...
Rima duduk di suatu ruangan yang berbeda dari sebelumnya. Sebelumnya dia sudah diinterview oleh si empunya dalang dari ini semua. Ya, Rima baru saja selesai dari ruang kerja Evan. Kini, Evan memperintahkan Erlang, adiknya untuk melihat kondisi mental Rima. Apakah dia benar siap atau tidak.
Agar Rima lebih leluasa untuk berbicara, Evan memilih untuk menunggu di luar ruangan kerja Erlang.
"Rima, kamu rileks saja. Saya tidak tanya yang sulit kok. Bersikap santai lah dengan saya." gumam Erlang pada Rima yang sedari tadi terus memegangi tasnya.
"Iya--iya Pak."
Erlang tersenyum memandangi Rima beberapa saat. Memperhatikan Rima beberapa menit. Dia bisa tebak kalau Rima bukanlah perempuan yang nakal. Dia bisa membaca Rima itu cukup tertutup, seadanya saja dan cenderung ada rasa tak percaya diri dalam dirinya.
"Kamu tidak dipaksa dan terpaksa untuk menjadi Ibu pengganti?" tanya Erlang.
"Tidak, Pak. Saya memang ingin melakukan ini dengan pertimbangan yang sudah matang."
"Kamu tau prosedurnya? Kamu tau menjadi Ibu pengganti itu bukan berarti kamu akan dinikahi oleh Bapak Evan?"
"Ya, Pak. Saya tahu."
Ya, Rima sudah membaca hal ini sekilas di internet. Dia tahu benar apa yang akan dia lakukan.
"Saya dengar kamu belum pernah menikah, hamil bahkan melahirkan sebelumnya. Benar?" tanya Erlang ingin memastikan.
"Benar, Pak."
"Sebenarnya kami mencari yang sudah pernah hamil atau melahirkan sebelumnya. Tapi, tak ada satu pun yayasan yang mau menerima tawaran ini. Mungkin mereka kira kami bercanda. Tapi, akhirnya kamu menghubungi." sambung Erlang.
"Saya menemukan kertas yang terjatuh saat Bapak Evan dan sepertinya Bapak buru-buru masuk ke dalam ambulan."
Erlang menganggukkan kepalanya. Mengerti bagaimana Rima mendapat informasi tentang mereka.
"Informasi ini kami simpan secara tertutup. Tidak ada yang mengetahuinya selain kamu, yayasan, keluarga kami dan pihak rumah sakit. Saya harap kamu bisa tutup mulut."
"Saya bisa jamin saya bisa menjaga ini semua Pak."
"Baiklah. Saya rasa kamu sudah siap. Setelah ini saya akan antar kamu ke Dokter Lusi. Dia akan mengecek kesehatan kamu."
"Sekarang juga Pak?" tanya Rima merespon perkataan Erlang.
"Ya, kamu tidak siap?"
"Siap kok Pak. Saya hanya memastikan, Pak."
Erlang beranjak dari kursinya. Dia memberi kode pada Rima untuk mengikutinya keluar dari ruang kerjanya. Begitu keluar, terlihat Evan sudah menunggu mereka. Erlang dan Evan berjalan sembari berbincang sepanjang jalan menuju suatu ruangan lagi di rumah ini yang besar.
Tak salah Rima memandang wah rumah ini. Memang ini sangat besar, bahkan dia hanya mengira yang seperti ini hanya ada di dalam film saja.
"Lusi sudah di dalam kan?" tanya Evan pada Erlang.
"Ya, Mas. Masuk saja. Saya balik ke ruang kerja dulu." pamit Erlang.
Tinggal lah Evan dan Rima berdua disana. Keadaan menjadi canggung lagi. Evan membuka pintu ruangan dimana Lusi berada. Terlihat lah seorang perempuan cantik muncul dan saling mencium pipi bergantian dengan Evan.
"Silahkan masuk, Rima." gumam Evan membuka pintu lebih luas agaf Rima masuk.
