...
Sudah dua hari ini pikiran Rima tertuju pada kertas yang ia baca waktu lalu. Haruskah dia? Itu yang dia tanyakan. Apa dia siap dengan itu semua? Dia terus memikirkan itu bahkan ketika dia bekerja. Bahkan adiknya masih terus memberi kabar tentang kondisi mereka. Itu cukup membuat Rima semakin pusing. Berulang kali dia memikirkan jalan kelusr dari ini semua.
Ingin meminjam uang? Dia tak yakin bisa membayarnya kembali. Cukup hanya Euis menjadi tempat Rima meminjam uang.
"Rim, kamu gak makan?" tanya Euis menyadarkan Rima dari lamunannya.
"Eh... Makan kok, ini mau makan nih." jawab Rima.
Segera Rima membuka bekalnya dan menyuapkan makananya dengan cepat. Euis memperhatikan Rima dengan seksama. Dia tahu benar temannya ini bagaimana. Tidak biasanya dia melamun seperti ini. Biasanya kalau sudah begini, Rima pasti sedang ada masalah.
"Kamu ada masalah, Rim? Kalau ada masalah cerita Rim. Kali aja aku bisa bantu." gumam Euis.
"Enggak kok. Aku gak apa-apa, Euis."
Rima menyuapkan makannya dengan cepat. Hingga tak terasa sudah habis bekalnya. Namun, pikiran Rima masih memikirkan bagaimana jalan keluarnya untuk membayar spp dan pengobatan neneknya.
"Habis ini langsung pulang, Rim?" tanya Euis lagi.
"Iya nih. Aku mau istirahat langsung. Lagi gak enak badan soalnya." bohong Rima.
"Padahal aku mau ajak kamu nonton. Soalnya ada film baru, Rim. Aku gak ada temen. Mau nonton sendiri gak berani takuttt hehe..." sambung Euis.
"Sabtu ini deh. Gimana?" tawar Rima.
"Oke deh! Janji yaaa..."
Rima menganggukkan kepalanya. Ya, selama ini Euis adalah teman yang paling dekat dengannya. Euis sudah membantu dirinya. Bahkan hal pekerjaan pun Euis yang membantu mencarikan.
"Aku balik kerja ya Rim. Jangan ngelamun lagi. Biar cepat pulang. Cepat sembuh ya Rim!"
Euis pun pergi. Meninggalkan Rima sendiri. Rima menangkupkan wajahnya dengan kedua tangannya. Mencoba berkomunikasi pada dirinya sendiri. Akhirnya Rima beranjak dari kursinya dan segera menuju toilet. Untungnya toilet sedang tidak ada orang. Dia mengunci kamar mandi itu sebentar.
Lalu dia mengeluarkan ponselnya dan mengeluarkan kertas yang dia simpan. Dia mengetik 12 nomor itu di ponselnya. Dengan jantung yang berdebar dia menekan tombol telfon dengan yakin.
Rima menunggu sambungan itu. Hingga...
"Halo."
"Halo... Apa benar ini dengan Bapak yang membuat pengumuman mencari Ibu Pengganti?" sapa Rima membuka percakapan
"Ya benar. Saya perwakilannya. Apa saya berbicara dengan ketua yayasan Ibu dan Anak?"
"Oh... bukan Pak. Se--sebenarnya begini, Pak. Saya mau mengajukan diri untuk menjadi Ibu pengganti, Pak."
"Maaf, Bu. Kami tidak menerima orang yang berasal dari yayasan dan kami tidak menerima orang yang tidak jelas asal dan usulnya--"
"Saya sungguhan ingin menjadi Ibu Pengganti, Pak. Bapak bisa periksa latar belakang saya jika Bapak mau."
Rima menjelaskan dengan jantung yang berdebar.
"Nama saya Rima, Pak. Usia saya masih 25 tahun. Saya tidak punya riwayat sakit, Pak. Saya bekerja di rumah sakit Prambudi, Pak. Kalau Bapak ingin mengetahui asal usul saya, saya bisa menemui Bapak." sambung Rima.
Seseorang yang berada di seberang sana terlihat terdiam. Dia berdiskusi sebentar dengan orang yang memerintahkannya. Siapa lagi kalau bukan Evan. Setelah mendapat perintah kembali barulah dia berbicara kembali dengan Rima.
