Bagian 3: Treatment

...

Malam sekali Rima diantar menuju Apartemennya. Begitu sampai dia langsung istirahat. Apalagi dia disambut dengan tempat tidur king size yang sangat empuk. Evan memberinya service yang tidak main-main. Apartemen yang Rima tempati adalah apartemen mewah yang juga ditempati Evan.

Begitu bangun Rima segera membasuh dirinya. Biasanya setiap pagi dia akan sibuk bersiap untuk bekerja, sekarang dia merasa aneh karena tidak perlu melakukan apapun.

"Tolong susun semua belanjaannya di kulkas. Semua alat pembersih disusun rapih di belakang. Sofanya pindahkan rapat ke dinding."

Evan ternyata sudah berada di apartemen Rima. Dia tentunya mengetahui kode keamanan Apartemen Rima jadi bisa bebas masuk. Hanya untuk hari ini saja.

Rima yang sudah selesai membersihkan dirinya segera menuju sumber suara. Dilihatnya semua barang-barang dibawa masuk oleh beberapa orang. Terlihat jelas Evan yang berdiri memerintah orang-orang itu.

"Kamu sudah bangun, Rima? Sarapan dulu. Saya sudah siapkan sarapan kamu." tegur Evan.

"Eh--iya Pak. Saya bisa masak sarapan sendiri, Pak. Tidak perlu repot-repot."

"Kamu tidak boleh capek dan melakukan banyak hal. Jadi biarkan saya dan yang lain siapkan semuanya untuk kamu."

Evan berjalan didepan menuju dapur. Rima mengikutinya dari belakang. Di atas meja dapur sudah terdapat sepiring bubur ayam lengkap dengan buah, teh hangat dan vitamin. Evan dan Rima duduk diujung. Jadi, mereka duduk berhadapan.

"Habiskan sarapannya, mengerti?" tegas Evan pada Rima.

Rima menganggukkan kepalanya. Dia memakan bubur itu dengan terus menunduk. Suasana semakin canggung karena Evan tengah memperhatikannya makan.

"Maaf, saya masuk ke apartemen kamu tiba-tiba. Lain kali saya tidak seperti ini lagi. Hanya saja saya harus segera menyusun barang-barang itu dahulu." gumam Evan.

"Iya gak apa-apa, Pak."

"Setelah ini kita langsung ke rumah sakit ya. Disana, Lusi sudah menunggu."

Setiap perkataan Evan secara otomatis membuat Rima menghentikan makannya sebentar. Lalu, Evan membiarkan Rima menghabiskan makanannya setelah sadar bahwa dia mengganggu.

"Lapor, Pak! Barang-barang sudah ditata dengan rapih dan sesuai dengan yang Bapak perintahkan. Apa ada lagi yang masih kurang Pak?"

Tiba-tiba seorang pria berbadan tegap dengan pakaian lengkap datang menemui Evan. Itu sepertinya pengawal Evan.

"Tidak ada. Ya sudah, bersiaplah. Kita akan segera ke rumah sakit."

"Baik, Pak. Permisi, Pak."

Setelah pengawal itu pergi, Evan kembali mengalihkan pandangannya pada Rima. Dia sudah selesai makan.

"Berhubung kamu sudah selesai makan. Vitaminnya diminum. Buahnya dihabiskan. Saya menyiapkan apa yang akan kamu bawa." gumam Evan berlalu pergi.

Begitu Evan pergi, Rima mengaktifkan kembali ponselnya. Sejak semalam dia tidak membuka ponselnya lagi. Apa yang akan dikatakan Euis dan anak kos yang lain ya? tanya Rima dalam hati.

Ponsel Rima pun kembali menyala. Notifikasi langsung berdatangan setelahnya. Begitu banyak pesan juga.

New Messages: Euis

*Rim, kamu gak bercanda kan? Kok tiba-tiba pergi mendadak dari kos?

Rim? Kamu kenapa Rim? Aku lihat ada pria yang ngomong dengan Ibu kos dan bawa barang kamu pergi?

Rim angkat telefon aku! Rim tolong angkat*!

New Messages: Rida

*Mbak, transferannya udah masuk Mbak. Terima kasih ya Mbak. Nenek sudah Rida bawa ke puskes. Besok uang sekolah Rida bayar ya Mbak.

Mbak, uang sekolah Rida sudah Mbak bayar lunas ya? Tadi Rida mau bayar kata Ibu guru sudah dilunasi semuanya.

Maturnuwun ya Mbak. Semangat kerjanya Mbak. Maaf Rida minta terus sama Mbak*.

New Messages: Darma

Rim, aku dengar kamu sudah pindah kos. Kamu pindah kemana Rim? Kamu cuti kerja juga?

"Rima?" panggil Evan mengejutkan Rima.

