Hutan kecil di ujung desa yang biasanya sepi kini terasa lebih ramai. Banyak penduduk kampung yang beralih profesi sementara menjadi pedagang dadakan.
Mereka menyediakan makanan dan minuman untuk para tentara yang sedang mengadakan latihan gabungan di wilayah mereka.
Mulai dari mie instan, nasi uduk, lontong sayur atau lauk-pauk sederhana yang murah meriah mereka sediakan. Meski sebenarnya camp pasukan terletak lumayan jauh dari bibir hutan, hal ini tidak membuat surut niat mereka untuk sedikit meraup laba dari uang perbekalan para pasukan.
Dari jauh Retno, adik Pak Hari melihat kedatangan dua orang berkendara motor mendekati warungnya. Ia sedikit bingung melihat yang datang adalah kakak laki-lakinya bersama Pak Warso, tukang ojek desa sebelah. Tidak biasanya kakak tertua dari enam bersaudara itu mengunjunginya sebelum jam kerjanya di puskes sebagai tukang bersih-bersih selesai.
“Ada apa, Mas? Tumben kemari,” sapa Retno.
“Tidak. Aku cuma mau titip motor Pak Warso di warungmu. Kami mau masuk.”
“Masuk kemana? Hutan? Cari apa loh, Mas? Lagi ada tentara latihan. Nanti malah dikira mau maling di dor sampean.” Retno menakut-nakuti Pak Hari.
“Hati-hati lo, Mbak, ngomong di hutan beginian. Emang mau—”
“Ndak—ndak, becanda kok, Mas.” Retno memotong kata-kata Pak Warso.
“Makanya kalau ngomong jangan sembarangan.” Pak hari merengut.
“Ampun Gusti Allah, cuma guyon.” Retno jadi deg-degan.
“Mana suamimu?” tanya Pak Hari.
“Tadi lagi masuk ke camp Bapak Tentara. Ada pesanan yang harus diantarkan.”
“Wah telat, harusnya kita bisa bareng ya, So.” Pak Hari memukul jidatnya.
“Ya sudah kita susul saja mungkin ketemu di jalan,” usul Pak warso.
“Ayo.”
“Tunggu-tunggu. Emang mau apa to, Mas, ke camp?”
“Ini mau anter bantuan logistik untuk Bapak-Bapak Tentara yang lagi latihan dari Bu Dokter Cantik,” jelas Pak Hari.
“Wah bakal gak laku ni menu makan siang jualan kami,” gerutu Retno.
“Namanya rejeki gak ada yang tahu, No. Pasti masih banyak yang datang buat cari yang lain. Bener to?” Pak Warso ikut berkomentar.
Pak Hari melangkah melompati siring darurat yang dibuat para pedagang di sekitar tenda sementara yang mereka bangun.
Dua orang laki-laki itu berjalan masuk ke dalam hutan kecil yang banyak ditumbuhi pohon-pohon besar berumur puluhan tahun. Mereka cukup paham dengan seluk-beluk di dalam hutan.
Sejak kecil masyarakat desa Pringjaya memang terbiasa keluar masuk hutan pinggir desa. Hal itu bukan sesuatu yang menakutkan untuk mereka.
Selain mencari kayu bakar mereka biasa mencari hasil alam dari hutam seperti madu, rotan dan lain-lain. Bisa dikatakan 40% penduduk desa mengantungkan hidupnya dari hasil hutan ini.
“Kalau tidak salah, belok ke kanan setelah pohon tembesu besar itu kan biasanya tanah datar yang digunakan untuk membuat tenda-tenda gede tentara?” tebak Pak Hari.
“Iya, aku dulu pernah ikut nganter minyak tanah yang komandan mereka pesen ke Bapakku, Mas.”
“Ayo.” Pak Hari semakin semangat meski telapak tangannya telah memerah karena membawa beberapa kantong plastik hitam berukuran besar. Sementara Pak warso sendiri sibuk dengan dua plastik besar di tangan kanannya dan tangan kirinya sibuk memegangi kardus air mineral yang dipanggul di bahu.