Tut... tut... tut.
Panggilan itu terputus. Rima melihat ponselnya tidak percaya. Sejenak dia merasakan sedih di hatinya. Bahwa dia kehilangan kesempatan ini.
Perlahan Rima menyimpan ponselnya kembali. Tangannya membuka pintu kamar mandi yang terkunci. Dia memasukkan kembali bekalnya ke dalam tas. Apa aku telefon lagi nanti? tanyanya dalam hati.
Langkah Rima pun bergegas mengambil peralatan kebersihannya. Dengan lesu dan pikiran yang ruwet dia membersihkan lantai dengan tatapan yang kosong.
Drrtt, drtt. Rima menghiraukan bunyi ponsel yang bergetar di saku celananya.
"Apa yang harus kulakukan lagi?" tanya Rima dalam hati.
Tangannya perlahan menyeka air mata yang sesekali keluar tak tau diri.
Drrttt, drrt.
Ponsel Rima bergetar beberapa kali. Hingga dengan putus asa dia mengangkat telfon itu.
"Halo Rida... Mbak--"
"Halo. Jika anda memang benar serius kami akan mengirimkan alamat dimana akan bertemu. Saya harap anda tidak menyebarkan hal ini pada siapapun."
"Baik, Pak. Saya jamin yang tau hal ini hanya saya saja."
"Baik. Saya akan kirim alamatnya."
Rima mengucap syukur dalam hatinya. Semoga pengorbanan ini tidak sia-sia, gumamnya.
...
Langkah kaki itu terhenti pada sebuah rumah besar yang memiliki pagar yang tinggi. Rima memegangi tasnya erat. Benar, alamat ini sesuai dengan yang dikirimkan. Rima menekan bell, ketika bell berbunyi pintu langsung terbuka otomatis. Lalu, disambutlah Rima dengan tangga menuju pintu utama.
Melihat pintu utama itu terbuka mata Rima terbelalak. Rumahnya besar dan bagus sekali.
"Rima? Silahkan masuk."
Rima terkejut ketika seorang pria yang sangat rapih datang dan menemuinya.
"Saya adalah orang yang berbicara dengan anda di telefon. Saya akan mengantar anda pada Bapak Evan."
Rima menganggukkan kepalanya. Dia berjalan di belakang pria itu. Rima mengikut saja padahal dia tidak mengetahui siapa Bapak Evan. Rima pun melirik pakaiannya dari atas sampai bawah. Dia masih memakai pakaian kerjanya. Benar-benar tidak pantas berada di rumah seperti ini. Harusnya dis mengganti pakaiannya dahulu.
"Saya, Erlang. Adik dari Bapak Evan." sebut pria itu menoleh ke arah Rima sembari tersenyum dengan lebar.
"Oh--begitu--ya..." respon Rima terbata.
Pria bernama Erlang itu membawa Rima ke sebuah ruangan kerja. Ya, ruangan kerja Evan. Sang kakak tertua.
"Mas, ini adalah Rima. Rima, ini adalah Pak Evan. Silahkan, berdikusi." pamit Erlang.
Rima menurut. Rima memasuki ruangan Evan. Evan yang tadinya duduk membelakangi kini memutar arah dia duduk. Terlihat lah wajah Evan yang sungguh membuat Rima kaget. Evan sangat tampan. Rambutnya ditata rapih, hidung yang mancung, dan wajah dinginnya.
"Silahkan duduk." perintah Evan.
Rima menganggukkan kepalanya dan duduk di kursi dengan gugup. Evan pun menyadari kegugupan Rima.
"Saya Evan. Saya yang mencari seorang Ibu Pengganti. Kamu Rima, benar?" Evan membuka suara.
"Saya Rima, Pak."
"To the point saja, kamu bersedia menjadi Ibu Pengganti?" tanya Evan.
"Saya bersedia, Pak. Saya sudah berpikir matang-matang akan hal ini." jawab Rima dengan yakin.
Evan menganggukan kepalanya. Dia memandangi Rima. Sembari memikirkan apa Rima benar bisa menjadi Ibu Penggati untuk anaknya.
"Apa kamu sudah tau menjadi Ibu Pengganti itu bagaimana?" tanya Evan meyakinkan.
