“Mbak, Pak Hari belum pulang ya?” entah untuk yang keberapa kalinya Dokter Rengganis bertanya pada Astuti.
Gadis cantik berambut panjang itu terus berjalan bolak-balik sambil menggigiti kukunya tanpa sengaja.
Sesekali ia mengintip ke arah jendela, melihat apakah Pak Hari sudah kembali setelah melaksanakan tugas yang diberikannya untuk mengantarkan makan siang para tentara yang sedang melaksanakan latihan gabungan di desa mereka.
“Nanti saya kabari, Dok, kalau Pak Warso dan Pak Hari sudah sampai.” Astuti tersenyum melihat dokter cantik yang dikaguminya itu terlihat begitu gelisah dan salah tingkah.
“Ciiit,” terdengar nyaring suara rem motor tua Pak Warso dari jauh.
Tanpa perlu dikomandoi kaki Dokter Rengganis langsung melangkah menuju halaman, beberapa kali terlihat Dokter Rengganis berlari kecil seolah sudah tak sabar ingin segera mendengarkan cerita Pak Hari tentang apa yang telah terjadi di sana.
“Sudah diantarkan, Pak Hari?” tanya Dokter Rengganis. Suaranya dibuat sedemikian rupa agar terdengar tetap berwibawa, ia mencoba menutupi rasa gelisah dan keingintahuannya tentang kabar Kapten Biru.
“Sudah, Dok. Sudah kami sampaikan.” Pak Hari turun dari boncengan motor Pak Warso.
“Apa katanya?” Wajah tegang dokter Rengganis tak bisa menyembunyikan rasa penasaran hatinya.
“Kami tidak ketemu sama Kapten Biru, Dok.”
“Loooooh.” Mulut dokter cantik itu membentuk huruf O. Terlihat raut kecewa menghiasi wajah cantik dokter muda itu.
“Kapten Biru sedang di medan latihan jadi tidak bisa ditemui,” jelas Pak Hari.
“Makanannya bagaimana?”
“Sudah saya titipkan sama Pak Tentara yang sedang bertugas jaga di pos.”
“Jusnya?” Dokter Rengganis terlihat sedih.
“Saya titipkan juga, Dok.” Ada nada bersalah dari suara Pak Hari. Ia tahu betul bukan jawaban ini yang ditunggu-tunggu wanita di hadapannya.
“Ah, ya sudahlah kalau begitu. Terima kasih ya Pak Hari, Pak Warso.” Dokter manja itu berbalik dengan langkah gontai menuju ruang kerjanya kembali.
Dokter Rengganis menutup pintu, terduduk di kursi kerjanya yang sudah terlihat using.
Tangannya mengacak-acak rambut hitamnya yang lembut. Dia terlihat begitu frustasi tak bisa mendengar kabar tentang seseorang yang ditunggu-tunggunya.
Kepala gadis muda itu ditidurkan di meja kerja yang berukuran cukup besar. Kedua tangannya berlipat menjadi alas dimana kening mulus, tempat otak cerdasnya tersimpan diletakkan.
“Kapten, apa kamu sudah minum jus mangga hasil kehebatan tanganku ini?” Dokter Rengganis menegakkan kepalanya memandang jari telunjuknya yang berbalut plester berkat luka yang didapatnya saat mengupas buah mangga tadi.
“Dok, maaf, ada pasien.” Bidan Maya tiba-tiba membuka pintu ruang kerja Dokter Rengganis, wanita yang sedang sibuk bersama angannya itu seketika berdiri dengan penuh rasa tanggung jawab. Ia bergegas menuju ruang yang di maksud Bidan Maya.
“Siapa?” tanyanya.
“Bu Prapti isteri Pak Risno, sepertinya sudah mau melahirkan. Tetapi proses persalinannya mungkin tidak akan mudah, Dok. Ada masalah dalam kehamilannya.”
Rengganis mempercepat langkahnya.
