02. Menyogok Pak Tatang

Mobil terus melaju, tidak lama kemudian tempat yang dituju oleh Mila sudah terlihat, sebuah salon kecil di pinggir jalan raya Kalibata, Jakarta selatan.

"Itu dia tempatnya." Mila memandang ke luar. "Ya aku yakin itu tempatnya. Stop di sini aja, Pak!” Perintah Mila kepada Pak Tatang dengan tiba-tiba.

'Ciiit!' Mobil berdecit gara-gara Pak Tatang menghentikan mobil yang dikendarainya itu secara mendadak.

'Astagfirullahaladziim...' Pak Tatang terpekik seraya melebarkan bola matanya, pasalnya barusan ia hampir saja menabrak anak kecil yang hendak menyeberang jalan.

Sekilas mereka saling tatap, mata si anak lelaki mendelik tajam ke arah Pak Tatang, dari raut wajahnya nampak jelas sekali bahwa anak itu sangat marah kepadanya.

Pak Tatang melongokan kepalanya ke luar jendela mobil.

"Kamu tidak apa-apa kan?"

Bukannya menjawab si anak laki-laki tadi malah melengos, kemudian segera berlalu, menyeberang jalan dan menemui seorang wanita berpakaian kumal yang sedang duduk di tepi trotoar, wanita itu tak lain adalah Ibunya.

Sesampainya di depan Ibunya si anak segera mengeluarkan plastik bening berisi air putih dan satu tablet obat yang biasa dijual di warung-warung.

"Pak Tatang.!" Panggil Mila dari belakang. Namun Pak tatang tidak mendengarnya, ia masih terus menatap mereka.

Kini si anak laki-laki tadi tampak sedang meminumkan obat kepada Ibunya yang terlihat tengah meringis-ringis menahan sakit.

"Wey! Pak Tatang! Kok malah ngeliatin mereka sih! Buruan ah! Mila udah telat ni!" Sungut Mila sambil melirik jam tangannya.

Seperti baru tersadar dari sebuah adegan yang menghipnotisnya. Pak Tatang pun terkejut dan segera menoleh.

"Iya, Non?"

Mila mencebikan mulutnya.

"Udah ah, saya mau turun!"

Sebenarnya Mila bisa saja turun dari tadi, hanya tinggal buka pintu mobil kemudian segera pergi, tapi permasalahannya adalah dirinya turun bukan di depan sekolah melainkan di depan salon, jika tidak ditatar terlebih dahulu Pak Tatang bisa saja membocorkan semuanya kepada kedua orang tuanya.

“Loh...?"

"Loh apa?" Jawab Mila dengan ketus, tidak suka dengan ekspresi terkejutnya Pak Tatang.

"Anu Non.. ini kan masih jauh dari sekolahan, kenapa Non Mila minta turun disini?" Pak Tatang pura-pura heran supaya tidak kentara bahwa sebenarnya dari tadi ia menguping pembicaraan Mila di telpon.

“Udah, Pak Tatang nggak usah banyak tanya ikh!"

Mila tidak mau membuang waktu, ia buru-buru mengambil selembar uang lima puluh ribu dari saku kemeja sekolahnya dan menyerahkannya kepada Pak Tatang.

”Pokoknya Pak Tatang jangan cerita ke Mama sama Papa ya, kalau Mila minta turun di sini, pura-pura nggak tahu aja dengan apa yang Pak Tatang lihat hari ini."

Mila menyodorkan uang lima puluh ribu itu ke depan Pak Tatang.

”Kalau Pak Tatang bisa jaga rahasia, kapan-kapan Mila bakal tambah lagi uangnya dua kali lipat dari ini.”

“Tapi Non...” Pak Tatang bingung, laki-laki yang tak biasa berbohong itu ingin sekali menolak uang sogokan tersebut.

“Udah ah, jangan banyak tapi-tapian, Mila udah telat ni!”

Mila segera memasukan uang tersebut ke saku kemeja Pak Tatang.