Rima segera menyembunyikan ponselnya. Lalu, segera berdiri dari tempat duduknya.

"Sudah selesai? Pakai maskernya dulu Rim. Agar kita langsung pergi." ucap Evan sembari memberikan sebuah masker pada Rima.

"Iya Pak. Sebentar ya Pak."

Rima dengan cepat memakai maskernya. Setelah itu Rima mengikuti Evan yang mendahuluinya duluan. Selama di perjalanan menuju basement, Evan berjalan sedikit berjarak dengan Rima.

Keduanya sama-sama memakai masker. Evan benar-benar tidak ingin orang-orang tahu.

Ketika sampai di basement mereka segera disambut. Para pengawal yang tadi berada di apartemen Rima segera membuka pintu mobil. Begitu masuk ke dalam mobil, terlihatlah Erlang yang memegang kemudi.

"Jangan lupa keamanan tetap nomor satu. Pakai sabuk pengamannya, Rima." gumam Erlang pada Rima melalui kaca spion.

"Oh iya Pak."

Tangan Rima terjulur untuk segera memakai seatbelt. Namun, tangannya kalah cepat dari Evan. Evan memakaikan seatbelt itu pada Rima.

"Sudah."

...

Perjalanan menuju rumah sakit hanya memakan waktu 15 menit dari apartemen. Rima benar-benar dilindungi sebisa mungkin agar tidak terlihat. Untungnya masker itu sedikit menolong. Begith sampai di rumah sakit, Evan membawa Rima menuju kamar inap vvip yang sudah dia pesan sebelumnya.

Disana, Rima sudah disambut oleh Lusi. Evan ikut masuk dan meletakkan perlengkapan yang Rima butuhkan selama di rumah sakit.

"Lakukan yang terbaik, Lusi. We have been waiting this for so long (kita sudah menunggu ini sangat lama)." bisik Evan pada Lusi.

Lusi menganggukkan kepalanya. Mengerti apa yang dimaksud kakak tertuanya ini. Lusi menuntut Rima untuk segera berbaring di tempat tidurnya. Rima hanya bisa menurut.

"Maaf, kalau semuanya terlalu terburu-buru Rima." ucap Lusi sembari mengeluarkan pakaian khas penghuni rumah sakit dari lemari yang ada disana.

"Gak apa-apa, Dok. Setelah ini saya harus apa?" tanya Rima sambil melepas masker yang dia pakai.

Rima melirik Lusi dan Evan bergantian. Evan hanya duduk di sofa sambil memperhatikan mereka. Sedang Lusi, masih sibuk mengeluarkan perlengkapan yang dia butuhkan. Diluar, Erlang beserta pengawal-pengawal itu menunggu mereka diluar.

"Ganti pakaian dulu ya Rima. Agar lebih steril." ucap Lusi.

Lusi menarik tirai yang berada di samping tempat tidur untuk menutupi mereka. Rima awalnya sedikit tidak nyaman harus mengganti pakaian di depan orang lain, namun Lusi meyakinkannya bahwa mereka hanya berdua dan sesama wanita. Lagipula ini lebih menghemat waktu dibandingkan harus ke kamar mandi.

Setelah selesai, Lusi memerintahkan Rima untuk berbaring dan memulai treatment yang pertama.

"Jadi, treatment yang pertama. Saya akan suntikkan yang namanya hormon progesteron. Ini akan saya suntikkan sehari tiga kali."

"Iya Dok... pelan-pelan saja ya Dok." ucap Rima dengan segera menutup matanya ketika Lusi sudah memegang salah satu lengannya.

Evan mendekati mereka. Dia melihat dari dekat bagaimana Rima menutup matanya semakin kencang ketika perlahan jarum itu masuk menembus lapisan kulitnya. Evan melihat bahwa Rima sepertinya sangat takut akan jarum suntik. Dia jadi teringat almarhumah istrinya berjuang hal yang sama saat hendak menjalani program bayi tabung.

"Sudah kok. Sudah selesai. Sudah bisa matanya dibuka Rima." ucap Lusi menyudahi suntikan tadi sembari mengoleskan sedikit alkohol.

Begitu matanya terbuka terlihat lah wajah Evan dan Lusi. Mirip sekali kakak beradik ini. Membuat Rima berusaha mengalihkan pandangannya.

"Nanti saat waktunya suntik saya kesini lagi Mas. Mas yakin tidak ingin digantikan oleh perawat agar menjadi Rima?" tanya Lusi beranjak dari tempatnya.

"Tidak. Untuk sekarang biar Mas saja. Erlang sudah hubungi perawat rumah sakit yang dia kenal agar menjaga Rima disini."

"Baiklah, Mas. Saya harus menemui pasien dahulu."

