Mobil Rengganis melaju dengan kecepatan penuh. Pedal gas diinjak dalam-dalam saat melewati jalan kecil dengan pemandangan gelap di kanan kiri. Ada rasa takut berdesir-desir di dalam hatinya. Namun, tekad gadis cantik itu telah membulat untuk bisa berjumpa dengan mami yang sangat dirindukannya.
Rute yang harus ditempuh untuk bisa sampai ke kota memang lumayan menakutkan. Sering Rengganis mendengar cerita dari Astuti juga beberapa penduduk desa setempat tentang gerombolan perampok yang sering beraksi di tengah malam untuk menggasak semua harta korban yang lewat di jalan yang sedang Rengganis lalui.
“Glutak.” Tiba-tiba mobil Rengganis seperti dilempari sesuatu.
Seperdetik Rengganis berniat menghentikan mobilnya. Namun, pikiran waras kembali menguasai otaknya yang mulai panik. Bisa saja yang melempar mobil kesayangannya itu segerombol penjahat yang mengincar harta dan dirinya.
Nyali Rengganis menciut seketika. Seiring dengan bunyi letusan ban. Tangan Rengganis benar-benar kaku. Tubuhnya dingin membeku. Gadis manja itu menangis sejadi-jadinya, air mata berlinangan tak henti-henti. Tidak pernah terbayangkan dalam hidupnya, Rengganis akan melalui hal mengerikan semacam ini.
Ia sangat menyesali keputusan yang telah diambilnya untuk pergi meninggalkan puskes di malam yang begitu gelap seperti saat ini
“Nguuuuuung.” Suara sepeda motor tiba-tiba muncul di kegelapan malam dari arah berlawanan. Rengganis bersiap memekik sekuat-kuatnya untuk meminta bantuan. Namun, rencana itu segera digagalkannya. Ia menyadari pengendara sepeda motor yang suaranya terdengar barusan bisa saja rampok yang telah memasang jebakan hingga membuat ban mobil Rengganis kempes.
Gadis itu meringsek, menunduk bersembunyi di bawah jok tempat duduk mobil. Tangan mulusnya menggapai semua benda yang bisa dijadikannya alat membela diri. Dalam gelap ia hanya berhasil meraih payung lipat yang berada di laci dashboard mobil.
Motor itu melewati mobilnya, hati Rengganis merasa sedikit lega. Penyesalan mulai datang kenapa ia tak memanggil pengendara motor yang baru saja lewat untuk meminta pertolongan. Rengganis menghembuskan napasnya dalam-dalam memikirkan nasibnya yang malang.
Suara mesin motor yang tadi melewatinya terdengar mendekat lagi, sepertinya pengendara itu memutuskan untuk memutar dan kembali ke arah mobil Rengganis. Tangan gadis cantik itu mencengkram gagang payung kuat-kuat , bersiap menghantam siapa pun yang berniat menciderainya.
“Klotek.” Seseorang berusaha membuka paksa pintu mobil. Rengganis pucat seketika. Tubuhnya benar-benar terasa lemas ketakutan.
“Cletek.” Laki-laki itu berhasil membuka pintu mobil.
“Plok-plok-plok, ****** kau, ****** kau.” Rengganis memukuli laki-laki yang menerobos paksa masuk ke dalam mobilnya dengan membabi-buta.
“Tunggu-tunggu, Mbak. Sabar. Saya ini orang baik-baik. Kita harus keluar dari sini sekarang,” perintahnya.
“Memangnya Anda siapa berani-berani memerintah saya. Bagaimana saya bisa tahu Anda tidak memiliki niat jahat.” Dalam cahaya temaran bulan, Rengganis melihat laki-laki tinggi tegap berambut cepak itu memiliki wajah yang amat manis. Jika bukan dalam keadaan menakutkan seperti sekarang mungkin Rengganis sudah berteriak-teriak kegirangan.
“Ayo cepat, kita tidak punya banyak waktu. Mereka bisa saja membunuh kita.” Laki-laki itu menarik paksa tangan Rengganis keluar dari dalam mobil.
Dari kejauhan cahaya lampu motor terlihat terang benderang. Sepertinya ada lebih dari lima buah motor yang sedang mendekat ke arah mereka.
Rengganis sempat menghitung cepat jumlah orang-orang yang mungkin berada di rombongan yang datang mendekat itu.
Jika ada lima motor yang saling berbonceng dua saja maka sudah ada sepuluh orang yang akan menjadikannya santapan makan malam. Hati Rengganis semakin mencelos ketakutan.
Rengganis tak punya pilihan. Tubuhnya dengan cepat melompat naik ke atas motor laki-laki yang sama sekali tak dikenalnya itu.