“Jangan ditolak ya Pak, uang itu bisa untuk membeli 1/4 gram anting emas, untuk anak Pak tatang yang baru lahir itu.” Sindir Mila seraya menatap kedua mata Pak Tatang dengan tajam, seolah-olah dari tatapannya itu ia ingin menyampaikan bahwa dirinya tidak suka jika keinginannya ditolak oleh Pak Tatang, sedangkan Pak Tatang masih berstatus bekerja kepada keluarganya.

Meskipun tidak mau menerima uang tersebut, namun pria berusia 35 tahun itu tampaknya tidak bisa berbuat apa-apa saat Mila memberikan sindiran pedasnya itu kepadanya, apalagi Mila juga langsung memasukan uang lima puluh ribu itu ke dalam saku kemejanya.

Mila bergegas keluar dari mobil dan berjalan menuju ke salon itu.

"Isssh.. " Desis Pak Tatang seraya menatap punggung Mila yang sedang berjalan ke arah salon itu dengan kesal, rasa kesal yang sejatinya tertuju untuk dirinya sendiri, karena statusnya sebagai seorang jongos membuatnya tidak mampu untuk melawan ketika majikannya membeli kejujurannya serta menukarkannya dengan selembar uang lima puluh ribu.

Pak Tatang mengusap wajahnya dengan kasar dan menarik nafas dalam-dalam, lalu mengeluarkannya dalam bentuk lenguhan panjang, hingga seketika ia teringat lagi pada anak laki-laki yang tadi hampir tertabrak olehnya, Pak Tatang melihat ke pinggir jalan di seberang, dan ternyata anak laki-laki itu masih disana bersama Ibunya yang sedang duduk terkulai sambil bersandar di batang pohon peneduh jalan.

Pak Tatang segera turun dari mobil dan menghampiri mereka.

"Nak..." Panggilnya dengan lembut setelah berdiri tepat di depan anak laki-laki itu.

Si anak mendongak, begitu juga dengan Ibunya yang sedari tadi diam saja merasakan demam serta sakit di seluruh persendian tubuhnya, berharap dapat segera reda setelah barusan meminum obat yang diberikan putera semata wayangnya itu.

Pak Tatang menurunkan badannya, jongkok di depan anak laki-laki itu.

"Maafkan Bapak soal kejadian tadi, kamu hampir tertabrak sama Bapak, apa ada yang luka?"

Anak laki-laki itu menggeleng, namun seolah ingin memberi kode kepada Pak Tatang, ia mengusap-usap perutnya.

"Kamu lapar ya..?"

Si anak mengangguk.

Tanpa basa-basi lagi Pak Tatang segera mengeluarkan uang lima puluh ribu pemberian Mila tadi dan menyerahkannya pada anak laki-laki itu.

"Ambilah... "

Si anak dengan cepat mengambil uang itu dari tangan Pak Tatang, kemudian tersenyum dan membungkukan badannya sebagai ucapan terimakasih.

"Maafkan anak saya Pak, dia tuwicara sejak lahir." sahut sang Ibu. "Terimakasih sudah memberi kami rejeki begitu banyak pagi ini." Ujar wanita itu sambil berkaca-kaca.

Tiba-tiba anak lelaki itu pergi.

"Loh Bu, dia mau kemana?"

"Pasti mau beli makanan, dari kemarin pagi kami belum makan sesuap nasipun."

"Ya Allah..." Hati Pak Tatang bergetar, sudut-sudut matanya seketika tergenang.

Laki-laki itu segera mendongakan wajahnya ke langit, berusaha menahan rasa sakit di hatinya menyaksikan penomena hidup yang baru saja berlangsung dihadapannya itu, yang pada kenyataannya Ibu dan anak laki-lakinya itu hanya sebagian kecil dari sekian banyak orang yang mengalami nasib serupa.

"Kalau begitu saya permisi dulu Bu."

Wanita pengemis itu mengangguk, dari sorot matanya sepertinya ia ingin menyampaikan bahwa dirinya sangat mensyukuri pertemuannya dengan Pak Tatang pagi ini.

