Yahya masuk ke dalam kamar barak yang sudah Ilyas tempati selama setahun ini. Ia meletakkan barang-barang di sana. Lalu menatap ke sekeliling. Mengamati bangunan shelter bongkar pasang yang terbuat dari bahan Metal. Tampak kokoh. Yahya pun membuka jendela. Namun keningnya mengerut ketika matanya menangkap tiga kepala wanita berkerudung yang sedikit menyembul dari balik tembok. Namun hanya mata dari mereka saja yang terlihat. Yahya pun menutup kembali jendela tersebut dengan cepat.
“Kenapa jendelanya di tutup?” Tegur Ilyas yang tiba-tiba muncul menenteng bungkusan dari kedai.
“Apa mereka sering memantau-mu? " Tanya Yahya dengan wajah yang menunjuk ke arah jendela. Ilyas langsung mengerti apa yang Yahya bicarakan.
“Haha.. Begitulah... Pesonaku masih bekerja dengan sangat baik” Sahut Ilyas asal. Yahya tersenyum menggelengkan kepalanya.
“Kamu bawa apa?”
“Oh ini gula dan teh, bawaan kita nanti untuk pak Keuchik. Nanti malam kan mereka akan menjamu kamu!” Sahut Ilyas.
"Kenapa harus gula dan teh?"
"Adat. Setahun di sini aku seolah menyatu dengan kebiasaan mereka"
"Haha Kau benar-benar pintar beradaptasi, Yas! Salut" Yahya mengacungkan jempol nya.
"Hmh... Baiklah, selagi ada waktu kosong aku ingin melihat-lihat keadaan di desa ini"
"Kau tak ingin beristirahat dulu? Maaf, aku ada rapat di balai desa! Tapi Ga lama, cuma sejam. Setelah itu aku akan membawamu berkeliling. Bagaimana?" Tawar Ilyas.
"Nope. Ga masalah. Aku bisa pergi sendiri. Nanti aku akan memberitahukan-mu dimana posisiku berada. Kau bisa menjemputku di sana setelah rapat! "
***
Yahya keluar dari kamar membawa sebuah ransel berisikan camera mirrorless, tripod dan dompet. Ilyas meminjamkan motor miliknya untuk mempermudah Yahya berkeliling santai. Pemuda ini memakai kemeja lengan panjang untuk menghindarkan kulitnya dari sengatan matahari.
Yahya mengambil helm dari atas motor. Seketika Ia menyadari sesuatu. Beberapa pasang mata kembali mengamatinya. Namun pemuda ini memilih untuk tidak peduli. Ia mulai mengidupkan mesin lalu melajukan motornya.
“Abang itu siapa sih?”
“Sepertinya teman ustadz Ilyas. Kata Ayah, beliau akan menjamunya nanti malam. Sekarang aku akan kembali ke rumah untuk membantu Mamak menyiapkan makanan” Ucap anak pak Keuchik. Ekor matanya masih melihat punggung Yahya yang semakin menjauh hingga tak terlihat. Ia dan teman-temannya baru pulang dari warung kelontong membeli beberapa keperluan.
“Rani,, Beruntungnya kamu.. Berarti nanti malam juga ada Ustadz Ilyas dong!” Seru temannya berbinar.
“Kalau ada ustadz Ilyas memangnya kenapa?”
“Kamu berkesempatan mencari perhatiannya…”
“Jangan mimpi! Ustadz Ilyas itu sukanya sama Iqlima.. Bukan sama kamu atau aku!"
“Ha? Siapa bilang?” Sahut yang lain.
“Aku bisa lihat dari sorot mata beliau” Sahut Rani sendu. Suasana hatinya berubah.
“Mm..mana mungkin sekelas ustadz Ilyas tertarik sama Iqlima! Apa sih kelebihan Iqlima itu?!” Temannya Rani mulai meninggikan suara tak terima.
“Sudah ah, mau pulang. Jangan ghibah! Aku jalan duluan ya... Buru-buru.. Assalamu’alaikum” Rani langsung melesat berjalan cepat meninggalkan teman-teman nya yang tercengang.
***
Yahya melajukan motornya dengan kecepatan lamban 40-45 km/jam. Pemuda ini benar-benar menikmati suasana pedesaan. Padahal di siang hari ini matahari terasa sangat terik menyengat.
Yahya menepikan motornya, menjepret beberapa gambar yang dianggapnya menarik. Ia melihat beberapa ibu-ibu dibantu oleh anak gadisnya tengah menjemur biji Kakao (biji coklat) di halaman rumah. Sebagian dari mereka mengupas kulit pinang. Sebagian yang lain menjemur padi yang baru saja usai dipanen.