“Maaf, ini wilayah yang sedang digunakan untuk latihan. Mohon untuk tidak melewati batas yang sudah kami tentukan agar warga tetap aman.” Seorang anggota tentara yang mendapat tugas berjaga segera menghentikan langkah kedua laki-laki yang tubuhnya telah dibanjiri peluh itu.
“Maaf, Pak, mengganggu. Kami membawa makanan dari dokter Rengganis yang bertugas di puskes desa untuk Kapten Biru dan teman-temannya.”
Tentara muda dengan dua buah garis kuning melengkung dilengannya itu memberi isyarat kepada dua tentara lain untuk mendekat. Dengan teliti tiga orang laki-laki bertubuh tegap itu memeriksa semua barang yang mereka bawa.
“Aman,” salah seorang berkata.
“Silahkan letakkan di sini saja ya, Pak. Semua ini akan segera kami sampaikan kepada Kapten Biru. Untuk sementara kami mewakili Kapten Biru dan seluruh pasukan mengucapkan terima kasih kepada Dokter Rengganis.” Laki-laki berpangkat sersan satu itu tersenyum penuh wibawa.
“Sekali lagi mohon maaf, Pak, khusus untuk ini.” Pak Hari menunduk mencari jus mangga spesial yang telah dikemas rapi oleh Dokter Rengganis di dalam sebuah gelas tupperware berwarna hijau muda.
“Saya harus menyampaikannya langsung kepada Kapten Biru. Itu pesan dokter kami, Pak.”
“Maaf untuk saat ini Kapten Biru sedang tidak bisa diganggu. Beliau sedang ada di medan latihan mungkin baru nanti malam akan kembali bersama pasukannya kemari.”
Pak Hari sempat bingung akan menyerahkan jus buatan Dokter Rengganis itu pada laki-laki yang berada dihadapannya ini atau harus membawanya pulang kembali.
Tangannya beberapa kali terlihat menarik ulur gelas minum berukuran cukup besar itu sampai akhirnya ia memutuskan untuk menitipkannya.
“Baiklah kalau begitu saya titip ke Pak Leo saja ya.” Pak Hari tampak membaca nama yang berada di dada sebelah kanan baju seragam tentara muda yang terlihat baik hati itu.
“Oh iya nanti akan saya sampaikan. Ada lagi?”
“Dokter bilang ini sebagai ucapan terima kasih atas pertolongan Kapten Biru. Dan tahu tidak, Pak. Jus ini dibuat langsung oleh tangan dokter Rengganis yang manja itu, Pak. Sepertinya baru pertama kali ini ia membuat minuman yang spesial untuk orang lain. Wajahnya selalu tersenyum selama membuatnya,” Pak Hari tampak berbisik.
Tiga orang tentara di depannya tampak tersenyum mendengar perkataan Pak Hari.
“Baik kami permisi dulu, Pak. Terima kasih,” pamit Pak Hari.
“Oh iya siap. Nanti akan kami bagikan makanannya ya.” Sersan Leo mengacungkan jari jempolnya.
Setelah Pak Hari dan Pak Warso pulang. Sersan Leo segera menghubungi Kapten Biru melaporkan tentang bantuan logistik yang mereka terima.
“Silakan dicek ulang jika makanan dan minuman itu aman bisa langsung dibagikan kepada para pasukan.”
“Siap.” Sersan Leo segera melaksanakan perintah atasannya itu.
Kapten Biru sedang beristirahat di sebuah pohon rindang bersama beberapa anggotanya. Ia menyeka keringatnya yang mulai bercucuran melewati wajahnya yang masih tertutup penyamaran.
“Latihan hari ini adalah latihan paling berat untuk kita. Kalian harus tetap fokus dan berhati-hati agar tidak ada yang cidera,” nasihat Kapten Biru pada anggotanya.
“Siap,” jawab mereka kompak.
Sersan Leo datang mendekati mereka.
