Karma Sang Penggoda
Jakarta. 2005.
Dengan tergesa-gesa, Mila, gadis cantik bertubuh semampai, dengan kulit putih mulus, serta surai legam tergerai, keluar dari kamar.
Ia berpakaian sama seperti biasanya, mengenakan seragam putih abu-abu dengan rok setinggi lutut, serta sebuah tas ransel berwarna biru tua yang tersampir di pundaknya.
Tak ada yang berbeda dari penampilan gadis pemilik hidung bangir itu, sehingga kedua orang tuanya tidak curiga sedikitpun atas apa yang akan dilakukannya pagi ini.
“Ma, Pa, aku berangkat dulu ya.”
“Nggak sarapan dulu?” Tanya Bu Suaidah, Ibunya Mila yang tampak sedang sarapan bersama Pak Gusman, Suaminya.
“Nggak ah Ma, nanti telat.” Ujar Mila sambil berjalan ke ruang tamu.
Pak Gusman menatap tubuh gadis yang berjalan membelakanginya itu dengan pandangan kecewa.
“Lihat dia, pamit sekolah mana ada cium tangan orang tua.”
Pak Gusman melirik Istrinya, dari raut wajahnya terlihat sangat kesal, kesal pada Mila, kesal juga pada Istrinya, kenapa membiarkan Mila pergi begitu saja, kenapa membiarkan anak gadis mereka semakin hari semakin kehilangan rasa hormat kepada kedua orang tuanya.
“Mila makin hari makin tak karuan saja kelakuannya, apalagi Arkana, ya ampun anak itu…”
Pak Gusman tidak melanjutkan kata-katanya, karena seperti biasa ia sudah muak duluan jika sudah membahas Arkana.
Bu Suaidah diam saja, wanita anggun nan cantik yang selalu berpenampilan bersahaja itu tidak mau terlalu meladeni omelan Suaminya, karena jika diladeni biasanya Suaminya yang berkarakter agak bawel itu ngomelnya akan lama sekali.
Namun meskipun begitu, Pak Gusman adalah laki-laki yang sempurna di mata Bu Suaidah, karena ia sangat penyayang dan penuh perhatian.
...•••...
Mobil yang ditumpangi oleh Mila melaju di atas jalan raya, berkali-kali Mila melirik jam tangannya dengan gelisah, beberapa saat kemudian handphonenya berdering, telpon masuk dari Arkana, Abangnya.
“Sudah nyampe mana kau, De?”
“Aku lagi di jalan, Bang. Paling sepuluh menit-an lagi nyampe.”
“Kau tahu tempatnya kan?”
“Iya aku tahu kok, salon kecil yang ada di jalan Kalibata itu kan?”
“Iya, ya sudah cepetan, Abang tunggu kau di dalam salon.”
“Okay.”
“Mil, nggak usah ragu ya, kau langsung masuk saja.”
“Iya bawel!”
‘Tutʼ telpon ditutup lagi.
Pak Tatang, sopir yang biasa mengantar-jemput Mila setiap hari ke sekolah, melirik Mila dengan perasaan curiga, dari gelagatnya ia yakin betul bahwa hari ini Mila bakal bolos sekolah.
Mila mengetuk-ngetuk kaca mobil dengan jari telunjuknya, ia berusaha tenang, mencoba menepis keragu-raguan yang masih mengusik hatinya, sampai tiba saatnya handphonenya berdering lagi, dan ketika melihat nama yang muncul di layar handphone itu Mila langsung terlonjak.
“Ya ampun, aku sampai lupa ngasih tau mereka.”
Mila buru-buru mengangkat telpon tersebut.
”Halo, Cell...?”
“Jadi ikut nggak sih? Kalau jadi ikut, cepetan dong! Kita bertiga udah nungguin dari tadi ni!” Bentak Micelle dari seberang telpon, dari nada bicaranya jelas terdengar bahwa ia mulai marah kepada Mila.
‘Tuh kan bener dia marah.’ “Ng.... aku... ng... Kalian tunggu satu jam lagi ya.”
“Loh kok jadi begini? Memangnya kamu mau ngapain dulu sih?”
“Aku ada urusan mendadak, ini masalah keluargaku, urgent banget.”
“Kamu tuh gimana sih, Mil, kalau nggak mau ikut harusnya ngomong dong dari awal, jangan bikin kami nunggu!”
“Aku mohon, Micelle… kasih aku waktu, biar semua berjalan kondusif. Urusan keluargaku bisa teratasi, dan urusan kita pun tetap bisa kita lakukan.”
Di ujung telpon terdengar suara hembusan nafas Micelle yang sedang kesal.
“Beneran satu jam doang ya? Telat dari itu kita bertiga langsung cus, dan barangnya nggak bakal ada yang tersisa. Iya nggak Fin?”
