Mentari baru saja muncul dari ujung langit bagian timur. Sinar hangatnya memang belum terpendar rata ke seluruh mayapada. Namun, dalam hati Rengganis kehangatan itu mulai menjalar melewati seluruh urat nadinya.
“Yaps sampai.” Rengganis bergegas turun dari motor besar laki-laki yang telah berhasil menyelamatkan hidupnya semalam. Senyumnya terus mengembang pagi ini.
“Terima kasih,” sambungnya.
Laki-laki bertubuh tegap itu membalas dengan anggukan.
“Jadi ini puskesmu?”
“Iya betul. Aku menyesal meninggalkannya semalam.” Wajah Rengganis berubah sendu.
“Ingat pesanku baik-baik. Jangan kamu ulangi lagi keberanianmu yang konyol itu. Beruntung kamu masih selamat, jika tidak, mungkin pagi ini seluruh penduduk desa sudah geger atas penemuan mayat wanita cantik di pinggir perkebunan kopi.”
Rengganis melotot, tangannya refleks memukul lengan laki-laki di hadapannya.
“Sudah--sudah, ternyata kamu jago berkelahi ya. Semalam jidatku kamu pukuli dengan payung sekarang lenganku yang sepertinya akan segera kamu patahkan, lihat ini, mungkin kepalaku benjol karena dipukuli dengan membabi-buta semalam.” Laki-laki itu menunjuk jidatnya yang memang terlihat memar.
“Oh maaf, aku salah paham. Mari turun biar kulihat lukamu." Rengganis terlihat sangat merasa bersalah.
Laki-laki muda itu melirik jam tangan bertali kulit hitam di tangan kanannya. Kemudian memutuskan untuk turun mengikuti tawaran Rengganis.
“Oke, aku ikut daripada nanti terjadi hal-hal yang tidak-tidak di otakku lebih baik kita periksa sekarang. Masih pukul setengah tujuh. Sepertinya aku masih bisa sedikit bernapas," ucapnya.
“Maksudnya? Apa kalau sudah lebih dari pukul tujuh kamu tidak dapat bernapas lagi? Apa kamu hantu? Jangan bilang kamu penunggu perkebunan kopi yang mati mengenaskan karena dibunuh para perampok?” Rengganis tampak ketakutan. Tangannya menutup rapat-rapat mulut mungilnya.
“Lihat baik-baik. Mana ada hantu setampan aku.” Laki-laki itu mendekatkan wajahnya pada wajah Rengganis.
“His apaan sih?” Rengganis tergagap. Ia berjalan masuk ke halaman puskesmas tempatnya bertugas yang sudah terlihat bersih. Mungkin Pak Hari sudah membersihkannya sejak hari masih gelap.
Rengganis berjalan mendahului laki-laki yang sudah berhasil membuat jantungnya berdebar dua kali sejak pertama bertemu. Tangan gadis itu memegang dada yang debaran jantungnya bisa terdengar lebih kencang dari biasanya.
Sementara tentara muda berpangkat kapten itu tersenyum diam-diam tanpa sepengetahuan Rengganis. Hatinya penuh dengan bunga-bunga.
“Ayo berbaring di sana. Biar kuperiksa.” Rengganis memberi perintah.
Laki-laki itu bergerak mendekati tempat tidur. Ia merebahkan tubuhnya tanpa melepas pakaian seragamnya.
“Biru AP. Apa itu maksudnya?” tanya Rengganis penasaran.
“Itu namaku,” jawab laki-laki muda itu singkat.
“Namamu Biru?” Rengganis membulatkan matanya yang indah.
“Ya.”
“Lalu AP?”
“Kenapa ingin tahu? Aku saja tidak pernah bertanya apa-apa tentangmu?” sergah laki-laki dingin yang baru diketahui Rengganis bernama Biru.
Rengganis memukulkan ujung stetoskop ke dada Biru.
“Au, apa kau akan membunuhku?” Biru mengusap-usap dadanya.
“Dadamu berdetak begitu cepat. Jika terus begitu, tanpa kupukul pun kamu akan segera mati." Rengganis kembali ke meja kerjanya. Senyumnya mengembang setelah tubuhnya berbalik tak terlihat oleh laki-laki itu.
Biru cepat-cepat bangun dan memegang jantungnya yang baru saja dibilang dokter cantik itu berdetak lebih cepat.
“ Apa benar alat itu bisa mendeteksi kecepatan dantungku berdetak,” tanya Biru malu-malu.
Rengganis hanya tertawa melihat laki-laki tampan dihadapannya kelimpungan.
“Maaf, Dok, saya datang terlambat. Tindakan apa yang harus kita berikan? Saya dengar dari Pak Hari ada pasien datang?” Astuti masuk ruangan dengan tergopoh-gopoh.
“Tidak perlu. Dia baik-baik saja.” Rengganis mengedipkan matanya pada Astuti. Rengganis berharap Astuti segera keluar meninggalkan ruangan.