"Terima kasih, Pak."
Rima segera memasuki ruangan Lusi. Terlihat Lusi yang begitu cantik dengan pakaian khas Dokter. Tiba-tiba saja Rima dipeluk oleh Lusi cukup erat.
"Semoga proses ini berhasil ya Rima. Ini cucu pertama keluarga kami." ucap Lusi sembari melepaskan pelukannya pada Rima.
Rima hanya bisa tersenyum kikuk. Sembari Rima menebak-nebak hubungan Lusi pada keluarga Evan dan Erlang. Ah, tidak perlu aku pikirkan, gumamnya dalam hati.
"Rima, ayo sini baring dulu. Saya mau cek kamu dulu." gumam Lusi menepuk-nepuk tempat tidur yang tersedia disana.
Berbaring lah Rima di tempat tidut sembari matanya melihat-melihat sekitar. Dia melihat ada usg dan peralataan khas Dokter Kandungan. Apa dia akan di usg?
"Mas mau menunggu disini? Atau mau diluar saja?" tanya Lusi pada Evan yang tengah memandangi mereka.
"Disini saja. Saya mau lihat apa Rima benar-benar sehat." jawab Evan.
"Baiklah, Mas. Semoga Rima tidak mengecewakan kita ya."
Perlahan Lusi mendekati Rima yang tengah berbaring memeriksa tensi, denyut nadi dan jantung Rima. Semuanya normal. Lusi menuliskankan beberapa hal pada catatannya. Diperhatikan seperti ini membuat Rima cukup gugup sebenarnya. Tapi mau apa lagi.
"Rima, siklus menstruasinya lancar?"
"Lancar Dok."
"Bagus. Tidak pernah melakukan hubungan berganti-ganti? Saya takut ada penyakit, infeksi atau bakteri yang menghambat."
"Tidak juga, Dok."
Lusi menganggukkan kepalanya. Lalu mencatat kembali jawaban-jawaban yang telah Rima jawab.
"Sebenarnya, sedikit sulit untuk menanamkan hasil bayi tabung pada rahim kamu Rim. Karena, kamu belum pernah hamil sebelumnya. Tapi akan kami coba. Mungkin saja rahim kamu bisa kuat untuk mengandung. Tidak ada yang tidak mungkin, bukan?" ucap Lusi dan senyum pada Rima yang masih diam kikuk.
"Rima sudah pernah berhubungan kah? Karena, tidak mungkin kami melakukan ini pada seorang perawan,"
Perkataan Lusi langsung dipotong Evan dengan interupsi kecil. Evan memberi kode pada Lusi untuk tidak membahas itu. Namun, Lusi sudah mengerti apa yang dimaksud oleh Evan.
"Baiklah, sekarang kita usg dulu ya. Saya mau lihat apakah ada kista atau miom di rahim kamu."
Lusi mempersiapkan alat-alatnya. Menyalakan alat-alat yang akan dia butuhkan. Evan masih melihat sedikit jauh. Namun, matanya dengan jelas masih memperhatikan Lusi dan Rima bergantian.
Rima membuka sedikit kancing baju pakaian bawahnya agar Lusi dengan mudah memoleskan gel diatas perutnya. Sedikit ada rasa enggan dan malu karena Rima tahu Evan memantaunya dari jarak yang lumayan jauh.
"Rahimnya bagus. Saya ambil sample darah ya sekalian. Agar besok sudah bisa dilakukan pemindahannya ke rahim kamu."
Besok?
...
Semua terjadi begitu cepat. Rima juga tidak percaya bahwa ini akan dilakukan secepat mungkin. Semua terjadi dalam satu hari. Dia menjalani interview singkat, lalu melalui pemeriksaan psikologi yang juga singkat dan tadi pemeriksaan kesehatan. Hasilnya akan keluar besok.