Rima menganggukkan kepalanya. Berbekal mencari informasi melalui internet, Rima tau benar apa yang akan dia lakukan dan tidak.
"Apakah kamu pernah melahirkan sebelumnya? Program ini bisa berjalan kalau seorang wanita sudah pernah hamil atau melahirkan sebelumnya." Jelas Evan.
Rima terdiam sebentar. Dia tidak mengetahui bagian yang ini.
"Saya--saya belum pernah hamil atau pun melahirkan sebelumnya." ucap Rima terbata.
"Maaf, jika saya terlalu menyinggung perihal pribadi. Apakah kamu seorang perawan?"
Rima terdiam. Dia benar-benar tidak menyangka pertanyaan ini akan keluar. Sejenak memori-memori lama terputar di pikiran Rima. Memori-memori yang tidak baik sama sekali.
"Tidak, Pak." jawab Rima dengan nada pelan sembari menundukkan kepalanya. Malu.
"Baiklah. Saya tidak bermaksud menggali masa lalu kamu. Saya hanya ingin selektif." gumam Evan. "Kamu tidak ada penyakit keturunan?"
"Tidak, Pak. Saya sehat Bapak bisa melakukan rontgen untuk mengetahui saya sehat atau tidak."
Tiba-tiba Evan mengeluarkan sebuah kertas perjanjian kontrak. Sebagai tanda jadi antara mereka berdua.
"Tapi, saya ingin kamu tetap akan melakukan pemeriksaan. Apakah kamu memang benar bisa dan siap untuk menjadi Ibu Pengganti anak saya." ucap Evan.
"Nanti, Erlang, adik saya, dia akan mengecek mental kamu. Dia seorang psikologi. Erlang akan menjelaskan apa yang akan terjadi selanjutnya."
"Baik, Pak."
"Silahkan, kamu isi biodata kamu disini. Agar saya tau kamu itu bagaimana." ucap Ervan sembari menyerahkan secarik kertas pada Rima.
Rima dengan canggung mengambil surat itu. Itu benar-benar kertas untuk mengisi biodata hanya saja ada tambahan poin-poin baru. Rima mengisi biodata itu satu persatu. Tentunya dengan kejujuran bukan kebohongan.
Sedang, Evan? Dia hanya memandang kosong foto sang istri yang berada di atas meja tepat menghadap dirinya. Aku akan menyelamatkan anak kita sayang, gumamnya. Tak lama menunggu, Rima sudah menyerahkan kembali biodatanya.
"Rima Wulandari, 25 tahun, Office Girl, SMA, Golongan Darah O, Mengekos, Punya 1 adik, Yatim Piatu, Sudah 7 tahun tinggal di kota ini, Gaji UMR..."
Evan membuka halaman selanjutnya. Membaca kelanjutan biodata Rima dengan seksama. Hingga dia menemukan jawaban yang diluar dari ekspektasi.
"Tujuan ingin menjadi Ibu Pengganti saya melakukan ini dengan yakin dan mengetahui resiko yang akan saya dapatkan nantinya. Saya melakukan ini hanya untuk mendapatkan uang agar nenek saya bisa mendapatkan perawatan lebih baik. Supaya Rida juga bisa melanjutkan studi perawatnya. Adik saya ingin sekali menjadi perawat. Semoga Bapak mau memilih saya, Pak. Adik dan nenek saya sangat membutuhkan ini semua."
Evan tidak menemukan tujuan Rima sendiri apa.
"Saya kira kamu akan minta rumah, mobil, perhiasan. Sungguh saya bisa memberi lebih. Kamu ingin minta apa lagi?"
"Tidak ada, Pak. Saya hanya butuh uang untuk sekolah adik dan pengobatan nenek saya saja Pak."
Mustahil.
...
Hiii! Ini kelanjutannya. Gimaanaa? hehe silahkan di komen yaaaa. Atau like juga bisa lhooo 😊 Semoga kalian suka yaaa. Terima kasih 😊😊😊
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
Ingka
Rima...kamu anak baik. Terpaksa bersedia jd ibu pengganti krn kondisi keuangan darurat..demi nenek yg sakit dan adikmu. Semoga maslahmu teratasi ya...
2023-03-11
1
Anisnikmah
menikah saja ya
2022-09-12
0
rista_su
next
2020-10-29
1