“Izin, Ndan. Ini nasi untuk komandan.” Sersan Leo memberikan satu bungkus nasi pada Kapten Biru.
“Terima kasih, yang lain sudah?”
“Siap sudah semua, Ndan.”
“Kalian sudah?” Kapten Biru mengangkat nasinya.
“Sudah, Ndan.”
“Saya makan dulu kalau begitu ya.”
“Silakan, Ndan.” Mereka memersilakan Kapten Biru untuk menikmati makan siangnya.
“Ndan, Izin. Itu makanan dari dokter Rengganis, saya sengaja pisahkan untuk komandan. Kalau tidak mungkin sudah habis diperebutkan anggota yang lain, Ndan.”
“Oh ya? Terima kasih ya.” Kapten Biru tersenyum senang.
“Ini ada juga untuk komandan.” Sersan Leo menyerahkan gelas berwarna hijau muda yang berisi jus mangga yang hanya berisi seperempat gelas.
“Mohon maaf, Ndan.Tadi Prada Fikri yang saya tugaskan membawanya sempat terpeleset saat menyeberangi sungai kecil di sana saat membawa minuman ini bersama barang-barang logistik lain.”
“Saya merasa bersalah, harusnya saya sendiri yang mengantarkannya mengingat ini hadiah spesial untuk komandan dari seseorang.”
“Ah gak apa-apa. Cuma minuman biasa.” Kapten Biru mulai menyuapkan nasi ke mulutnya.
“Tapi tadi yang mengantar bantuan logistik bilang, jus mangga ini special buat Komandan. Dibuat langsung oleh tangan dokter Rengganis sebagai ucapan terima kasih. Saya diwanti-wanti Bapak yang bawa tadi untuk menyampaikannya dengan baik.” Kapten Biru berhenti mengunyah makanan dalam mulutnya.
“Katanya ini pertama kalinya Dokter Rengganis membuat makanan dan minuman untuk orang lain, Ndan,” sambung Sersan Leo.
Kapten Biru terbatuk-batuk mendengar apa yang barusan Sersan Leo ucapkan. Wajah Dokter Rengganis yang cantik tiba-tiba muncul pada gelas Tupperware yang tinggal berisi seperempat itu.
Matanya tiba-tiba menatap Sersan Leo penuh arti. Beberapa tentara yang tadi sedang berbincang dengan Kapten Biru tampak nyengir-nyengir secara sembunyi-sembunyi melihat adegan itu.
“Siap salah.” Sersan Leo berdiri dalam posisi tegap, siap menerima hukuman.
“Hah sudahlah.” Kapten Biru menepuk pundak anggotanya itu dan berjalan menjauh dari kerumunan.
Ditatapnya gelas pemberian dokter Rengganis itu dengan mata tajamnya. Bibirnya menyunggingkan senyuman yang tak kunjung usai. Hatinya penuh dengan bunga-bunga. Tak ada keinginan hatinya untuk mencicipi jus mangga spesial buatan dokter cantik itu.
“Mengapa gadis manja sepertimu mau bersusah payah mengirimkan makanan ini untukku. Apakah ini semacam logistik cinta?” Kapten Biru tampak senyum malu-malu sendiri. Hatinya penuh pelangi berwarna-warna cerah.
Sepertinya dewa cinta telah mulai menembakkan panah-panah asrama di hati dua insan ini. Bagaimana kelanjutannya? Jangan sampai ketinggalan episode berikutnya ya!!!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments
Kkdell Wonda
astagaaa baper aku baca nya sampai senyum2 sendri😊😆😆
2022-12-30
0
eza
yg baca juga ikutan senyum" sendiri ini.
apalagi momen gini sambil senyum. mana diliaton suami ,😂😂
2022-09-25
0
༄༅⃟𝐐𝗧𝗶𝘁𝗶𝗻 Arianto🇵🇸
seharusnya kl pake tuppy gk akan tumpah lho...gk mungkin kn dr.rengganis gk bisa nutup rapat...😂😂😂
2022-09-04
0