yang menyebabkan ia bertemu dengan Braun.
Dulu Leticia bersyukur dapat bertemu dengan Braun. Sekarang, ia merasa tersiksa karena tubuhnya tidak mendukung untuk melahirkan pewaris tahkta.
"Apa kamu mendengarku, Leticia?" Duke Hilbright bertanya karena Leticia masih tenggelam dalam pikirannya.
"Baik, Ayah akan saya lakukan."
Leticia berusaha menuruti permintaan ayahnya. Meskipun sebenarnya sulit, masih ada kemungkinan cinta Braun kepada dirinya akan kembali di masa depan.
"Bagaimana keseharianmu di istana, Judith," tanya Duke Hilbright kepada Judith.
"Saya sudah mulai belajar tentang tata krama, sejarah kekaisaran, dan masih banyak lagi, Kakek," jawab Judith dengan bangga.
"Baguslah, kamu harus belajar dengan agar menjadi orang hebat seperti ayahmu."
"Tentu saja, Kakek."
Kata-kata Hilbright juga dapat berarti jangan menjadi orang seperti ibumu. Tidak pernah sekalipun Duke Hilbright memuji Leticia. Judith yang masih kecil tidak mengerti arti dibalik perkataan kakeknya.
"Aku pulang dulu. Lain kali, aku akan mampir ke istana lagi."
Duke Hilbright segera menghilang dari pandangan Leticia maupun Judith. Judith berpamitan kepada ibunya untuk pergi ke kelas tata krama.
Sekarang hanya tinggal Leticia sendirian.
Ia hanya bisa bergantung pada harapan-harapan yang mungkin tidak bisa terwujud. Tanpa harapan itu mungkin ia sudah menyerah.
Leticia berjalan di taman istana untuk menyegarkan pikirannya. Sia-sia saja. Pikirannya sudah terlalu kalut.
Pada akhirnya ia berjalan ke ruangan Braun. Beberapa hari ini, Leticia melakukan hal itu dengan harapan Braun akan melihatnya. Namun, pada akhirnya Braun sibuk dengan pekerjaannya. Percakapan diantara mereka berlangsung singkat. Leticia merasa asing. Semua masa lalu mereka berdua yang indah bagaikan mimpi belaka.
Pintu ruangan kerja Braun terbuka. Kemungkinan ada tamu. Leticia ingin melihat siapa tamu yang datang. Ia terkesiap ketika mendengar suara yang ia kenal.
"Saya mohon Yang Mulia tidak lupa perjanjian kita di masa lalu." Itu adalah suara Duke Hilbright.
Ayahnya ternyata belum pulang, ia berada di ruang kerja Braun. Perjanjian apa yang mereka bicarakan?
"Tentu saja tidak, Duke. Tanpa dirimu aku tidak akan menjadi Kaisar." Suara Braun terdengar.
"Saya sudah mengotori tangan saya. Saya harap Yang Mulia menepati janji Anda," ujar Duke Hilbright dengan nada mengancam.
"Aku sudah menepati janjiku kepadamu, Duke. Aku telah menikahi putrimu dan menjadikannya permaisuri." Braun menanggapinya dengan tenang.
"Tetapi Anda mengambil putri Marquis Nien sebagai permaisuri kedua, Yang Mulia."
"Aku tidak bisa berbuat apapun tentang hal itu. Aku perlu pewaris tahta. Putrimu tidak bisa memberikannya."
"Masih ada kemungkinan Leticia bisa mengandung, Yang Mulia."
"Namun, kemungkinan itu hanya sedikit. Bisa dibilang ia mandul. Aku tidak ingin bertaruh pada sesuatu yang berkemungkinan kecil untuk kumenangkan."
"Kalau Leticia bisa melahirkan anak laki-laki, apakah Anda akan menjadikan anak tersebut sebagai Putra Mahkota, Yang Mulia?"
"Akan kupikirkan. Semua itu bergantung pada kecakapan anak itu. Itupun jika anak itu lahir."
"Terima kasih, Yang Mulia. Saya undur diri."