Namun, gadis lugu itu tidak mengerti isyarat yang diberikan dokter Rengganis. Ia malah asik terkesima memandang pasien ganteng yang sedang merapikan kembali pakaiannya.
“Tampan, Dok,” ucap Astuti diluar kesadarannya.
“Hei,” Rengganis melotot kepada Astuti.
Kali ini sinyal yang dikirimkan pada Astuti sampai dengan baik. Gadis berjilbab kuning itu bergegas mundur kembali meninggalkan ruangan dokter Rengganis.
“Maaf.” Rengganis tersipu.
“Tak apa, Kalau begitu aku harus kembali ke camp. Ingat pesanku baik-baik. Jaga diri, jangan terlalu dekat dengan orang yang tidak kamu kenal. Periksa semua pintu dan jendela sebelum tidur.” Wajah Biru tampak serius.
Rengganis hanya menghela napas. Laki-laki posesif ini lama-lama bertindak melebihi mami dan neneknya. Banyak sekali yang harus diingat Rengganis. Namun, hati gadis itu nampak menerima semua nasihat sang kapten dengan penuh suka cita.
Rengganis melambaikan tangannya pada laki-laki yang baru saja melaju menjauh dari hadapannya.
“Laki-laki aneh,” gumam Rengganis.
Rengganis membalikkan tubuhnya, gadis cantik itu kaget setengah mati melihat Bidan Maya, Astuti dan Pak Hari telah berdiri di belakangnya memandang dengan tatapan penuh tanya.
“Buat kaget aja.” Rengganis menutupi keterkejutannya.
“Itu tadi siapa, Dok?”
“Mau tau aja,” kilah dokter cantik berambut indah itu.
“Aku mau tanya, emang dia ganteng ya, Mbak?” Rengganis mendekati Astuti.
“Banget.” Astuti menjawab dengan penuh ekspresi.
“Itu pasukan yang sedang ngepos di hutan deket kali Arung kan, Dok?”
“Maksud Pak Hari?” Rengganis tampak bersemangat.
“Itu di hutan kecil sebelah kulon kan ada pasukan tentara lagi latihan, Dok. Ruuuaaaaameeee banget. Kemarin pada lewat sini," jelas Pak Hari.
“Oh ya? Kenapa aku gak tahu ya?”
“Dokter lagi sibuk. Kan pasien kita kemarin banyak.”
“Betul.” Rengganis menggangguk-angguk menyesal.
“Pak Hari tahu tempat mereka berkemah?”
“Berkemah, memang anak pramuka, Dok.” Astuti tak terima.
“Ya gitu deh pokoknya.” Rengganis mengibas-ngibaskan tangannya.
“Tahu, Dok. Di sana kan memang sering jadi tempat latihan. Kalau masyarakat sini sudah pasti hafal tempatnya. Retno, adik saya dan suaminya kan kalau ada tentara latihan gitu buka warung kecil di tepi hutan, Dok. Lumayan tambah-tambah penghasilan.”
“Oh ya?” Mata Rengganis tampak berbinar.
“Iya, Kalau pas lagi ada tentara latihan gini warga pada seneng, jalan dan perkampungan agak aman. Para bandit dan pemuda begajulan itu takut sama tentara yang sering lewat-lewat.”
“Kenapa semalam ada ya?” Rengganis bergumam kecil.
“Maksud, Dokter?” Pak Hari memicingkan kedua matanya.
“Oh iya, bagaimana cerita semalam, Dok? Kami hampir pingsan membayangkan dokter diterkam para berandal di perkebunan kopi.” Bidan Maya yang sejak tadi diam ikut buka suara.
“Eh, anu—anu,” Rengganis bingung mau menjelaskan mulai dari mana.
“Udah deh, aku mandi dulu nanti keburu pasien pada datang. Oh ya, pasien yang datang semalam bagaimana?”
“Alhamdullilah sudah kami tangani, Dok. Hanya butuh beberapa jahitan akibat terjatuh saat pulang bertani” Astuti tersenyum semringah.
“Oke bagus kalau begitu. Terima kasih, kerja bagus, Mbak."
Rengganis melangkahkan kaki menuju rumah dinasnya. Ia membayangkan bisa tidur di kasurnya yang hangat. Baru kali ini dokter manja itu begitu merindukan ranjang tua di rumah mess yang terlalu sederhana untuk seorang Rengganis, putri konglomerat kaya.
“Tap.” Tiba-tiba langkah kaki Rengganis berhenti, berbalik dan kembali mendekati teman-temannya.
“Bidan Maya, Mbak Astuti, dan Pak Hari bisa bantu aku?”
“Siap, Ndan.” Mereka bertiga teriak berbarengan.
“Bu Bidan pinter masak kan?”
“Bisa sih, Dok, tapi bukan berarti pinter.”
“Cukup,” potong Rengganis.