Kini, dia sudah berada di mobil. Tepatnya mereka sedang perjalanan menuju suatu tempat. Yang bahkan Rima tidak tau kemana. Tapi sepertinya mereka menuju kos-kosan Rima.
"Kos-kosan kamu yang diujung kan, Rima?" tanya Erlang yang tengah menyetir.
"Iya, Pak." balas Rima menjawab seadanya.
Matanya terlihat enggan melihat kearah Erlang dan Evan yang tengah duduk di sebelahnya. Tiba-tiba saja mobil itu berhenti. Mereka parkir beberapa meter dari kos Rima. Untungnya kos-kosan tak terlalu ramai. Sepertinya para penghuni kos itu tengah beristirahat di dalam.
"Kamu tidak perlu turun, Rima. Biar Erlang saja yang turun." ucap Evan menahan pintu mobil yang hendak dibuka Rima.
"Kenapa hanya Pak Erlang?" tanya Rima.
Erlang sudah hilang keluar dari mobil. Tinggal lah Rima dan Evan berdua di dalam mobil. Keadaan pun semakin canggung saja.
"Dia yang akan mengurus kepindahan kamu. Kamu disini saja. Saya tidak mau teman-teman kamu bertanya mengapa kamu pindah. Mereka tidak perlu tahu alasannya." Ucap Evan dengan mata yang menatap lurus ke depan.
Pindah? Jantung Rima berdetak kencang lagi.
"Saya pandai berbohong, Pak. Saya harus menyusun pakaian saya. Saya juga harus mandi." cerocos Rima tanpa dia sadari langsung menutup mulutnya.
"Rima... Biarkan Erlang yang mengurusnya. Kamu hanya perlu tenang dan tidak memikirkan banyak hal. Mulai besok kamu sudah pindah ke apartemen yang sudah saya sediakan." Potong Evan yang tak menoleh sedikit pun penglihatannya pada Rima.
"Apartemen--Pak?"
"Ya. Kamu akan aman disana dan dengan begitu rahasia ini akan aman terjaga." jawab Evan sembari menganggukkan kepalanya.
Rima hanya bisa berdiam di kursinya sembari menunggu Erlang mengambil barang-barang dari kosnya. Entah apa yang akan Erlang katakan pada Ibu kosnya. Tapi yang jelas jantung Rima sudah sangat berdebar dibuatnya.
"Satu hal lagi, masalah pekerjaanmu jangan dipusingkan. Kami sudah mengurus semuanya. Tugas kamu hanya untuk menjaga anak saya saja. Menjaganya dengan baik. Sampai dia lahir." tambah Evan.
Rima hanya menganggukkan kepalanya. Sembari sesekali melirik Evan yang ada di sampingnya.
"Semoga prosesnya berjalan dengan lancar. Semoga kamu bisa menjaganya. Saya sangat berterima kasih pada kamu."
"Apapun yang kamu inginkan akan saya beri. Saya sudah sediakan apartemen mewah beberapa, tabungan, asuransi kesehatan kamu dan keluarga kamu, pekerjaan yang lebih baik. Sekolah adik kamu akan saya biayai penuh bahkan jika dia ingin mengambil sekolah kedokteran pun saya tidak masalah."
Evan sungguh yang paling berharap supaya proses ini bisa berjalan dengan lancar. Ini adalah peninggalan almarhumah sang istri satu-satunya. Dia harus menjaganya dengan baik. Mereka sudah menunggu ini lama sekali.
"Semoga kamu tidak mengecewakan saya, Rima. Saya berharap banyak padamu..."
Rima...
...
Hiii akhirnya aku update lagi, maaaf ya kalau aku lama updatenya. Semoga kalian masih pada sabar nungguinnya. Buat yang puasa semangat yaaa ☺☺☺
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
Ingka
Semangat Thor ya up nya...💪💪💪
2023-03-11
1
Ediana Zou
mulai seruu
2020-11-25
0
Aisyah
masih nyimak....
blm paham betul alur cetitax
2020-10-20
0