Leticia segera bersembunyi di persimpangan yang ada di lorong. Duke Hilbright keluar dari ruangan kerja Braun. Ia mendengus kesal. Leticia mengintip dari balik tembok. Ayahnya mulai menghilang dari pandangannya.
Kaki Leticia terasa lemas. Kakinya tidak sanggup menahan tubuhnya, ia terduduk di lantai. Ternyata Braun dan ayahnya merupakan dalang pembunuhan Kaisar sebelumnya. Ada kemungkinan penyakit yang diderita oleh mendiang Kaisar merupakan ulah Braun dan Duke Hilbright. Semua itu sudah direncanakan untuk kenaikan takhta Braun.
Lebih menyakitkan lagi, Leticia mengetahui bahwa Braun sama sekali tidak pernah mencintainya. Semua perhatian yang Braun tunjukkan kepadanya, hanyalah sebatas kewajiban memenuhi permintaan ayahnya. Ia hanya memerlukan seorang pewaris takhta yang sah tidak lebih.
Leticia bangkit. Ia berjalan dengan tatapan kosong. Semua setitik harapan yang ia pegang telah hilang. Tidak ada yang bisa ia genggam lagi. Tak ada lagi tujuan dalam hidupnya. Selamanya ia tidak pernah mendapatkan cinta sekalipun.
Para pelayan yang melihat keadaan Leticia yang menyedihkan, membicarakannya di belakang. Leticia tetap berjalan tanpa memperhatikan yang ada di sekitarnya. Tanpa ia sadari ia sudah sampai pada kamarnya.
Leticia memasuki kamarnya. Ruangan yang terasa sangat asing baginya. Mungkin ia akan berakhir di sini dengan menyedihkan, tanpa ada orang yang menangisinya. Ia sudah lelah bertahan pada sesuatu yang mustahil akan terwujud.
Ia mengambil sebuah pisau yang ada di kamarnya. Ia memperhatikan pisau itu dengan seksama. Pisau tajam yang bisa menyayat daging. Apa jadinya jika pisau itu tergores pada kulitnya yang halus? Sudah pasti akan muncul darah dari sayatan pisau itu.
Leticia menggegam pisau itu dengan kedua tangan. Menghadapkan ujung pisau tajam itu ke lehernya. Kedua tangannya gemetaran hebat. Air matanya tergenang. Dengan ini penderitaannya akan selesai.
Brakk...
Suara pintu terbuka. Leticia segera menoleh ke arah pintu. Ada seorang anak perempuan yang berdiri di sana. Tangan Leticia menjauhkan pisau dari leher, lalu menaruh pisau itu ke meja.
"Apakah ibu tidak apa-apa? Aku sudah mengetuk berkali-kali tetapi tidak ada jawaban." Judith segera mendekati Leticia.
"Apakah ibu habis menangis?" Putrinya melihat wajah Leticia dengan seksama.
"Maafkan aku masuk tiba-tiba. Aku takut ibu akan pergi meninggalkanku sendirian ke tempat yang jauh." Judith mulai menundukkan kepalanya.
Leticia memeluk putrinya dengan erat. Ia menangis dengan hebat.
"Maafkan ibu, Nak. Maafkan ibu." Leticia terus meminta maaf.
Judith ikut menangis merasakan kesedihan ibunya.
Leticia merasa seperti orang bodoh. Masih ada orang yang mencintainya. Yaitu anaknya. Dan ia berniat meninggalkan anaknya sendirian tanpa ibu.
Leticia akan selalu mendampingi putrinya yang akan semakin dewasa. Ia akan membahagiakan putrinya ini. Ia akan hidup demi putrinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 115 Episodes
Comments
Novie Achadini
hrs jadi kuat leticia
2024-11-15
1
yuliandini Eka Dwi Sampurni Sampurni
bagusass
2022-03-15
2
Rieanty
sudah tau semua nya hanya sandiwara mending pergi jauh"
bpak nya sndiri yg mnjerumuskan anak nya masuk ke neraka
2022-01-15
1