“Mbak Astuti aku minta tolong, bantu aku berbelanja ke pasar desa. Beli kebutuhan untuk makan siang. Aku mau kirim bantuan makanan untuk pasukan yang sedang latihan. Beli yang banyak,” perintah dokter muda itu, tiga orang diharapannya hanya mampu terbengong-bengong tak mengerti dengan apa yang sedang dipikirkan dokter mereka.
“Bidan Maya hari ini khusus bagian dapur saja, ada Bidan Ferra yang akan menggambil alih tugas Bidan Maya sementara. Astuti juga bantu di dapur, biar Bu Riri dan Mbak Katmia yang stand bye. Semoga saja pasien tidak terlalu banyak hari ini.”
“Aamiin,” mereka menjawab serempak lagi.
“Jika tak ada pasien aku akan bantu kalian juga.” Rengganis berkata sangat yakin. Padahal bagaimana cara menghidupkan kompor saja gadis manja itu tidak tahu.
“Lalu tugas saya apa, Dok?” tanya Pak Hari.
“Pak Hari nanti yang antar hasil masakan ke pos mereka ya.”
“Saya tidak bisa bawa motor, Dok.” Pak Hari nyengir-nyengir.
“Ya ampun. Pak Hari buat malu saya saja. Pokoknya kalau ada kesempatan Pak Hari harus belajar mengendarai motor. Paham!”
“Siap, Dok.” Pak Hari memberi hormat layaknya seorang tentara.
Pagi itu menjadi hari yang begitu sibuk. Seperti doa mereka, sepanjang pagi belum terlihat satu orang pasien pun datang berkunjung ke puskes mereka.
Rengganis merasa lega, semua menu makanan yang diinginkannya sudah hampir selesai.
“Bagaimana, Bu Bidan, sudah beres semua?”
“Sudah, Dok. Tinggal sambalnya saja yang belum. Capcay, ayam goreng, kerupuk, dan lalapan sudah saya pack rapi.”
“Oke bagus. Sambalnya jangan terlalu pedas. Kasian jika mereka sakit perut. Nanti malah gak bisa ikut latihan.”
“Baik, Dok. Kalau boleh tahu memangnya ada apa. Tiba-tiba mau mengirimkan bantuan logistik untuk Bapak-Bapak Tentara itu. Apa ada hubungannya dengan Tentara Ganteng yang dibilang Astuti?” tanya Bidan Maya.
“Iya, Bu Bidan. Saya mau mengucapkan terima kasih pada Kapten Biru. Kalau tidak ada dia saya tidak bisa membayangkan saya sudah jadi apa sekarang.”
Hanya pada Bidan Mayalah, Rengganis ingin bercerita. Di tempat yang asing ini Bidan Maya seolah-olah telah menjelma sebagai mami. Tempatnya bercurah dan minta perlindungan.
Bidan Maya menggangguk-angguk seperti mulai mengerti apa yang telah terjadi pada dokter cantik mereka ini semalam. Dalam senyumnya ia bersyukur tidak terjadi hal-hal buruk yang mengerikan terhadap dokter muda yang mulai disayanginya ini.
Setiap memandang Rengganis, Bidan Maya teringat pada putrinya yang bernama Ayu.
“Mungkin jika masih hidup, Ayu sudah berusia sama dengan dokter Rengganis,” pikir Bidan Maya.
“Aku mau buat mango juice dulu buat Kapten Biru.” Tangan Rengganis mulai mengupas buah mangga yang sudah dibeli Astuti.
“Bukan begitu caranya, Dok. Begini.” Bidan Maya dengan sabar mengajari dokter Rengganis bagaimana cara membuat mango juice yang akan diberikannya kepada Kapten Biru dengan sangat sabar. Mulai dari cara memegang pisau yang benar hingga menggunakan blender.
“Oke, semua sudah selesai. Pak Hariiii,” panggil Rengganis.
“Siap, Dok.”
“Ini diantar ya. Pak Warso sudah datang kan?”
“Sudah, Dok.”
“Ini uang untuk bayar ojekkan Pak Warso.”
“Terima kasih, Dok.”
“Ingat. Ini spesial untuk Kapten Biru. Jangan pergi sebelum sampai ke tangannya," perintah Rengganis.
Pak Hari tertawa mengerti. Dia harus menjaga mango juice yang sangat berharga ini dengan hati-hati jika tak ingin melihat dokter Rengganis kecewa.
Apakah mango juice istimewa itu akan sampai ke tangan Kapten Biru dengan selamat? Jangan lupa tunggu kisah selanjutnya ya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments
Qaisaa Nazarudin
Apa muat bawak makan yg banyak cuman naik motor? Ku oikir Gafis yg hantar naik mobilnya..😂😂
2025-02-07
0
Qaisaa Nazarudin
Dari mana bidan Maya tau? Ganis kan belum Cerita apa2,Mereka aja baru ketemu pagi ini..🤔🤔
2025-02-07
0
Erna Susanty
Ya ampun ketemu lagi sama mas biru dan mbak rengganis di cerita yang berbeda.
2020-12-16
0