“Yoyoy...” Terdengar suara Fina juga. Mungkin saat ini ia lagi ada di samping Micelle.
“Aduh jangan dong, ini kan pengalaman pertama aku buat nyoba yang begituan, di puncak lagi. Widiiiih, pasti keren. Please..., aku mohooon banget sama kalian, jangan tinggalin aku ya, aku janji nggak bakalan telat dari satu jam kok, setelah semua urusan di sini beres aku bakal langsung cus ke rumah kamu. Oh iya, si Sofi udah datang?”
“Udah kumpul semua ni di rumahku.” Jawab Micelle, masih tetap dengan nada ketusnya.
“Ng… gitu ya.” Mila menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal, agak panik juga setelah mendengar kabar bahwa Sofi dan Fina sudah hadir di rumah Micelle. Mila khawatir, jika dirinya meleset dari waktu yang dijanjikannya itu bisa saja mereka meninggalkannya.
“Tanyain, duitnya udah siap belum, gitu?”
“Cuy, duitnya udah siap belum?”
Ditanya begitu Mila langsung tercekat, beberapa saat diam, bingung, sejurus kemudian tubuhnya terkulai lemas ke jok mobil.
Pak Tatang yang kebetulan sedang menatapnya melalui spion dalam jadi mengerutkan dahi, laki-laki itu semakin curiga saja kepada Mila, bahwa selain mau bolos sekolah sepertinya ada hal lain yang akan dilakukan oleh Mila pagi ini.
'Tapi apa ya...?' Pak Tatang menebak-nebak dalam hati.
“Mil, kok nggak jawab pertanyaan aku? Duitnya udah disiapin belum?!”
Meski agak gusar karena saat ini benda yang dimaksud oleh Micelle belum tersedia, namun ia akan coba untuk tetap percaya diri bahwa tidak lama lagi benda itu akan segera berada di dalam genggamannya.
“Tenang aja, udah aku siapin kok.”
“Oh ya udah bagus.”
‘Tut...!’ Telpon ditutup.
Mila menatap handphonenya dengan geram.
“Huh, dasar, mentang-mentang anak orkay! nggak ada sopan santunnya, mau nutup telpon aja nggak ada basa-basinya dulu.” Gerutu Mila seraya memasukan handphonenya ke dalam tas sekolah. Dan sejujurnya hal inilah yang membuat Mila agak minder dari ketiga sahabatnya yang kaya raya itu, mereka seringkali bersikap menyepelekan dirinya.
Mila sendiri sebenarnya sadar betul apa yang menjadi penyebab Micelle, Fina dan juga Sofi bersikap seperti itu kepada dirinya, tak lain adalah karena dirinya tidak bisa se-eksis mereka, dari dulu ia lebih sering menolak apabila diajak hang out, shopping atau pun kumpul-kumpul untuk melakukan pesta ala mereka.
Selama ini, setiap hal yang mereka ceritakan saat mereka sedang kumpul bertiga selalu saja membuat Mila penasaran, bahkan kadang membuatnya sakit hati, dan yang paling membuatnya sakit hati adalah ketika ketiga sahabatnya itu mulai memanas-manasi dirinya dengan menceritakan tentang asyiknya menikmati berbagai macam obat psikotropika, seperti ekstasi, sabu, ganja, heroin dan lain-lain.
Dan pagi ini adalah awal dari segalanya, ia akan coba mengobati rasa sakit hatinya itu dengan caranya sendiri.
Detik demi detik berlalu, diam-diam hatinya gelisah, bagaimana tidak, pagi ini ia akan bertemu dengan seorang laki-laki yang belum pernah ditemuinya seumur hidupnya, yang bahkan kata Arkana, laki-laki itu tidak mau memberikan nomor telponnya kepada Arkana ataupun dirinya, juga kepada sang germo yang berperan sebagai perantara, laki-laki itu minta ditemui langsung oleh Mila.
Hal ini membuat Mila sempat berspekulasi yang tidak-tidak mengenai laki-laki itu, bagaiman jika ternyata dia adalah laki-laki jahat atau laki-laki penipu, yang hanya minta dilayani olehnya, dan setelah itu pergi begitu saja?
'Duh...' Mila deg-degan.
Bersambung . . .
...•...
...•...
...•...
...•...
...•...
Mau tau kelanjutannya?
Like, comment, and subs dulu yuk, biar author makin semangat nulisnya dan selalu ada notif saat update. Terimakasih... happy reading ! <3
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
Erbi Ananta
terimakasih..
2022-01-10
0
Tri Soen
Mulai mampir...
2022-01-08
0
Nae Sarang
terimakasih atas dukungannya
2022-01-08
0