Setelah berhasil mendapatkan beberapa gambar, Yahya kembali meneruskan perjalanannya. Ia melihat di desa ini terdapat begitu banyak kedai kopi yang menyebar di beberapa sudut. Pelanggan nya kebanyakan laki-laki paruh baya. Menurut penuturan salah satu warga, kedai kopi merupakan salah satu sarana silaturahim di Aceh. Mereka akan saling bertukar informasi terkini di sana. Jadi jangan heran kalau kedai kopi menyebar di begitu banyak titik.
Yahya membawa motor sambil mengerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Ia semakin larut menikmati kegiatan para warga yang tampak Harmoni. Sampai tiba-tiba matanya menangkap sebuah kegaduhan. Seorang kakek yang berlutut dengan seorang gadis muda menangis disebelahnya. Yahya memperlambat laju motornya. Ia melihat sekilas dengan tetap terus berjalan berusaha untuk tidak peduli.
“Ya Rabb… Kalau begini kakek mempermalukan Iqlima. Ima malu kek… Hiks Hiks… Ima maluu… Ayo kita pulang… Ima mohoon” Sayup-sayup suara gadis muda itu terdengar.
Mendengar suara seperti mengiba memanggil nurani Yahya untuk menghentikan motor yang sudah 20 meter meninggalkan lokasi. Ia memutar-balikkan motornya. Membuka kaca helm yang ia kenakan.
“Mbak mbak…”
“Ya?”
“Itu ada ribut-ribut apa ya? Kok ga ada yang bantu melerai?” Tanya Yahya heran pada salah satu warga yang melewatinya.
“Oh itu... Kakek yang sedang berlutut itu meminta pada tuan rumah untuk mau menerima cucunya sebagai menantu. Tapi tuan rumah menolak mentah-mentah. Ah, Kakeknya memang begitu, suka menawarkan cucu yatim piatunya pada laki-laki mana saja agar mau dinikahi. Pemandangan begitu sudah biasa bang! Sudah ga heran lagi. Kalau dibantu, nanti kakeknya malah marah dan memukul pakai tongkat. Jadi warga sudah tidak ingin berurusan dengan kakek itu. Kakeknya sendiri sudah agak pikun! Sering kumat!” Terang warga bergidik. Yahya terenyak.
“Kek, ayo kek… Hiks hiks…” Iqlima masih mengiba. Sayang, Kakek tidak juga beranjak dari tempatnya.
“Diam!! Kamu mau jadi perawan tua yang tidak laku?! Betoi-betoi Aneuk bangai, Hana tusoe droe (Benar-benar anak dungu tidak tau diri)! Huk Huk Huk” Bentak kakek dengan suara keras. Yahya bisa melihat ada darah yang mengalir dari kaki sang kakek. Sepertinya beliau berjalan jauh tanpa menggunakan alas.
“Iya, Tapi kita pulang dulu kek,,,” Iqlima mengusap airmata yang berhamburan. Hatinya terasa sakit Tapi ia tidak punya pilihan. Tangannya mencoba menarik lengan kakek agar mau beranjak. Apa daya, kakek tetap bersikukuh berlutut.
“Pulanglah kek, sudah saya katakan.. Iqlima tidak pantas untuk Hilman. Seribu wanita seperti Iqlima mampu Hilman dapatkan. Sebaiknya kakek pulang saja!” Ucap Ampon Din. Tangannya menunjuk ke arah jalan mengusir dengan angkuh sambil merendahkan Iqlima.
Entah mengapa melihat apa yang terjadi hati Yahya merasa iba. Pemuda tersebut melangkah mendekati mereka. Ia mengambil sapu tangan dari kantong celananya.
“Maaf ya kek!” Ucap Yahya.Ia hendak mengikatkan sapu tangannya ke kaki kakek yang mengeluarkan darah. Namun Kaki tersebut terlihat hitam. Sudah kapalan dan kotor terkena sapuan tanah secara terus menerus. Tanpa ada rasa jijik, Yahya sedikit membersihkannya sebelum mengikatkan sapu tangan tersebut. Iqlima dan warga desa terenyak.
“Sss siapa kamu?!” Bentak kakek terbata.
Plakkkk.
Kakek mengayunkan tongkat kayunya memukul lengan Yahya dengan kekuatan penuh.
“Awwww” Iqlima dan para gadis di sana memekik ngilu. Namun pemuda ini masih bergeming santai. Ia masih saja meneruskan aktifitasnya membalutkan sapu tangan ke kaki kakek yang terluka. Lalu Yahya mendekatkan wajahnya, membisikkan sesuatu ke telinga kakek. Orang tua tersebut tersenyum dan tampak melunak seketika.