“Waktu kontrol terakhir saya sudah menyarankan untuk melakukan pengecekkan lebih akurat ke kota serta melakukan proses persalinan di rumah sakit kabupaten saja yang obat dan peralatannya lebih lengkap.” Bidan Maya menjejeri langkah Dokter Rengganis.
“Namun sepertinya faktor biaya membuat Pak Risno dan Bu Prapti tidak mengindahkan saran saya, Dok.” Bidan Maya menjelaskan dengan sedih dalam perjalanan menuju ruang bersalin.
“Biar saya cek dulu ya, Bu. Nanti kita putuskan langkah apa yang harus kita ambil.” Dokter Rengganis masuk ke dalam ruang bersalin.
Suara erangan Bu Prapti sudah terdengar dari luar ruang, Dokter Rengganis paham betul rasa sakit yang sedang dirasakan wanita itu. Hati Rengganis sebenarnya pilu setiap harus menangani proses partus seperti saat ini.
Ia selalu tak sanggup menyaksikan penderitaan yang harus dialami wanita saat berjuang melahirkan bayinya. Namun, sekali lagi ia harus bertahan, ia sadar ini adalah kodrat yang harus dijalani oleh semua wanita untuk menjadikannya berstatus ibu.
Kelak di suatu waktu dokter Rengganis sadar ia pun harus berada di posisi ini, berjuang bertaruh nyawa demi bayi yang disayanginya.
Sekali lagi ucapan terima kasih tiba-tiba meluncur dari mulutnya kepada mami yang sangat dirindukan.
“Doakan anakmu ini, Mi.” Bisiknya.
Dokter Rengganis menutup matanya sebentar sebelum menyentuh tubuh Bu Prapti.
“Tahan ya, Bu,” Dokter Rengganis berkata dengan lembut dan sabar. Tangannya dengan cekatan dan cepat melakukan pemeriksaan awal kepada Bu Prapti.
Senja itu menjadi pertarungan yang sangat melelahkan untuk Bu Prapti, Dokter Rengganis dan juga timnya.
Keringat sebesar butiran jagung menghiasi wajah lelah mereka. Tenaga medis yang bertugas sore itu bersama-sama mengerahkan semua tenaga untuk membantu proses persalinan Bu Prapti yang tidak mudah.
Di lain tempat, Kapten Biru dan pasukan baru saja kembali ke camp mereka dari medan latihan. Tubuhnya penuh dengan lumpur. Sebagai seorang tentara luka-luka yang didapatkannya bukanlah sesuatu yang harus disesali dan ditangisi.
Tentara terlahir sebagai petarung, luka dan rasa sakit adalah sahabat yang harus mereka terima tanpa keluhan. Tubuh mereka telah terbiasa berhiaskan goresan dan sayatan.
Mata Kapten Biru tertuju langsung pada langit malam yang pekat. Tangannya memegang gelas hijau pemberian Dokter Rengganis.
“Bintang-bintang tampak bersinar lebih terang di sini,” gumam Kapten Biru.
Badannya tampak lebih segar setelah mandi dan membersihkan diri di sungai kecil tak jauh dari camp tempat tinggal mereka, aliran sungai kecil itu memiliki air yang sangat jernih dengan nada bergemericik menenangkan hati, Kapten Biru selalu merasa damai saat berada di sana.
Laki-laki berambut cepak itu membaringkan tubuhnya di sebuah valbet di depan tenda besar pasukan. Matanya yang selalu tajam seperti mata elang dipejamkannya rapat-rapat. Bayangan Dokter Rengganis tiba-tiba berkelebat masuk dan bermain dalam angannya.
Kapten Biru membelakkan matanya tiba-tiba berusaha menghilangkan senyum dokter Rengganis dari ingatan. Entah mengapa sejak perjumpaan itu wajah dokter Rengganis selalu mondar-mandir di pelupuk mata. Selalu berhasil mengobrak-abrik perasaannya.
Bunyi helaan napas panjang terdengar begitu berat keluar dari hidung laki-laki tampan itu. Ia merasakan degap jantung yang tiba-tiba memburu seperti akan meledakkan tubuhnya saat membayangkan dokter yang baru saja dikenalnya itu.
