"Mengapa kau diam, Lun? Bagaimana keadaan Giselle?"
Luna menghela napasnya dalam-dalam, sejenak memikirkan cara yang tepat untuk menyampaikan kepada Gio.
"Giselle baik-baik aja, Gi. Dia sudah sudah tenang sekarang," jawab Luna pelan.
Gio menatap Luna lekat-lekat, mencoba mengartikan ucapan Luna yang mengatakan Giselle sudah tenang.
"Apa maksudmu Giselle sudah ...." Gio bahkan itu tidak sanggup untuk menyelesaikan pertanyaannya.
Dan satu anggukan pelan dari Luna, membuat Gio tahu tebakannya benar.
Gio memejamkan mata, dia merasa sangat berdosa karena tidak becus melindungi Giselle.
Sekarang gadis malang itu sudah pergi, sebelum dia berani menurunkan ego untuk meminta maaf, karena telah mengabaikan Giselle selama ini.
Egoisme yang membuat Gio menjauhi Giselle, padahal dia sendiri tahu gadis itu tidak bersalah. Selama ini Gio hanya mengingat lukanya sendiri, pikirannya terus menyalahkan Giselle. Karena dulu gadis itu terlalu meninggikan harga diri, sehingga tidak mau meminta bantuan darinya, yang akhirnya harus berakhir dengan mala-petaka.
Sekarang Gio lah yang menyesal, karena dia sendiri pun terlalu keras. Bahkan dia sekarang sudah tidak memiliki kesempatan untuk meminta maaf secara langsung.
Ingin rasanya Gio mengamuk, melampiaskan penyesalannya pada apa pun. Tapi apa daya, dia hanya bisa mengutuk tubuh sampahnya yang tidak berguna, tubuh itu sama sekali tidak bisa ia gerakkan.
Sesaat kemudian tim dokter datang, untuk memeriksa keadaan Gio. Luna memandangi dengan prihatin, pria yang sebelumnya tampan dan gagah itu, sekarang terbaring lemah tidak berdaya.
Luna melangkah menuju bed mommy Delia yang kini sudah terbangun.
"Kamu pulang saja, Lun. Kamu juga butuh istirahat," suruh mommy delia.
"Iya, Onty, setelah ini," sahut Luna. "Onty, bagaimana dengan penanganan kasus Julian, dan korban di kedua belah pihak?"
Mommy Delia tersenyum tipis. "Tenang saja, Lun. Mudah bagi kak Brian dan daddynya Gio untuk mengurus semua itu, tidak akan ada masalah. Dan mereka juga akan membuat Julian mati secara perlahan." jawab mommy Delia yang sorot matanya masih memancarkan dendam.
Luna bernapas lega, setelah itu dia kembali menemani Gio untuk berberapa saat, sebelum akhirnya pamit pulang.
***
Seminggu kemudian.
Kantor paraside fashion.
Rara memasuki ruangannya, dan milihat Luna yang murung, wajah sahabat itu tampak sangat tertekan.
Rara duduk di depan Luna, lalu menatap sahabatnya itu lekat-lekat. "Sekarang kau sudah sadar bahwa Gio itu berarti untukmu?"
"Iya, Ra." Luna mengangguk pelan.
Rara tersenyum sarkas. "Huh, sepuluh tahun kita berteman, tidak ada yang mampu mengubah pendirian seorang Luna. Tapi ternyata Gio mampu melakukannya."
Luna menggelengkan kepala, sebagai bantahan dari pernyataan Rara. "Tidak ada yang berubah dariku, Ra. Kecuali kenyataan bahwa Gio sudah begitu berarti untukku jauh sebelum kejadian ini. Bahkan dia sudah memiliki tempat di hatiku, jauh sebelum kami bertemu di pesta pernikahanmu."
"Hah?" Rara menautkan kedua alis matanya.
"Dia juga terlibat membantu kehidupanku di masa lalu, Ra. Ingat saat kita masih kuliah, dan aku bersembunyi di apartemenmu?"
"Iya, kau dikejar-kejar Julian, dan tiba-tiba saja pria bajingan itu masuk penjara," sahut Rara.
"Itu Gio yang memenjarakannya, karena masalah Giselle. Jadi secara tidak langsung Gio sudah membantuku bebas, sehingga aku bisa melanjutkan kuliah," sambung Luna.
Luna kembali menambahkan. "Belum lagi kisah cinta pertamaku yang pernah aku ceritakan padamu, yang ter ...."
"Jangan bilang itu Gio juga!" Rara memotong ucapan Luna.
Luna tersenyum geli, lalu menganggukkan kepala. "Dua kembar identik itu membuatku beberapa kali salah mengenali orang!"
Rara menghela napas panjang setelah mengetahui kenyataannya. Dia berdiri dari tempat duduknya lantas beralih ke meja kerjanya sendiri, lalu mulai disibukkan dengan tugasnya.