Tak menunggu lebih lama, tangan kekar Yahya langsung mengangkat tubuh kakek ala bridal, lalu mendudukkan orang tua tersebut ke atas motor dan memegangnya. Iqlima dan segenap warga yang menyaksikan, mematung melihat aksi Yahya.
“Halo.. Kamu cucunya kan? Dimana rumah sakit terdekat? Kaki ini bisa infeksi jika tidak diobati” Tanya Yahya tiba-tiba.
“Eh ya… Hmh Di desa ini ada nya hanya puskesmas. Lurus saja ke sana. Kurang lebih 500 meter belok kanan, lalu bapak akan menemukan perempatan, di perempatan itu belok ke kiri. Jalan terus sampai 300 meter lagi, kalau menemukan sebuah pohon asam yang besar, belok lagi ke kanan. Nanti bapak akan melihat persawahan. Lalu….”
“Ah sudah sudah! Ribet! Kamu naik saja ke atas motor, pegang kakekmu. Tunjukkan dimana puskesmasnya!” Titah Yahya. Lalu ia naik ke atas motor. Sadar bangkunya sempit, Yahya pun beringsut ke depan memberikan jarak yang lebih lapang untuk penumpang. Dalam hati Yahya memohon agar Allah berkenan memudahkan mereka.
Menumpangkan dua orang dalam keadaan darurat, Yahya membawa motornya perlahan. Meninggalkan Ampon Din, dan warga desa yang tadinya hanya menonton Iqlima tanpa melakukan apapun. Merekahanya melihat seperti menyaksikan sebuah pertunjukkan.
“Aku belum pernah melihat pemuda itu. Siapa dia?” Bisik seorang gadis dengan mata berbinar. Dalam diam, Mereka seperti menemukan seorang idola baru.
***
Puskesmas Krueng Lamkareung
Yahya mengambil kursi roda dan membawa kakek ke dalam ruangan dokter setelah Iqlima selesai melakukan pendaftaran.
"Bagaimana dok? " Tanya Yahya pada dokter umum yang bertugas.
"Melihat lukanya, Saya harus merujuk bapak ini ke rumah sakit Umum Zainal Abidin, Banda Aceh. Sebab saya menemukan tanda-tanda adanya gula darah yang tinggi. Kita harus memeriksakan darah beliau ke Lab. Dikhawatirkan beliau memiliki Diabetes" Terang dokter.
"Saya minta surat rujukannya dok! Saya akan membawa kakek saya ke sana! " Ucap Iqlima cepat. Hatinya berubah tidak karuan. Dokter mengangguk.
"Sebentar, Aku akan menelpon teman ku untuk membawa mobil ke sini! Kita akan membawa kakek bersama" Tawar Yahya.
"Tidak usah pak! Di depan sini banyak becak. Saya bisa menyetop nya. Maaf sudah sangat merepotkan. Terima kasih banyak. Hanya Allah yang mampu membalas semua kebaikan bapak! " Sahut Iqlima. Ia menggerakkan kepala ke bawah tanda hormat. Yahya berpikir sejenak.
"Hmh baiklah... kalau memang begitu yang kamu inginkan. Aku permisi! "
"Tu...Tunggu! "
"Ya? " Yahya menoleh.
"Boleh tau siapa nama bapak? "
Yahya mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya.
"Ini kartu namaku. Kalau butuh bantuan, hubungi saja aku di nomor tersebut! " Yahya menyodorkan kartu namanya. Iqlima membaca nama yang tertera di sana. Yahya El Fawwaz Zakaria. Gumamnya pelan.
Yahya berbalik.
"Ah... Hmh satu lagi... Panggil saya Yahya atau Mas Yahya. Saya masih cukup muda untuk di sebut bapak! Okay, dik Iqlima?"
Ragu-ragu, perlahan Iqlima mengangguk. Kali ini Yahya benar-benar berbalik. Bergerak menjauh meninggalkan Iqlima yang terpana. Gadis ini dengan cepat mengejar, Ia mengintip Yahya dari balik jendela Puskesmas. Yahya tampak mempesona dengan motor matic-nya.
***
Yuk Dukung karya ini dengan Like, Komen, Vote dan berikan hadiahnya... Terima kasih 😇😇😇
IG: @alana.alisha
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 139 Episodes
Comments
Mey-mey89
suka sm karakter rani . .
2022-11-24
1
Dini Junghuni
ihhiiirrrrrr
tersepona kah dirimu iqlima dgn pesona yahya?
hehe
2022-05-05
1
Black Swan 🖤
hm
2022-04-01
1