Pak Tatang segera pergi menyeberang jalan, lalu masuk ke dalam mobil, selanjutnya ia membawa mobilnya ke halaman salon, ia sengaja tidak langsung pulang ke rumah majikannya karena jika ia terlalu cepat pulang bukan tak mungkin majikannya akan bertanya ini itu soal Mila.

Mungkin sekitar lima belas menit kemudian akan jadi waktu yang tepat untuk bisa kembali dengan aman tanpa ada pertanyaan-pertanyaan yang akan mencecarnya.

Lima menit berlalu, Pak Tatang masih disitu, beberapa saat kemudian laki-laki berkaca mata minus itu membenarkan posisi duduknya seraya mengucek-ucek lobang telinga kanannya yang terasa gatal, lalu diam lagi, hingga beberapa saat kemudian ia teringat pada sebungkus rokok yang ada di saku kemejanya.

Sebelum menyulut rokoknya itu Pak Tatang mematikan AC mobilnya terlebih dahulu, lalu membuka jendela yang ada di samping kemudi, dan pada saat itulah dengan tanpa sengaja ia melihat Arkana keluar dari dalam salon.

Arkana berdiri sejenak di depan salon itu sambil tersenyum lebar, kemudian memasukan tiga lembar uang seratus ribuan ke dalam dompetnya.

‘Hm... pantesan, sama Abangnya juga toh.’ Bisik Pak Tatang dalam hati.

“Den Arkana...!”

Mendengar suara Pak Tatang yang memanggil dirinya, Arkana segera menghampiri Pak Tatang.

“Nggak aneh kalau Den Arkana kelihatan ganteng terus, ternyata Den Arkana suka perawatan juga toh.” Ujar Pak Tatang setelah Arkana berada di dekatnya.

“Hahaha... Pak Tatang bisa aja.”

Arkana melirik sebentar ke arah salon, lalu menatap wajah Pak Tatang dengan tatapan mengancam.

"Awas ya Pak, jangan ceritain ke Mama sama Papa ya kalau hari ini Mila bolos sekolah.”

Mendengar ucapan serta tatapan mata Arkana yang tengah mengancamnya, lagi-lagi Pak Tatang merasa kesal, kesal karena merasa diintimidasi terus dari tadi, oleh Mila kemudian oleh Arkana.

“Baik, Den.” Jawab Pak Tatang dengan ekspresi wajah yang sudah tidak bisa disembunyikannya lagi, meski sudah berusaha untuk tetap tersenyum.

Melihat sikap Pak Tatang seperti itu Arkana segera menepuk-nepuk bahu Pak Tatang, tepukan yang rasanya lebih seperti sebuah ancaman secara halus.

”Saya pulang duluan ya, Pak.”

“Iya, Den.”

Arkana segera berlalu dari hadapan Pak Tatang, ia berjalan menghampiri motor sport kesayangannya yang diparkir tidak jauh dari depan pintu salon, lalu segera pergi.

Sedangkan Pak Tatang, rencananya dalam waktu sepuluh menit kedepan ia pun akan pulang ke rumah majikannya.

Pak Tatang menutup pintu mobil kemudian tangannya bergerak ke depan, hendak menyalakan AC mobil lagi, dan pada saat itulah sekilas ia melihat Mila berdiri di depan pintu salon sambil melotot ke arahnya.

Pak Tatang mencebikan mulutnya, kemudian buru-buru pergi dari tempat tersebut.

Terpopuler

Comments

Zhumrotulh Yahya Salam

Zhumrotulh Yahya Salam

seng kaka harusnya menggantikan peran orng tua yg membimbing dan mengajari adiknya tetang kebaikn ini malh sebaliknya.dan sebagai ibu harusnya bs menasehati perbutan anaknya orng brngkt sklh ky yatim piatu ga salim dan pamit sm orng tua dulu ga pnya adab

2022-01-14

0

Nae Sarang

Nae Sarang

Mila keterlaluan ya, sudah nakal nyogok pula

2022-01-08

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!