Dikedip-kedipkannya lagi mata indah yang berbentuk bulat sempurna itu, namun bayangan gadis cantik berkemeja silk warna putih itu semakin lekat tak juga mau pergi.
Tubuh Kapten Biru segera bangkit dari tidurnya, berjalan menuju tenda Danlat atau Komandan Latihan selaku pimpinan kegiatan latihan gabungan kali ini. Ia mengajukan izin untuk merapat ke desa terdekat guna menyelesaikan beberapa kepentingan.
Beruntung izin yang diajukannya disetujui. Dengan wajah semringan penuh semangat laki-laki muda itu segera meraih kunci motor yang dipergunakan sebagai kendaraan operasional saat latihan gabungan yang sedang berlangsung ini.
Dengan pasti motor yang dikendarai Kapten Biru melaju cepat menuju puskesmas tempat Dokter Rengganis bertugas.
Suasana tempat itu cukup dramatis di malam hari. Lampu penerangan yang remang-remang membuat suasana terlihat cukup muram.
Geliat di dalam puskes masih terlihat hidup meski dengan fasilitas seadanya. Kapten Biru melangkahkan kaki, berharap akan bertemu seseorang untuk bertanya, lebih beruntung lagi jika ia dapat langsung bertemu dengan Dokter Rengganis.
Namun, yang dinantinya tak juga muncul. Ia tak bisa menemukan satu orang pun di sana. Langkah kaki Kapten Biru terarah pada sebuah kamar persalinan yang terdengar cukup sibuk.
Ia menghentikan langkahnya tak jauh dari ruangan dengan lampu yang menyala paling terang dibanding ruang-ruang lain.
Dari balik tirai jendela yang sedikit terbuka Kapten Biru dapat melihat kelebat bayangan Dokter Rengganis yang sedang sibuk dengan tindakan medis yang harus dilakukannya pada pasien.
Lama Kapten Biru menatap wanita yang semakin lama semakin membuatnya takjub itu. Laki-laki itu memutuskan untuk menunggu Dokter Rengganis selesai bertugas.
Namun, akhirnya laki-laki itu mengayunkan langkahnya sedikit menjauh dari ruang persalinan. Ia keluar dari dalam bangunan tua bercat putih itu.
Ditatapnya langit malam dengan berjuta perasaan. Melihat betapa cantiknya dokter Rengganis disaat bertugas membuatnya menyunggingkan senyum bangga yang mungkin tanpa alasan.
“Aku semakin merindukanmu.” Kapten Biru tersenyum berusaha menahan segala rasa di hatinya.
Pak Hari yang sedang berjalan untuk mengambil termos air panas di ruang inap tak sengaja melihat Kapten Biru yang sedang berdiri mematung memandang langit.
Laki-laki berusia empat puluh tahunan itu hanya menatap Kapten Biru dari kejauhan tanpa berusaha mengganggunya.
Tak lama Kapten Biru kembali melangkahkan kaki, mulai bergerak dari posisi semula. Pak Hari pun ikut melangkah berniat menghentikan Kapten Biru.
Namun, rencananya itu diurungkan. Sebagai gantinya laki-laki bercelana dasar hitam dengan kaos oblong putih itu berjalan meneruskan pekerjaannya semula.
Apakah Kapten Biru dan Dokter Rengganis tidak akan ditakdirkan berjumpa lagi kali ini?
Apa yang terjadi dengan Bu Prapti dan Dokter Rengganis di dalam ruang persalinan?
Kita tunggu di kisah selanjutnya ya. Jangan sampai ketinggalan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments
Saenab
kenapa kapten biru tdk mau menunggu rengganis
2022-08-26
0
Raden Roro Aqila Zayyan
gamau tau harus ketemuu
2020-12-12
0
Alliya fatiha
Jangan sampe ga ketemu lagi padahal dah ship😣😣😣
2020-12-10
0