"Oh, ya, Ra. Untuk rencana akuisisi BC Group di Madrid, kapan rencananya?" Luna memecah keheningan saat mereka sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
"Harusnya sih dalam minggu ini, kenapa Lun?"
"Ehmm, sepertinya aku tidak bisa ikut, Ra. Aku ingin menemani Gio di sini, aku ingin terus mensupportnya, dan semoga saja penyembuhannya bisa menjadi lebih cepat," jawab Luna.
"Tidak masalah, Lun. Nanti aku bisa meminta suamiku untuk menemani, sekalian kami bisa berbulan madu," ujar Rara sambil menyeringai penuh maksud.
Luna menaikkan bibir atasnya, entah mengapa sahabatnya itu menjadi agak mesum setelah menikah.
"Bulan madu apanya? Anakmu itu sudah besar!" cibir Luna.
"Itu tidak masalah, Lun. Bahkan pasangan yang tua sekalipun, masih sering pergi berbulan madu. Lagi pula Rio tidak akan ikut, dia baru saja berangkat ke N.Y bersama oma dan opanya tadi pagi," balas Rara.
Luna menggidikkan bahunya, entah seperti apa rasanya menikah, dia sendiri belum tahu. Jika nanti dia akan menikah, pasti Gio adalah pria yang akan menjadi suaminya. Hanya saja sekarang, sikap pria itu kepada Luna menjadi sedikit berubah, setelah musibah yang menimpanya.
Gio yang sekarang agak dingin, tidak ada lagi senyuman hangat darinya saat melihat Luna. Tapi Luna yakin semua ini hanya sementara, mungkin Gio menjadi seperti itu karena depresi dengan kondisi tubuhnya, pikir Luna.
Luna melirik jam di tangannya yang sudah mendekati tengah hari, dia buru-buru merapikan meja kerjanya, karena hendak pergi ke rumah sakit.
"Ra, aku ke rumah sakit dulu," pamit Luna yang diiyakan Rara.
***
Luna tiba di rumah sakit dengan menenteng kantong belanjaan, tadi dia sempat mampir untuk membelikan makan siang untuk Gio.
"Lun, kebetulan kamu datang. Onty titip Gio, ya. Onty harus pulang sebentar." Mommy Delia langsung berdiri saat melihat kedatangan Luna.
"Iya, Onty, biar aku yang menemani Gio," sahut Luna.
Mommy Delia meraih tasnya, lalu beranjak pergi dari sana setelah berpamitan.
Luna mendekat ke brankar Gio.
"Hai, Gi. Bagaimana kabarmu?" sapanya sembari mengembangkan senyum termanisnya.
"Seperti yang kau lihat, aku sudah mulai membaik, dan tanganku sedikt-sedikit sudah mulai bisa digerakkan. Kata dokter dua hari lagi aku sudah boleh pulang," sahut Gio tanpa ekspresi.
"Aku membawakan makanan untukmu," ujar Luna, lalu manaikkan posisi brankar Gio, membuat posisinya setengah duduk.
"Kamu makan dulu, ya. Aku suapin." Luna membuka bingkisan yang dibawanya.
"Aku belum mau makan, Lun. Nanti saja setelah mommyku kembali. Kau letakan saja di situ makanannya," tolak Gio.
Luna berbalik badan, seraya tersenyum tulus menatap Gio. Dia tidak ingin menyerah dengan penolakan tersebut.
"Ayolah, Gi. Kau harus makan, ya. Ini sudah siang, terlalu lama jika harus menunggu Onty, yang mungkin baru akan kembali satu atau dua jam lagi," bujuk Luna seraya mendudukkan diri di depan Gio.
"Aku tidak mau, Lun!" Gio kembali menegaskan penolakannya.
Selama dia sakit, Gio memang selalu menolak segala bentuk perhatian dari Luna. Kondisinya memang menyedihkan, tapi dia tidak butuh belas-kasihan dari orang lain, termasuk Luna. Apalagi Gio merasa sikap empati yang ditunjukkan Luna, hanyalah wujud dari rasa iba gadis itu, karena kondisinya yang seperti mayat hidup.
"Makan ya, Gi. Sedi ... kit, saja, please!" bujuk Luna seraya menyodorkan suapannya.
"Kalau aku bilang tidak, ya tidak, Luna! Jangan memaksa!"
Bersambung.
Jangan lupa terus berikan like dan komentar sebagai dukungan, ya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments
Maia Mayong
kmrn gio ngejar2 luna . skrg gntian luna yg brusha mndekti gio . jlz gio mnolak ,, krn memg g mw dksihani krn kondisi gio
2022-07-25
1
Hilma Wenni Intan
kllllll
l
ll
l
l
l
l
l
2022-06-18
0
Jasmine
cerita luna masa lalu ketika kalian msh kecil biar gio tahu sebenarnya bhwa cintanya ternyata selama ini berbalas
2022-06-17
0