Lusi pun meninggalkan Evan dan Rima berdua. Sebisa mungkin Evan membuat Rima nyaman. Dia mengatur suhu AC agar tidak terlalu dingin dan menyalakan televisi agar Rima tidak tegang.

"Pak, terima kasih sudah membayarkan uang sekolah adik saya ya Pak. Nenek saya juga sudah dibawa ke puskes."

Rima berinisiatif memecah keheningan. Membuat Evan segera menolehkan kepalanya.

"Tidak perlu berterima kasih. Justru saya yang harus berterima kasih sama kamu." sela Evan.

Bagaimana bisa hanya Evan yang berterima kasih?

"Besok, kamu akan disuntik lagi dan pemindahan embrionya akan dilakukan. Saya harap kamu tidak terlalu takut seperti tadi. Itu akan mengganggu mental kamu. Saya tidak mau kamu sudah down diawal."

"Iya Pak. Saya akan usahakan Pak."

"Beristirahatlah Rima. Jika butuh sesuatu bisa panggil saya. Mengerti?"

3 suntikan Rima dapatkan hari itu juga. Berjuang keras dia untuk tidak terlihat menyakitkan. Usaha yang dia buat sejauh ini tidak mengecewakan.

Perawat yang menjaga Rima sudah datang. Jadi, Evan sudah bisa kembali bekerja di kantornya. Namun, tetap saja pengawal masih bekerja dan berjaga di depan kamar inap Rima. Demi menjaga rahasia ini. Evan tidak mau orang lain mengetahuinya. Apalagi teman dan keluarga Rima mengetahuinya pula. Identitas Evan dan Rima bahkan diganti.

Keesokan harinya pagi-pagi sekali Evan sudah berkunjung ke rumah sakit. Erlang mengikutinya dari belakang.

Klek, bunyi pintu itu terbuka.

"Rima sudah bangun?" tanya Evan pada perawat penjaga.

"Sudah, Pak. Bu Rima baru selesai mandi dan sedang sarapan."

"Baiklah. Saya akan cek Rima sebentar."

Evan melangkah masuk menuju tempat Rima berada. Rima tengah menikmati sarapannya sambil menonton televisi. Begitu melngetahui Evan datang dia dengan cepat dia menghabiskan makanannya.

"Apa kabar, Rima?" sapa Evan mengambil tempat duduk di dekat Rima.

"Baik, Pak." jawab Rima menyudahi makannya.

"Apa kamu siap untuk hari ini?"

"Siap atau tidak siap, saya harus siap Pak."

"Saya tidak tahu bagaimana rasanya. Saya tahu itu akan menyakitkan nanti. Tapi saya jamin kamu mendapat anestesi yang bagus agar kamu tak merasakan sakit apapun." sambung Evan.

Rima menganggukkan kepalanya. Sambil meyakinkan hatinya bahwa dia bisa melalui ini. Pemindahan embrio ke rahim juga tidak terlalu lama. Jadi, Rima meyakinkan dirinya bahwa dia bisa melewatinya.

"Nanti Lusi akan melakukan yang terbaik. Saya tidak sabar mendengar berita baiknya."

"Saya juga berharap ini akan berhasil Pak. Hanya dengan ini saya bisa membalas budi Bapak."

Evan sedikit tersenyum kecut. Seharusnya yang berada di posisi Rima sekarang adalah almarhumah istrinya. Tapi, Tuhan lebih menyayanginya. Dari sekian rangkaian bayi tabung baru ini mereka berhasil. Disaat bayi tabung itu berhasil dia malah pergi.

Pergi meninggalkan Evan dan embrio yang tertinggal.

"Saya bermimpi kemarin malam. Almarhumah istri saya sangat bahagia, dia mengatakan kalau kamu benar bisa menjaga anak kami, Rima. Semoga ini pertanda baik."

Beban yang Rima bawa seakan semakin berat. Mengetahui Evan berharap sekali segera menggendong anaknya.

*Semoga aku tidak mengecewakan siapa pun.

...

**Hi!! Akhirnyaaa aku bisa update. Maaf ya kalau kalian sudah menunggu lama. Terima kasih untuk vote dan komen di part sebelumnya. Responnya cukup baik Terima kasih banyak 😊😊😊😊 Semoga bisa terus ikutin cerita ini sampai habis ya 😊 Buat yang menjalankan ibadah puasa. Semangat sampai hari ke 30 ya 😊😊😊***

Terpopuler

Comments

Ati Nurhayati

Ati Nurhayati

semangaat kaka

2020-10-19

2

Ing

Ing

ceritanya bagus, semoga Evan dan Rima bs saling mencintai

2020-10-18

4

yuli efa yanti

yuli efa yanti

ceritanya bagus banget semangat ya thoor

2020-10-18

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!