“Itu dia. Ayo.” Salah seorang dari kawanan bermotor memberi komando kepada teman-temannnya yang lain untuk melaju lebih cepat.
Motor yang ditumpangi Rengganis juga tak mau kalah. Menurut perkiraan Rengganis, mungkin kabel gas sudah ditarik full oleh laki-laki di depannya ini. Tangan Rengganis secara otomatis melingkar erat di pinggang laki-laki asing yang baru ditemuinya itu.
Tak ada yang dapat dipikirkan dua orang berkendara yang saat ini sedang berkejar-kejaran dengan sekelompok laki-laki bermotor.
Tiba-tiba laki-laki itu membelokkan motornya ke kiri, memasuki jalan setapak kecil menuju ladang perkebunan kopi yang rimbun. Ini benar-benar diluar dugaan Rengganis yang sempat mengira mereka akan berbelok ke kanan menuju arah desa terdekat yang tadi sempat dilalui Rengganis.
“Turun,” perintah laki-laki itu tanpa basa-basi setelah mematikan mesin motornya. Rengganis menuruti kata-kata pria tak dikenal itu.
“Sreeeek.” Laki-laki bertubuh atletis itu menarik sebuah cabang kayu kering yang cukup besar dan menutupi sepeda motornya yang sudah dalam posisi rubuh.
Tak ada kata-kata yang mampu keluar dari mulut Rengganis meski ada seribu pertanyaan yang ingin diutarakannya. Gadis itu hanya bisa patuh pada kata-kata laki-laki misterius ini jika ingin selamat. Setidaknya hanya itu pilihan yang dimiliki gadis malang ini.
“Ayo.” Laki-laki itu menarik tangan Rengganis untuk bersembunyi di balik sebuah pohon besar yang letaknya agak masuk ke dalam perkebunan kopi.
“Ngeeeeng—ngeang.” Motor-motor para berandal itu melewati tempat persembunyian mereka.
“Jangan sampai hilang.”
“Ayo kejar.”
“Sialaaan.”
Suara mereka berdengung seperti tawon bersaing dengan suara knalpot motor mereka yang bising. Dari kata-kata yang mereka ucapkan terlihat begitu jelas bahwa mereka sedang dalam keadaan mabuk berat.
“Ehem.” Rengganis memberi isyarat pada laki-laki yang sedari tadi memeluknya erat-erat. Seolah sedang menyembunyikan dan melindungi tubuh Rengganis dengan tubuhnya gagah.
Laki-laki itu malu-malu melepaskan tangannya dari tubuh Rengganis.
“Maaf.”
“Tak apa. Bagaimana? Apa kita sudah aman?” tanya Rengganis.
“Jangan bodoh. Mereka pasti akan bolak-balik di jalan ini sampai bisa menemukan kita. Saat ini mungkin mereka sudah tahu bahwa kita belum keluar dari wilayah perkebunan ini dari rekan mereka yang bertugas menunggu di jalur desa.”
Hati Rengganis berdebar kuat. Ketakutannya semakin menjadi-jadi.
“Lantas kita harus bagaimana?” tangis Rengganis pecah.
“Kenapa menangis? Kalau kamu wanita yang penakut harusnya tidak pernah berpikir akan melewati jalur mengerikan ini di malam hari,” sindirnya.
Diberi sindirin seperti itu tangis Rengganis bukan berhenti tetapi semakin bertambah kuat.
“Kamu mau kita tertangkap? Silakan kencangkan lagi suara tangismu.” Laki-laki itu berjalan meninggalkan Rengganis sendirian.
Seketika Rengganis menghentikan tangisnya dan berlari menyusul pemuda yang telah menyelamatkannya itu.
“Kita mau kemana? Kenapa semakin masuk ke dalam perkebunan? Aku takut.” Rengganis menjejeri langkah pemuda dengan aroma parfum yang sangat khas itu.
“Kita cari tempat yang lebih aman untuk sembunyi. Tempat itu sangat dekat dengan jalan, mereka bisa dengan mudah menemukan kita.”
“Motormu bagaimana?”
“Ya kalau memang hilang nanti kan bisa Kamu ganti. Aku lihat dari mobil dan cara berpakaianmu sepertinya Kamu berasal dari keluarga kaya.”
“His.” Rengganis yang berganti meninggalkan laki-laki itu.
“Hey kamu mau kemana. Kita akan ke arah sana.” Laki-laki itu menunjuk sebuah batu besar yang dikelilingi pepohonan yang rimbun.
“Kenapa ke sana? Pohonnya gede. Nanti kalau ada—?” Rengganis tak sanggup meneruskan kata-katanya.
“Hantu.” Laki-laki itu memotong.
“Berdoa.” Laki-laki dingin itu berjalan terus menuju tempat yang tadi ditunjukknya.
Lagi-lagi Rengganis tak punya pilihan selain menuruti laki-laki itu.
“Kamu takut sama hantu. Kamu gak takut sama aku?” tanya pemuda itu.
“Takut,” jujur Rengganis.
“Kenapa mau mengikuti aku?”
“Aku tak punya pilihan.”
“Kamu punya pilihan kok dan kamu sudah memilih. Pilihanmu benar.” Laki-laki itu tersenyum kecil. Rengganis memandang wajah tampan laki-laki di hadapannya dalam samar-samar sinar bulan separuh. Senyum kecil itu tampak begitu menggemaskan.
“Jangan lama-lama mandangnya nanti jatuh cinta.” Rengganis langsung menundukkan wajahnya yang tertangkap basah sedang memandang wajah laki-laki berjaket kulit berwarna hitam itu.
Laki-laki itu mulai menyadari Rengganis hanya berbalut baju kemeja berbahan silk yang pasti membuat tubuhnya merasa dingin. Dilepasnya jaket yang ia kenakan dan diberikan pada Rengganis.
“Gak usah sog romantis seperti di film-film aku gak akan jatuh cinta sama kamu.”
Rengganis merampas jaket di tangan pria itu dan meletakkannya di tubuh bagian depan tanpa mengenakannya. Mereka tertawa bersama setelah menyadari satu sama lain saling mencuri pandang.
Bulan terasa merambat begitu cepat. Mentari mulai muncul di ufuk timur. Laki-laki asing yang telah menghabiskan waktu menatap bulan separuh bersama Rengganis malam ini membuka jalan untuk mereka lewati.
“Nih masih lengkap motorku. Sepertinya mereka tidak menemukannya semalam. Beruntung kamu tidak perlu mengganti sepeda motor kesayanganku ini.”
“Aku bisa minta papi membelikanmu motor yang lebih bagus dari milikmu kalau kamu mau. Setidaknya untuk membalas jasa karena telah menolongku.”
“Tidak perlu repot-repot, Nona Manis. Motor ini penuh kenangan dan bukti perjuangan hidupku selama ini dan sekarang akan menjadi kenangan untukmu juga Kamu juga tidak akan pernah bisa melupakan kenangan bersama motor ini kan? Karena malam ini adalah malam yang tak akan pernah bisa kau lupakan seumur hidup.”
“Betul.” Rengganis merinding membayangkan peristiwa yang menimpanya semalam jika tidak ada laki-laki disampingnya ini.
“Ayo kita lihat keadaan mobilmu.”
“Tidak perlu, nanti kita minta orang saja yang ambil. Aku takut.”
“Jangan takut. Hari mulai terang. Lihat orang-orang sudah ramai hilir-mudik, tidak apa-apa lagi pula ada aku.”
Rengganis menyadari laki-laki yang menolongnya semalam adalah seorang anggota TNI dari baju loreng yang dikenakannya. Dengan seragam ini laki-laki bertubuh tegap ini tampak lebih gagah dan berwibawa.
“Sudah kubilang jangan terlalu lama mandangnya nanti kamu jatuh cinta.”
Rengganis hanya tertawa mendengar kata-kata laki-laki yang telah menyelamatkan nyawanya itu.
“Ya ampun tas beserta isinya hilang. Semua amblas, Bang. Tak tersisa.” Rengganis tampak Syok melihat semua barang-barang berharga di mobilnya raib.
“Sudah tak apa yang penting nyawamu selamat. Ini pelajaran berharga buat anak mami sepertimu. Dunia ini kejam, jangan sekali-kali berbuat nekat. Ingat.”
Laki-laki ini bukan siapa-siapa buat Rengganis tetapi sejak pertemuannya semalam entah sudah berapa kali ia mengatur hidup Rengganis dan herannya Rengganis tidakn merasa keberatan diperlakukan seperti itu bahkan timbul rasa lain yang sulit diterjemahkan oleh gadis cantik itu. Rasa yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Mungkinkah ini karena cinta? Kita tunggu kelanjutannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments
Qaisaa Nazarudin
Aduuhh aku udah deg degan dari tadi nih..Untung aja ada pak tentara dan patah balik lagi nyelamatin Ganis,Coba aja kalo Ganis sampai jadi korban berandalan mabok,Aduh gak kebayang,Lagian Ganis berani banget jalan malem2 sendirian ckk..
2025-02-06
0
Qaisaa Nazarudin
Aku juga sempat mau nanya,Apa Ghanis gak bawa tas dan hp nya saat kabur? Atau sekurang-kurangnya dia mengunci mobilnya sebelum pergi??ckk ceroboh banget Ghanis..
2025-02-06
0
Qaisaa Nazarudin
OMG cepat Ganis pergi,Ini pasti pak tentara nya ya,Semoga ya .
2025-02-06
0